Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 08 Januari 2017

TANAH AIR CACING


di tanah air ini, aku selalu mencari celah yang tak ada pukau      
tapi hampir di tiap jengkal telah ditanami ranjau, aku kangen ketabahan sunyi menumbuhkan senyum dan gurat bahagia hamba pada subur rahasia, kini padma terapung dibakar basah api resah, sebagai cacing aku harus bagaimana?

sulit bagi nyala sampai pada puncak sumbu konstitusi negara    sebagaimana gembur piagam Madinah melebur segala batas wilayah, serbuan tanya hadir mengganggu: di mana letak terang-benderang ufuk petunjuk? Sebagai cacing aku tak bisa melubangi semen reklamasi

padi tak mau merunduk, umat-Mu berlutut takluk  
setelah tak ada lagi peluk, tubuh jadi milik peluru amuk
di atas permukaan gersang, petang tersengat sembilang
potongan tubuh lintang pukang, granat menabur kiamat

aku tak punya selera, mengurai bangkai manusia, mengurai potongan putus asa. Bahkan unsur hara tak bernyali untuk sekedar mengenang Kenanga. Bahkan jerih jernih tak mampu melepas dahaga membendung murung arus

mereka para pembajak negeri, pastinya telah mendengar  
tetes syahdu keran yang tak ditutup rapat saat bisa malam membisikkan sabda tentang tualang yang tak akan lama melangkahi gagang pintu bila menuai melulu, tanpa mau merawat tulus pohon pinta

di tanah airku, matahari telah buta bulan pun pucat 
tapi pandang-Mu tidak pernah redup, 
telah Kau saksikan eksploitasi timah, emas, batu bara, juga barang tambang lainnya
modol-modol di saku celana penambang asing dari China
kelak dengan cahaya-Mu benderanglah segala tipu-tipu membakar mikrofon mereka saat berkaroke ria di atas Senggarang

aku hanya cacing teman petani tak bisa lebih memberi arti
tapi selain babi, pengijon juga musuh kami
mereka membanting harga saat panen padi telah sedia 
di kelupas sisik hari. Kawanku itu mencangkuli ladang dengan kerontang airmata, menadah peluh menebus harapan

aku tak dapat lagi memilih tempat abadi di kebun siapa 
karena ranjau serakah sewaktu-waktu meledak tanpa perintah
kami cacing tanah, kirim salam pada cacing air, masihkah murni mengalir menuju Rahim? Atau telah keruh dituba ludah plastik penjajah?

Tanjungpinang, 25 Desember 2016
 

beberapa komentar tentang puisi ini:



[5/1 05.10] M Irfan Hidayatullah: Kenapa harus cacing? Puisi ini sangat politis, metafor cacing mengurangi ruhnya. Logika kecacingannya juga nanggung kalau memang mau pake cacing. Selain itu, isyu2nya begitu terang benderang taksebanding dgn metafor cacing yg diupayakan. Isyu terang benderang seperti ini harusnya sederhana metafornya. Gus Mus memakai metafor Negeri Daging... Sangat manusiawi dan keseharian. Bahwa manusia selalu memburu "daging", dst. Poetika puisi kritik sosial memang menuntut utk terang terangan seperti juga yg dilakukan Rendra. Walaupun ia pernah memakai angsa sebagai metafor, tapi lebih mudah dipahami dan cenderung lebih tepat karena prilaku angsa bisa dilihat banyak orang. Utk pembanding baca puisi Gus Mus pada Negeri Daging dan puisi Rendra: Nyanyian Angsa...
[5/1 05.45] Rudi Rendra: [3/1 15.49] Ramon Damora: Kehkehkeh
[3/1 15.51] Ramon Damora: Karena cacing, sajak ini nawaitunya hrus venar2 sederhana fan
[3/1 15.51] Ramon Damora: Sikit aja agak serius jd biawak lah dia
[3/1 15.52] Ramon Damora: Maka mau tak mau smua perangkat puitik dalam tanah air cacing hrus bersahaja
[3/1 15.55] Ramon Damora: Kesederhanaan dalam sajak ini susah2 gampang
[3/1 15.57] Ramon Damora: Kalau sbelum menulisnya, harfan terobsesi utk menyisipkan sifat2 cacing dan menbancuhnya sbg penguat tematik, sulit utk tidak terjebak mnjadi ilmiah
[3/1 15.57] Ramon Damora: Bberapa kali dulu aku suka tema flora fauna ini
[3/1 15.58] Ramon Damora: Maestronya di tanah air namanya Ahmadun Yosi Herfanda
[3/1 15.58] Ramon Damora: Dg sajak "Sembahyang Rumputan" yg fenomenal itu
[3/1 15.59] Ramon Damora: Belakangan Nirwan Dewanto jg sangat sukses
[3/1 15.59] Ramon Damora: Meski bukunya yg pertama habis dipelasah bang hah
[3/1 15.59] Ramon Damora: Hehe
[3/1 16.00] Ramon Damora: Salah satu solusi: jngan buru cacing, tapi tangkap makna cacing
[3/1 16.01] Ramon Damora: Jadikan cacing awak cacing orang juga
[3/1 16.08] Ramon Damora: aku adalah cacing
dari tanah air hitam
di belakang rumahmu
aku bersyukur
pada setiap kubur
ranjau lukamu
kugemburkan rindu
tak terjangkau waktu
[3/1 16.09] Ramon Damora: bait pertama harfan aku jadikan puisiku
[3/1 16.12] Ramon Damora: daripada kalimat "sebagai cacing aku harus bagaimana" yg bingung hrus dikelompokkan sbg pertanyaan filsafat atau syubhat, mending retoris "bukankah aku cacing dari doa-doamu yang kering?"
[3/1 16.12] Ramon Damora: Gitu-gitu fan
[3/1 16.12] Ramon Damora: Keren nih lanjut
[3/1 16.13] Ramon Damora: Tapi kalau ikut sayembara susah menang hehe
[3/1 16.18] Ramon Damora: EMBAHYANG RUMPUTAN
(Ahmadun Yosi Herfanda)
walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin
topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan


walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu
aku rumputan
kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan
aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
:sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi allah tuhan sekalian alam
pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illalah
muhammadar rasululah
aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang
1992
[3/1 16.18] Ramon Damora: Fan, hayati Fan
[3/1 18.48] Hasan Aspahani: 👍👍👍👍👍
[3/1 18.51] Hasan Aspahani: Harfan, itu lomba di mana?
[3/1 18.52] Hasan Aspahani: Jangan ragu, kirimkan!
[3/1 19.12] Ramon Damora: Oooh kirain sayembara nasional
[3/1 19.12] Ramon Damora: Kalau itu engkau juara satu, fan
[3/1 19.12] Ramon Damora: Kalau tak menang, aku layangkan gugatan
[3/1 19.22] Hasan Aspahani: Yaaaah, tadi dah serius membaca! Kekecilan tu level lombanya!
[3/1 19.22] Hasan Aspahani: Hahaha...
[3/1 19.23] Hasan Aspahani: Ramon pengacara! Saya saksi ahli... kalau tak menang kita gugat!
[3/1 19.26] Hasan Aspahani: Maaf, kalau prosa FLP bolehlah. Kalau puisi mohon maaf blm lahir penyair kuat dr FLP.
[3/1 19.31] Hasan Aspahani: Justru saya bilang sajak Harfan ini melampaui jauh kelasnya FLP hehehe...
[3/1 19.36] Hasan Aspahani: Saya pembina FLP Batam
[3/1 19.48] Hasan Aspahani: Saya melihat ada bibit-bibit yg bisa jadi kekuatan dan ciri khasmu... mencari dan menemukan ini jg penting... maka kata bang nizar, jangan terpengaruh pujian, tulis terus! Cari terus!

0 komentar:

Posting Komentar