Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 22 Januari 2017

ANTARA FAKTA DAN IMAJINASI

Berangkat dari anggapan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari dunia nyata atau realita, maka cerpen sebagai salah satu bentuk fiksi juga berangkat dari pelabuhan yang sama. Semua realita adalah fakta yang kita temukan dan kita catat setiap saat, pada suatu saat, jadilah ia catatan sejarah. Sama halnya dengan mengabaikannya dalam bentuk foto, maka suatu objek dalam suatu saat akan tergambar persis seperti apa yang tertangkap dalam kamera. Katakanlah misalnya rekaman foto di suatu tempat wisata yang terkenal membelikannya, sementara dalam waktu yang sama dan objek yang sama seorang pelukis juga mengabaikannya dalam kanvas.

Hasil foto dan lukisan dari objek yang sama bisa sama, tetapi bisa amat berbeda. Hasil foto merupakan rekaman atau fotokopi, sementara lukisan adalah tiruan yang telah terkontaminasi oleh imajinasi,pelukisnya. Siapa tahu lukisan itu dikomentari menikmatinya jauh lebih indah dari objek aslinya. Boleh jadi pelukisnya telah menambahkan atau mengurangi unsur unsur objek menurut imajinasi dan kemampuan teknik yang dimilikinya. Hasil lukisannya  Itu layak disebut karya seni, sementara hasil foto tetaplah disebut foto.

Lebih jauh, ada kemungkinan sang pelukis tidak melukis di depan obyeknya, melainkan membuat sket kasar di atas kertas berukuran kecil untuk kemudian dipikirkannya ke atas kanvas bila sudah sampai di studio. Bahkan, bagi sebagian pelukis cukup membuat sket di dalam kepalanya untuk dituangkan kembali ke atas kanvas Kapan Kapan saja ia merasa patut dituangkan menjadi lukisan. Setelah tertuang di atas kanvas, lukisannya menjadi "lain" sama sekali bila dibandingkan dengan objek yang pernah dilihatnya. Seseorang yang pernah pergi ke objek lukisan dapat merasakan bahwa itu objek yang pernah dilihatnya, tetapi entah apanya yang menyebabkan lukisan itu jauh lebih hidup?

Manusia adalah makhluk meniru. Dengan daya imajinasi manusia dapat menciptakan sesuatu yang lain dari "kepengurusannya" itu menjadi,sesuatu yang berharga. Tanpa imajinasi, tidak mungkin manusia dapat menciptakan pesawat terbang, dan,sebagainya. Karya-karya seni pun lahir dari fakta dan Imajinasi, termasuk seni sastra.  Karena fiksi (termasuk cerpen) juga berangkat dari fakta yang terhimpun dalam pengalaman batin seseorang pengairan, lalu dikreasikan (to create) kembali dengan imajinasinya sehingga menjadi sesuatu yang hidup, suatu kenyataan baru yang kita sebut fiksi. Persoalannya sekarang, apakah fiksi itu dapat meyakinkan pembaca atau tidak. Karena, ia telah menjadi dunia tersendiri yakni dunia fiksi yang otonom. Tidak dapat tidak, ia mempunyai logika,sendiri, yaitu logika fiksi.

Karena manusia tidak dapat hidup tanpa melepaskan imajinasi,dalam kesehariannya, maka fiksi dapat kita jumpai setiap saat di mana saja. Mulai dari anak-anak sampai orangtua, dari kuli pelabuhan sampai pejabat pemerintahan yang senantiasa berpakaian sadari, kita,simak unsur-unsur fiksi yang keluar dari mulutnya. Karena itu sering kita dengar adanya laporan fiktif dari suatu instansi.

Laporan fiktif artinya adalah data faktual yang dimanipulasi dengan imajinasi. Kalau begitu, pantaskah fiksi disebut sebagai bukan kebenaran alias kebohongan? Secara garis besarnya, iya!  Akan tetapi, dipandang dari,sudut fiksi itu sendiri, ia juga punya kebenaran, karena juga memiliki aspek-aspek kausalitas atau hukum sebab akibat.

Persoalannya sekarang,,apakah fiksi bisa dipertentangkan dengan fakta? Irwanto Dewanto menulis dalam pengantar cerpen pilihan Kompas 1992 mengatakan bahwa fiksi dapat dipertentangkan dengan fakta. Akan tetapi, menurut Nirwan, kita bisa melihatnya dari sudut lain. Karya fiksi tidak hanya menerima masukan dari fakta, akan tetapi juga mempersoalkan fakta, bahkan menggugat kebenaran fakta atau kenyataan. Fiksi tidak hanya mengungkapkan kembali fakta, tetapi mempertajam pengalaman-pengalaman yang,sudah terlalu biasa dan rutin.

Pertama pengalaman yang terlalu biasa dan rutin dapat disimak dari paragraf pertama Putu Wijaya yang berjudul "Los" berikut ini:

" Seorang gadis datang kepada ibunya dan berkata begini: "Bu, apakah i i masih suci waktu kawin dengan ayah?"

Dikatakannya semua itu dengan tulus. MAtanya besar seperti mata ikan koki yang bodoh. Dipinjamkan sedikit, tapi bukan karena malu. Ia baru saja datang dari latihan main basket.

Dari pengalaman kenyataan, hal ini tidak akan gamblang itu, tetapi dalam fiksi cerpen yang memang harus padat dan efektif bagi kepentingan pembaca, penajaman itu jadi begitu perlu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ketika suatu karya fiksi selesai ditulis, ia telah menjadi suatu yang lain. Tidak lagi merupakan fotokopi realita atau realitas objektif, namun telah menjadi suatu realita baru yang disebut dengan realitas estetis. Realita baru dari hasil kreasi yang diramu dari dunia nyata yang dapat diraba.

Note: ditulis kembali oleh Rudi Rendra dari buku Kiat Menulis Cerita Pendek : Harris Effendi Thahar, penerbit Angkasa Bandung, hal: 16-19.

0 komentar:

Posting Komentar