RUHILAH
Bermula terbit di jantung Maroko, luh keinginanmu mengunjungi-Mu, langkah demi langkah gemetar meragu, terbayang di dasar desir paling palung dadamu, tungkai kaki melepuh atas ribuan mil jarak mimpi, mampukah tertempuh;
semak ilalang tajam sendayan, padang mencekam kerontang gersang, lautan kelam tanpa bintang, liar terkam ancaman binatang, juga alamat-alamat nun nan gelap adalah perawan berdarah biru yang peluh jibaku kau nikahi dengan lapisan tebal ruh pengetahuan.
Bermula setapak jejak alkhiza, membekas di atas tanah Tangier, kesedihanmu tumpah ruah menitik sepanjang pangkal tualang, dihembus angin diarsir debu, samar sosokmu menuju titik pandangan sayu.
Ribuan mil dilintas lalu, lalu lintaslah bergantian hingga rabak sepatu demi sepatu, menemanimu dalam genap 29 tahun keganjilan, terbangun kau pada mimpi ke-30, mencatat keasingan demi keterasingan.
Hingga malam pasang kelam teramat dalam. Mata-mata makar mampu melihat tempat kau bersembunyi. Mereka berupaya membinasakan huruf-huruf namamu tapi kau begitu yakin tetap menyandang namamu, kau enggan mengganti laqob. Sepanjang nafas kau tak ingin menjelma siapa-siapa pun untuk selamat dari kilatan mata pedang hukuman.
Hadirlah. Kau hadir lagi. Kembali hadir mengukir sunyi. Memulangkan niat ke dalam rumah-Mu. Waktu seolah kusut, dan jarak terlipat. Namamu tetap semerbak harum di kawah rembulan, dan kami terus berusaha mengejamu dengan nama bintang yang serupa. Riuh gemerlap kota menyadarkan kami dari debu konspirasi.
Walau dunia semakin hutan, dan jarak terlampau asing dari bekas langkahmu dulu, kami kelak yang jadi kini, telah menulis atsar-atsar rindumu, yang tak kenal jam terlelap. Terus menuju diam; tempat kenangan tiada bermusim.
Di kendaraan laut, darat, bahkan udara namamu layaknya mural bebas indah radikal, seperti sebuah kursi yang berabad telah mati, tumbuh tunas dan hidup lagi, atau semacam peta benua yang mampu bercerita, sebenarnya kemana saja putra berber melanglang buana?
Tanjungpinang, 28/03/2017
0 komentar:
Posting Komentar