Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Rabu, 21 Juni 2017

KEINGINAN

                              
Manusia diciptakan memiliki keingian, keingian baik dan keinginan buruk, kedua-dua memiliki konsekuensi dari pilihan yang telah diambil, kecermatan mengatur keinginan akan membawanya pada hakikat kebahagiaan. Banyak pilihan tetapi tidak semua keinginan itu mampu ia gapai, karena keterbatasan, mungkin juga kelemahan atau kekurangan yang ia miliki.
Untuk memiliki sesuatu, manusia haruas memenuhi syarat-syaratnya, baik syarat secara materi, mental juga spiritual, sehingga seblum dan sesudah mendapatkan keinginan itu, kita mampu mendayagunakannya secara maksimal, tetapi jika kita tak ditakdirkan untuk mendapatkannya, maka hati kita telah terkondisikan untuk memaklumi lalu mencari fikiran positif untuk menangkal segala prasangka buruk.

Kamis, 20 April 2017

KESAKSIAN MANDE RUBAYAH

*kesaksian mande rubayah*
_oleh: harfan min kitabillah_

*
aku sudah membisu selama-lama selam, untuk menahan dengar riuh orang-orang ramai menamai anak yang kulahirkan; tapi bukan anakku yang menjadi batu tak bernama itu
betapa sumbing kisah yang kalian gores di bibir malin, merantaulah ke masa lalu, biar kau saksikan semasin itu kah lidahku? sepahit itukah serapahku?
ketahuilah, telah kuajarkan ia makna lelaki, sedu dan sedan tiada arti, berangkatlah nak berangkat, kejamlah pada masa lalu, tikamlah kehilangan dalam dirimu

*
nak, saban hari selalu kau dengar patahan ranting, terusir kita dari rumah gadang, semakin petang dendam dalam dadaku, terlepas bundo kanduang dalam genggaman, kau berjanji akan lunasi hutang sansai, segeralah segera kembali, sumpal nganga rakus mulut makwo-makdangmu!

*
malin anakku, dari deingin keterasingan ini, kubayangkan kau meringkuk memeluk tabah seorang diri, mengenangkan ketiadaan; masa di mana kenangan tak mengusik rahimku, kau ingin aman kembali ke sana, saat fitnah tak semena-mena, mengatur sejarah kita.
sungguh teramat berat kulepas kau memilih, menghukum diri merantau ke pucat tanah makasar dan malaka, kubayangkan kau dari sudut keterusiran ini; ditempa segala keteraturan kota, pada liat otot-ototmu, bekerja kerinduan nan teramat randu, candu semakin hari membesar lebam dan biru.

*
_faham insyaf faham nan haniang, faham sangko didoroang hati_. pangreh praja! di hadangnya dengan dada terbuka, mari sini denai tetak kapal-kapal tuan! maka kulihat condong kerisnya ke kiri.
tersebab itu kau terusir dari kampung sendiri, untuk memahami arti jarak, lambaian niur kelapa yang memanggil pulang, digoda asin ombak pantai air manis, kau memanggul nestapa

*
pulang jua akhirnya kau ke dapur mande. kudengar kemeriuk anak-anak nakal lapar dalam perutmu, segeralah-segera naik ke rumah, tapi kau membaca cuaca, surut pantai tiba-tiba, pertanda petaka, tapi belum tunai janjimu merebut pusaka, kenapa begitu segera menghadang bencana?

_ombak nan gadang datang menjerat_
_membujuk nalurimu untuk segera berangkat_
_sekian lama terlunta-lunta di tengah samudera_
_ombak pun reda, menepikan kita di sebuah pulau_
_begitu jejak menapak; negeri sembilan diberi nama_

*
_dari tujuh lubang bansi_
_saluang pauah menyiar kabar_
_tiada kutukan sekejam itu_
_tiada durhaka sebising batu_

Tanjungpinang/04/2017

*Selamat hari Kartini*

Rabu, 29 Maret 2017

RUHILAH

Bermula terbit di jantung Maroko, luh keinginanmu mengunjungi-Mu, langkah demi langkah gemetar meragu, terbayang di dasar desir paling palung dadamu, tungkai kaki melepuh atas ribuan mil jarak mimpi, mampukah tertempuh;

semak ilalang tajam sendayan, padang mencekam kerontang gersang, lautan kelam tanpa bintang, liar terkam ancaman binatang, juga alamat-alamat nun nan gelap adalah perawan berdarah biru yang peluh jibaku kau nikahi dengan lapisan tebal ruh pengetahuan.

Bermula setapak jejak alkhiza, membekas di atas tanah Tangier,  kesedihanmu tumpah ruah menitik sepanjang pangkal tualang, dihembus angin diarsir debu, samar sosokmu menuju titik pandangan sayu.

Ribuan mil dilintas lalu, lalu lintaslah bergantian hingga rabak sepatu demi sepatu, menemanimu dalam genap 29 tahun keganjilan, terbangun kau pada mimpi ke-30, mencatat keasingan demi keterasingan.

Hingga malam pasang kelam teramat dalam. Mata-mata makar mampu melihat tempat kau bersembunyi. Mereka berupaya membinasakan huruf-huruf namamu tapi kau begitu yakin tetap menyandang namamu, kau enggan mengganti laqob. Sepanjang nafas kau tak ingin menjelma siapa-siapa pun untuk selamat dari kilatan mata pedang hukuman.

Hadirlah. Kau hadir lagi. Kembali hadir mengukir sunyi. Memulangkan niat ke dalam rumah-Mu. Waktu seolah kusut, dan jarak terlipat. Namamu tetap semerbak harum di kawah rembulan, dan kami terus berusaha mengejamu dengan nama bintang yang serupa. Riuh gemerlap kota menyadarkan kami dari debu konspirasi.

Walau dunia semakin hutan, dan jarak terlampau asing dari bekas langkahmu dulu, kami kelak yang jadi kini, telah menulis atsar-atsar rindumu, yang tak kenal jam terlelap. Terus menuju diam; tempat kenangan tiada bermusim.

Di kendaraan laut, darat, bahkan udara namamu layaknya mural bebas indah radikal, seperti sebuah kursi yang berabad telah mati, tumbuh tunas dan hidup lagi, atau semacam peta benua yang mampu bercerita, sebenarnya kemana saja putra berber melanglang buana?

Tanjungpinang, 28/03/2017

Sabtu, 25 Maret 2017

SEPOTONG SENJA DALAM PELUK INGATAN

Senja menyapa kita dalam hening ma'tsur doa.
Cahaya jingga kuning magrib
merasuk dalam bola mata

Bayangan kita memanjang
menyentuh pancang-pancang pelabuhan kota Batam. Tak ada gelap yang mampu melenyapkan,

selama nyala nyali kita dalam dekap kawanan. Berlima kita (barangkali lebih) di atas kapal barang, dari balik jendelanya, kau memandang gelombang berombak tenang,

mungkin kau bayangkan masing-masing kita serupa buih dibelah baling-baling kapal, rapuh saat lepas sendirian, maka kita menyatu; tenang menunang

lambung sampan juga kapal layar, andai ada yang sesumbar mencabar, alamat karam kita hantarkan, atau kita serupa gelembung, air asin menyublim

menuju awan-gemawan, kelak akan jatuh titik air, lalu deras menguyur bumi, tumbuhkan tunas-tunas, lengkung daun pakisan, begitulah kita bila kekal dalam janji, tatap tegar digegar uji.

Lampu-lampu sekoci, kelap-kelip cahaya dermaga menyambut kita; orang asing yang menapak jalanan petang peraduan, banyak upaya debu menghapus nama kita

sekian jarak tertempuh, telah berpuluh titik peluh menetes pun tak jua kita temukan, alat pengukur panjang senja yang menyepuh setiap muka,

namun kita yakin, bawa ingatan kita punya jari untuk mengenggam muasal janji, juga lengan yang selalu memanjang memeluk sepotong senja, lentur iringi umur menuju sunyi.

Tanjungpinang, 25/03/2017
RR.

Kamis, 23 Maret 2017

Terkenang Obat Panu Cap Kaki Tiga

Rasa gatal mengganggu punggung saya, bagian tubuh yang sulit dilihat, benda apa gerangan yang menempel, dengan leher diputar kuranglebih 100 derajat, saya arahkan cermin bekas spion yang semalam copot dari motor (mungkin karena produk KW) ke bagian yang gatal itu, sudah saya duga jamur kulit itu meng-invasi  membentuk putih peta disitu, sungguh sekali sadar sudah ada tiga peta besar yang sedang mereka garap,

berbekal rasa khawatir pagi itu saya berniat untuk benar-benar mandi dengan penuh khidmat dan menjalankan prosedurnya penuh tertib, saya ambil sabun cair yang baru digunakan dua kali pencet, kemudian spons-nya berbusa begitu semarak, tanpa menunggu lama tentunya dengan tekat membara, saya sental saja punggung dan bagian yang terjajah jamur itu berkali-kali, namun tentunya tak mengesampingkan kesan sayang-sayang manja pada kulit sendiri, ya supaya dia tidak mengalami trauma kulit yang lebih zerius. Ok fine #garing

Selesai mandi, saya lihat jam di smartphone, pukul 08.17 Wib, selesai sudah mandi sedemikian khidmat, tetap saja rasanya tubuh ini belum bersih benar. Agar mereka tak merebak merata-rata segera saya bergegas menuju apotik untuk membeli penawarnya, lalu satu potong kenangan melintas dalam fikiran, waktu kecil dulu, selain sering demam, ternyata wajah dan punggung mudah sekali kena penyakit yang aduhai susah nak diceritakan ini,

Waktu itu emak keluar dari kamarnya setelah mendapatkan suatu botol dari laci  yang tampaknya banyak lisptik dan perlengkapan cosmetic lainnya,
"Sini, mamak obatin dulu, baru ke Sekolah,"
"Obat apa tu mak,"
"Obat panu-lah,"

Kubaca merek dagangnya, diberi nama yang lumayan horor gaes, 'OBAT KURAP CAP KAKI TIGA," jeng jeeeeeng!!! Karena masih kecil waktu itu jadi merasa tidak penting menjaga kesehatan kulit, belum selesai emak mengolesi jamur itu saya langsung pergi--- mengenang itu saya merasa bersalah pada emak, walau emak mungkin telah melupakan potongan masa lalu yang lusuh seperti itu,

Sesampainya di apotik dengan berbekal kenangan itu, maka saya mencari obat panau yang judulnya sama, ternyata sudah tak ada lagi, mungkin tak diproduksi lagi, usai sudah benda yang dapat membangkitkan memori indah itu tak lagi saya dapatkan. Dengan sedikit kecewa saya pesan saja kalpanik, tapi penderitaan saya belum usai sampai disitu, timbul lagi sebuah perzoalan, siapa yang bersedia mengolesi obat ini?

Buka WA, hubungi junior.
"An, bantu abang?,"
"Ok, bantu apa bang?,"
"Nanti abang jelasin, kita jumpa di sekre ya,"
"Ok,"

Sebelum sampai di sekre, rasanya saya harus sarapan dulu, eh ketemu Andrean di kedai sarapan padang, 'Berkah Bundo'

"Nak, minta bantu apa bang?,"
"Adalah, nanti abang jelaskan ya, di sini kurang sopan,"
"Ok,"
"Aan, nak ke sekre? Suruh Hatta ke sini ya, bilang bang Ren suruh sarapan,"

Setelah Aan pulang, saya pun meneruskan sarapan, sampai selesai Hatta tak kunjung datang, saya putuskan untuk ke sekre,
Wah ternyata Hatta masih tidur, hemm, jauh rezeki.

Singkat cerita Hatta terbangun, karena Aan lagi nyuci rendaman pakaian yang belonggok di kamar mandi, ya terpaksa Hatta yang jadi sasaran, mula-mula dia jijik tapi karena asas simbiosis mutualisme yang masih ok, jadilah Hatta yang mengolesi, Kalpanik ke bagian punggung yang panuan. cukup demikian cerita babang kali ini, hikmahnya adalah jagalah kebersihan badanmu, belilah brus mandi, kalau tak terbeli, kamu boleh pakai jaring nelayan yang sudah tak dipakai lagi, dan satu lagi panu dapat membuat kita merasa betapa berharganya orang yang telah pernah mengobati panu kita, dan saat dia tidak ada di sisi, kelak kita akan merindukannya bila kita mengulang sejarah itu---artinya panunya kumat lagi---, tapi tentunya mengenang budi baik orang janganlah hanya ketika kita sulit, tapi dalam apapun keadaan kita harus senantiasa bersyukur karena ada orang yang peduli dan kita juga harus peduli, dengan sedemikian kenangan menjadilah layaknya energi, selalu terbaharui, seperti kata sakti ini, 'hukum kekekalan senyuman', sebuah senyuman tulus yang kita sampaikan pada orang lain maka senyum itu akan terus tumbuh ke bibir orang lain, terimakasih emak, terimakasih Hatta. *

*Bagi yang panuan jangan sungkan untuk mengaku, sebelum merebak kemana-mana, sebab panu bisa mengancam nyawa, dengar boleh, caye jangan.

*tulisan ini mengandung sedikit kejorokan, suatu hari nanti jadi bahan orang untuk membuat obituari masa depan sekaligus masa lalu penulis, tengoklah kelak.

Yang Bermakam di Museum

Kau berlari dalam sesak tanjak
menabuh sunyi bunyi inferior

Kau terekam dalam Mozart
guyon-guyon adiluhung

Kau terjebak dalam hapak
Lapuk adat kain sampin

Kau bermalam di Museum
Berteman kelok taming sari

Kau bungkam memahat sepi
Dalam timang dan dodoi kami

Kau saksikan cucucucumu
dilarang keras baca gurindam 12

Dalam gelap yang abadi
Kau bisikkan rayu tajalli

Dalam karat keris pusaka
kau garamkan rindu dan dendam

Pameran pemeran lama
kehidupan baru tumbuh seribu

Terbaling bilang
Terbilang baling

Sejarah memamah jejak takdir
tak kenyang pula tembolok budaya

Dalam sebuah figura aku berkaca pada kau: hadir tak bertanggal lahir, datang tak bertanggal mati.

Tanjungpinang, 12/03/2017

Jumat, 17 Februari 2017

HAL TERTIPIS DI DUNIA


Salah dan benar: dan yang berdiri di tengah-tengah adalah pembatas, hal tertipis di dunia, siratal mustaqim. Bisa tegak menyentuh langit, atau berbaring seperti pantai, tak terhingga diancam ombak. Mau kau renangi, atau kau titi, semuanya berakhir di gerbang surga, cukup satu syaratnya, hati-hati di jalan ya, mau ke kiri atau ke kanan, atau kiri ke kanan-kananan semuanya masuk surga, asal penuh syaratnya, lurus hati ya.

TULISLAH NAMAKU DALAM NOVEL MASA DEPANMU

Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah keterlambatan. Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok makhluk kerdil, hitam , dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
***
Waktu itu, aku menunggunya di bawah langit yang gelisah, bintang-bintang yang sengaja tak dipasang, seolah menambah lengkap suasana yang akan menunjang sepotong episode hidupku yang seolah juga bagai film, drama, atau sinetron, mirip sekali dengan adegan-adegan dramatis yang membuat penonton berdebar, jelas ceritaku ini tak ada yang menonton kecuali jangkrik, deru sibuk kendaraan lalu lalang, lampu jalanan bagai ucapan selamat tinggal dan katak Bendung tepi drainase  yang  berdoa dengan tergesa-gesa agar hujan luruh segera: ketika aku mengenang semua itu aku tersenyum sendiri.

Rabu, 15 Februari 2017

KHUTBAH PERPISAHAN

Sabdamu cahaya matahari menembus celah-celah belukar kala pagi. Cahaya paling sejuk; batangan cemerlang dari awan ke gunung dan bukit berembun. Aku mengendap-endap sembunyi dan menghilangkan diri-- bayang demi bayang, tapi kau selalu mampu menangkap menemukanku dan memulangkanku ke tuju penciptaan. Sentuhanmu sutera rajutan Jibril, mengubahku jadi senjata dan perisai yang tak rela rambutmu luruh walau sehelai.

Hingga wahyu berujung pada telah. Memberi aba-aba. Kau selalu mengingatku lebih dari siapa. Kudengar tiga kali risau itu bergetar; ummati, ummati, ummati.

Pedang yang paling tajam di kota ini terhunus menantang benderang  matahari, mendadak terhempas menerbangkan debu-debu padang pasir, tatkala sebilah firman bagai baru menghujam dan mengupas keras hati.

Kau telah pergi, tanganku masih menggenggam jemarimu, lepas satu-persatu. Semua saksi menjelma sungai, banjir, menguap, kering dan mudah gersang, begitu siklus ini berulang hingga jatuh timbangan raksasa menimpa setiap kepala waspada juga pada rapuh leka.

Luka ini, perih parah. Tiap malam aku membeku. _Wa Allah!_ --- setiap menuju pagi   kau terbit mencairkan aku penyubur gersang di dada harapan.

Aku sesenggukan, memandang pundak-pundak bergetaran, menahun rindu siang ke malam, melangkaui sulbi pada yang terpancar, melebihi akar padi jati saripati.

Tak ada yang datang lagi, setelahmu palsu, cukup seorang pembelah rembulan, juga firman yang belum pernah lebih awal menyentuh hati dan lidah siapapun, hanya kau yang mampu dan Tuhan restu, hanya kau, selebihnya kitab-kitab rawan racun remuk cendawan.

Aku mencintaimu, tapi rindu yang ragu; perasan perasaan kalah, pada tangis sebatang tamar yang merintih kau tinggalkan walau selangkah, walau sebentar menuju mimbar masa depan

ZAKIYAH NURMALA

Gigimu sewarna fajar, renggang juga tanggal satu dua, sering manis dunia kau emut sesukanya, namun tatkala kau tersenyum segala ketaksempurnaan gigi itu melengkapi semesta giga penuhi telaga jiwaku yang kerontang begitu tunggu.

Jilbabmu berkibar-kibar, menahan kobar godaan, "Kata Ustadzah rambut ini mahkota yang harus dijaga, kalau tidak nanti jadi jerat, menyeret ayah masuk neraka," begitu mulut kecilmu cerdas menjelaskan. Mata airku tumpah, sebuah kecupan dan peluk hangat berupaya membeli kenikmatan yang takkan pernah terlunasi.
Jilbabmu riang berkibar-kibar, saat kau berlari menuju pintu kelas, dan melambaikan tanganku padaku.

Lalu pada jam pulang sekolah, ayah menantimu seperti biasa dari balik pagar, sambil bertanya-tanya, di masa dewasa kelak apakah kau benar-benar milik tualang? Jika benar maka ayah akan bersiap menjelma ilalang, yang akan menyentuh lentik jejarimu yang gemetar menenangkan rindu: entah pada siapa.

Tembok-tembok  rumah pula penuh coretan crayon, gambAr itu bergerak di dalam benak, mereka hidup membesar ikuti jejak umurmu.

Suatu ketika pula kau mengadu tentang nama guru yang membatasi pilihan kata hanya pada: bagai, terkilan, lihat, paham dan sepuh, karennya kau enggan kembali sekolah. Untuk mengobati itu seperti biasa dua lembar karcis komidi putar kita pesan di sebuah pasar malam.
"Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga karcis, tapi masa kecilku telah terperangkap di masa depan.

Kau pernah berkata tentang suatu hal yang mampu membuat bumi berhenti berputar, berubah jadi semangka yang jatuh terburai di lantai putih, bercak merah merata tempat, "Ayah, Kata bu guru, orang yang korupsi, tak layak hidup lagi," dan kau mengemut kembali setangkai lolipop rasa susu stroberi.

"Ayah, kenapa hampir di tiap  absensi  namaku sering sekali dipanggil terakhir kali?"

Rudi.rendra, Tanjungpinang

DISETIAP TEMPAT YANG PERNAH ADA KITA

Di masa lalu, kita pernah berbicara tentang masa depan, lalu pembicaraan itu kita hapus dari jejaring sosial dengan ibu jari yang tak pernah tahu rasa melahirkan.

Aku tidak yakin benar bahwa pembicaraan itu benar-benar telah musnah terhapus, aku dengar negara menyimpan setiap pembicaraan, menyadap setiap interaksi, mereka mencurigai rakyat yang telah memberinya minum dan makan, aku bayangkan cumbu rayu, kata-kata privasi telah menjelma jadi bom waktu, yang sewaktu-waktu menunggu pemicunya terinjak oleh lidah sendiri, lalu negara melucuti setiap topeng yang mereka kenakan.

Bank pencurian data pembicaraan itu membuat kita menyepakati sebuah bahasa diam yang berarti penantian. Kata-kata sandi telah kita rumuskan untuk menutupi maksud agar tak direnggut telinga mata negara.

Aku selalu punya alasan lebih dahulu untuk menghubungimu, semua rahasia kalimatku kau anggap mungkin, setiap alasan pula berarti bagai, aku mendengar tanggapanmu yang bermakna kapan, semua kata akhirnya membingungkan kita, menjebak kita pada kota sandi yang berujung pada kesimpulan tak terpecahkan oleh dua belah pihak yang pernah bersepakat.

Di bangku seminar pernikahan, dimana kau dan aku pernah dipertemukan ketaksengajaan, gedung itu kini telah dirobohkan pemerintah daerah, diganti dengan sebuah gedung yang lebih indah, masa itu telah terkubur menjadi pondasi mengukuhkan keringkihan tembok yang mudah sekali runtuh.

Dua pasang kaki silang sepak, enggan mengakui masa akan yang pernah kita setabahi, di tanah yang pernah ada jejak kita, masih terlihat bekas itu, dua tapak kaki saling berhadapan, menyerahkan ketidaksanggupan diri saling menyentuh.

Maka kuizinkan matahari membelah diri jadi dua, terbit dari timur dan barat bersama-sama, lalu condong ke arah angka sebelah dan dua, membentak jasad kita untuk berdekapan, tapi tak seinci pun kita  mampu menghangatkan, selain membentuk dua  bayangan tubuh  yang berpelukan tak bisa menghasilkan apa-apa selain tajam kedinginan.

Semua tempat yang pernah ada kita, sejatinya tak pernah bisa terhapuskan, maka mereka menjadi bisa, membuat hati merasakan sensasi debar bermain judi di meja takdir, kita pula adalah menu yang tak pernah disentuh untuk mengenyangkan kerinduan sendiri, serupa reduksi peribahasa tentang pelangi yang tak berpeluang ada di atas kepala sendiri.

Di setiap tempat yang pernah ada kita. Tak semata cukup dicakup dengan istilah kenangan, mereka hidup tetap hidup tersimpan dalam mega server penyimpanan memuat semua kerut keningan, bila kau rindu berkunjunglah ke taman yang penuh kunang-kunang, kenanglah aku sebagai kelap-kelip yang merawat penglihatanmu dengan air mata. Dan Izinkan aku tidur lelap di matamu.

Rudi Rendra. Tanjungpinang 12/2/2017

SETELAH DIKOREKSI

Kemarin ceritanya setoran puisi di Liksitera dan nemu puisi yang keren, dan dapat kami pun semua banyak yang mengamini, coba di baca dulu ya, setelah saya baca puisi ini saya terinspirasi juga untuk buat puisi cerita sejarah, dan lihat juga nanti dua penulis senior dari liksitera mengupas pas puisi yang masih mentah itu, He He selamat membaca,

*Tiga Belas*
_oleh Ika Y suryadi_

Tiada perjamuan malam ini. Juga seniman yang sedia menggores kanvas tentang sunyi perjumpaan. nafas-nafas engah. debu-debu remah. tapi, tanah bebatu ini tetaplah meja panjang, langit berkelip ini adalah atap lapang. meski kami mesti mengendap-endap di tanah Makkah. mendaki terjal 'Aqabah.

Musim ziarah ini. Kami duduk bertiga belas (meski aku yakin kami tak benarbenar tigabelas) : malam kian kelam. rindu makin dendam. Jadi inikah lelaki itu? belasan musim simpang siur di kota kami. kini ia berada akrab bagai air perigi gurun. meski darah di tubuhnya belum lagi kering, tapi wajahnya indah bersuluh purnama. atau memang aku salah memberi nama, benda langit di atas sana.

Jantungku berdesirdesir. tentang apa yang membuatnya terusir dan tersingkir. Ia memandang kami begitu jauh. ke kemah musuh melenguh. ke tempat tiada kami tahui. juga ke sebuah masa yang mesti kami hadapi. Tolong seka resah di matanya. Barangkali ia terkenang petuah Waraqah. sehingga kuharap kelepak angin menerbangkan lelahnya, meski tidak risalah di pundaknya. _usah kau berduka. Ini kami sedia mendengar segala_

Tapi ia kian berbinar. Kudengar ia malah berkata, "Kemarilah." dan aku gegas berdiri. semakin rapat hingga tiada celah bagi angin mencuri dengar. Ketika aku menggapai telapaknya. gelenyar hangat menguar dari dadaku. menyebar sampai ke ujung-ujung kuku. Sungguh aku khawatir ini terlalu membakar dan melukainya. meski di balik cerlang wajahnya, ia malah membagi teduh. katanya, _kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit.._

Kemudian ia memandang kami lekat dan lekat lagi. wahai, ini musim semi tak terperi. angin gurun gemuruh tak bertepi. sungguh badai telah reda hari ini. Tapi, apakah rinduku yang paling nasib. atau kau jua penyapih kasih paling sejati.

Tiada perjamuan malam ini. Juga pengkhianat yang bersembunyi. hanya pemeluk janji yang terberkati. pemilik mimpi hidup bersamanya. di suatu esok, esoknya lagi.

Jambi. Februari 2017

[15/2 11.48] harfan min kitabillah: AKU DAN NYALI KASHVA

Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah

Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius

Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi

diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta

dari pada di sembah mereka
aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian
rindu yang bercahaya
menuju kota cahaya

walau aku padam
membara jua di hatinya
bercahaya di tikai badai ahzab:
parit pemisah antara benar dan salah.
[15/2 17.37] ‪+62 812-1341-6419‬: AKU DAN NYALI KASHVA

_Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah_
Ini aku artikan sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia

_Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius_
= Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan

_Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi_
Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api

_diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta_
= bait ini cukup jelas

_dari pada di sembah mereka_
_aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian_
_rindu yang bercahaya_
_menuju kota cahaya_
= aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah

_walau aku padam_
_membara jua di hatinya_
_bercahaya di tikai badai ahzab:_
_parit pemisah antara benar dan salah._

=meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva)

Jadi yang aku tangkap kurang lebih aku menemani kashva yang punya niat yang kuat menuju kebaikan (cahaya)
Meurutku secara umum bangunan gaya bahasanya belum padu. Antara bait dengan bait lain masih terasa patah-patah. Cerita barangkali memang sepenggal2 tapi bangunan suasana harusnya mengalir lancar. Yang aku tangkap di puisi ini masih berupa cerita yang dialihmediakan. Maksudku masih terkesan cerita diubah deskripsinya sehingga pembaca harus membaca lebih teliti untuk bisa mngerti. Padahal puisi harus lebih dalam dari itu. Mungkin bisa lihat intisari dari masing2 paragraf ini
1. sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia
2. Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan
3. Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api
4. Aku dan kau (kasva) memiliki ‘visi’
5. Aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah
6. meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva?)
Cerita tersebut bagiku masih baru sekelebatan, belum menukik ke dalam dalam mengeksplor konflik batin. Dari judulnya sendiri aku dan nyali kashva hanya terdapat di dua bait awal, selebihnya lebih ke aku. Saranku barangkali jalan cerita bisa dibangun lebih unik dan dalam lagi, mengalir, dan dibangun di atas hubungan emosional antara aku dan kashva. Atau bisa saja malah fokus pada bagimana aku memandang kasva. Seperti yang dilakukan ika di puisi 13. Bangunan perasaannya akan lebih ajeg.
Selain itu diksinya barangkali lebih dioptimalkan lagi. Contoh pada kota cahaya, di situ cahaya sudah jadi metafor, jadi agak lebih ketika harus digunakan untuk menjelaskan rindu juga (yang bercahaya), dan digunakan lagi pada /bercahaya di tikai/. Aku nyala api (bait 3), walau aku padam (bait 6) membara jua (bait 6). Aku gak terlalu sreg dengan membara di sini.

Selanjutnya dapat koreksian juga dari mbak Ika yang Puisinya keren,

[15/2 12.56] Ika Y. Suryadi: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masyaallah. Saya baca baik-baik dulu ya .
[15/2 16.52] Ika Y. Suryadi: Menurut saya.. (Tapi sebelumnya saya mau ngasih tau, saya gak oke banget kok bikin puisinya. 😶 Saya klo nulis pake rasa baru setelah itu teori. Puisi tiga belas kemarin, saya pikirin di kepala sekitar 3-5hari, trus sehari sebelum kumpul, saya tunjukkan naskah kotor saya ke Kak Didin dan Kak yurna, mereka bilang puisi saya = "terlalu banyak yg ingin di ceritakan". Lalu saya pun menghilang dari mereka. Dan saya renungkan puisi saya, revisi sendirian malam2. terus2an.. Sebenernya sampe berdoa minta izin sama Allah.)

Puisimu juga masih terlalu banyak yang ingin diceritakan/dijabarkan, (mungkin belum lama di perem) sehingga yg tertangkap baru detail fisik, detail perasaan batin nya belum terasa, suasana tegang dan kecintaan pada Kashva. Belum ada greget, tapi InsyaAllah akan ada kalo di gali lagi..perasaan si aku lirik, _kan kondisinya kamu jadi dia di puisi itu_.

Abaikan dulu mengapa dan kenapa. Tp Fokus ke apa (yg mau di ajak untuk direnungkan), Siapa yg mau di tonjolkan, perasaan Kashva atau aku. Ohya.. 'Aku' di sini pengikut Kashva atau bagian tubuh dari Kashva?

Puisi sejarah sama aja dg puisi2 yg kamu sering buat, meskipun dia punya alur, tp dia ttp punya perasaan kuat yg ingin ditonjolkan. Terus kalau bisa awal kalimat di puisi langsung menghentak. Sama kayak pas kita buat cerpen. Kemudian, closing-nya kurang bikin termangu. _Parit pemisah antara benar dan salah_ itu terasa terang sekali. Saya secara pribadi suka puisi yg endingnya bikin termangu karena diksinya.

Contohnya Puisi "Belaka" karya Nirwan Dewanto, di kalimat terakhir:
_maka kuwariskan padamu puisi yang lelah oleh hujan ini. Terimalah. Musnahkanlah. Agar puisimu belaka tak sia-sia._

Atau beliau juga pernah buat puisi tentang "The Last Supper" (puisi sejarah_naratif) closing nya malah ucapan Judas, si pengkhianat. Yg bikin pembaca (saya sih) tercenung.

Mungkin itu saja, selamat menyelami perasaan si Aku. Maaf kalau ada salah. Saya baru bisa jadi penyair belum bisa jadi kritikus yg baik 🙏 tapi terimakasih...saya juga belajar banyak dari puisi antum di liksitera.

Sekedar info.., guru saya lebih mahir; Kak Didin.

Sabtu, 28 Januari 2017



K e s i a g a a n
mengukir nisan binafsih,
 tualang                mengukur
                                                            takbiratul                       ihram                                                         
                                                           Kekasih:                    t e l a h
                                                             r e k a h               kembang
                                                                 mentari,   bersedekap  
                                                                        m  e  n  y a p a
                                                                       s  u  w  a  r  g a
                                                                  bergegas          l e k a s
                                                            menuju                          malam,
                                                          berlarian                            K  a  u
                                                         datang                                pada di,
                                                          K   a  u                           Terang   
                                                             Lambang                 A b a d i
                                                                  a k u  tarung  lambung
   a b e d i :  8,



rudi rendra
Tanjungpinang,
2  0  1  7

Jumat, 27 Januari 2017

MENYIMAK TANGIS

Hujan merekam rendam milimeter basah dalam ini tanah
Ia simak setiap lembab doa tabah akar-akar tercerabut:
hijau  selimut kabut. Di masa hadapan ratap tak lagi beratap, 
dari berbagai seluk pelosok sejuk pun enggan berkubang 
dalam lumpur. Aroma kering menguar mengenangkan suara 
air menetes dari bunga, dari daun, dari ranting, dari loteng, 
dari tiang listrik, dari awan yang kehilangan daya menangis 
dengan air mata. Dari keran kamar kecilmu, tempat sembunyi 
sesak teriak.
 
Dari sela-sela genggaman Yang Kuasa, ia melihat ke bawah 
bahwa semua kerinduan itu pecah di setiap mata, kering dari 
riwayat alur alir air yang pernah mengajak batu goyah dari 
diamnya, ia pilih pergi bukan benci sebagai lawan untuk 
pulihnya cinta (mampu sembuhkah?), tapi mengapa sepi malah 
semena-mena menganak sungai, 


2017

Selasa, 24 Januari 2017

CERPEN HASIL KROYOKAN BELUM DIBERI JUDUL

WGenderang perang telah ditabuh. Perjaka yang memegang panah itu berdiri dengan gagah, menarik bidik panah dengan perlahan. Lengan kanannya gemetar menahan ragu, mungkinkah tepat sasaran? Sedang dirinya kini tak lagi benar-benar perjaka, apakah benar dia tak lagi perjaka? Bukankah kejadian itu adalah kehendak sang Dewi melakukan rudapaksa atas keperkasaannya? Dalam keraguan itu, ia turunkan busur, "ini anak panah satu satunya, jika tak berhasil mengenai lawan, aku pula yang akan binasa,".
Panahpun dilepaskan dari busurnya, disaat inilah kehendak langit benar benar menjadi pilihan satu satunya. "Pada siapa aku harus percaya?" Resah hatinya sambil melihat bidikan panahnya. keringatnya yang dingin bercucuran deras bak hujan di gurun pasir. Busur yang ia bidikkan masih terus melintasi awan.
"Para penumpang di harap tenang, sabuk pengaman tetap dipasang dengan sempurna," ucap pramugari tenang namun tegang luar biasa.
"Hah! Mimpi,"

Kulihat awan bergumpal hitam, aku duduk tepat di pintu darurat pesawat terbang. Wajah-wajah cemas ada yang mendadak beriman, menyebut nama Tuhan, aku belum sadar benar, seorang pramugari dengan wajah tegang menghampiri,
"Pak, tolong sabuk pengamannya di pasang,"

Dengan tergesa aku memasangnya, dua wanita di sebelah kananku, cemas, menangis, air matanya deras mengalir, rayap mohon ampun keluar dari mulut mereka, deretan dosa-dosa keluar begitu saja,
"Ampun Tuhan, memang aku yang melakukannya,"

"Busyet," batinku, aku terkenang kisah nabi Nuh yang membuang diri ke laut, karena dosanya meninggalkan umat, apakah juga karena ada,seorang pendosa di dalam pesawat ini? Mungkin dia harus ditendang keluar, tapi ini bukan kapal laut! Harus beda penanganannya, aku melepas tali pengaman bersiap berdiri limbung, dan dipaksa tegap berdiri,
"Mengakulah siapa yang telah berbuat dosa, aku yakin diantara kita ada yang telah membuat Tuhan murka," seorang dari bangku seat 25C, berdiri mendahuluiku. Sapa yang ingin aku katakan umumkan kepada penumpang lainnya sudah keduluan, terlambat satu detik.

Semua penumpang terdiam, wajah menggambarkan,suasana mencekam, gadis dan anak-anak menangis histeris, pesawat limbung, seolah segera terjun bebas entah ke bumi bagian mana, bergidik kubayangkan besok hari pesawat ini menjadi head line di sebuah surat kabar, juga trending topik di berbagai berita nasional,

Orang orang mulai koor menyuruh seseorang mengakui dosa-dosanya,
"Ayo mengaku, jangan dikorbankan kami gara-gara perbuatanmu" seru salah seorang bapak-bapak berjas hitam, sepertinya dia akan menghadiri rapat sebuah perusahaan besar, atau dia pejabat negara. Aku tetap mendengarkan saling tuduh, suasana semakin mencekam dan memanas.
Aku mulai resah dan gundah. Jantungku berdetak keras, fikiran ku kacau berhamburan. Sambil memegang sabuk pengaman yang melilit pinggangku dengan kencang.
Bagaimana jika pendosa itu aku? Ya, hanya itu yang terpikirkan olehku. Pesan bapak, sebelum kau menyalahkan orang lain, tanyakanlah kepada diri sendiri, barangkali kita turut andil di dalamnya. Kata orang orang tua di kampungku, jika kita beristighfar, maka boleh jadi itu dapat melancarkan rezeki kita. Salah satunya dengan keselamatan dari turbulansi pesawat ini. Tapi, kenapa tiba tiba aku teringat dengan mimpi tadi ya? Apa itu pertanda?

"Pertanda apa hayono..."

Seseorang masuk tiba tiba di ruang kerja menepuk pundaknya. Penulis itu terkejut, seseorang yang familiar itu kini berada di hadapannya, sambil menodongkan shiruken, di lehernya,
"Sudah ada uang untuk bayar sewa,rumah ini?"

Sang penulis tergagap, novelnya belum di bayar penerbit, uangnya belum ada, maka ia pun mencari jalan keluar untuk tetap hidup.

"Hm..bagaimana jika tuan memberikan saya waktu sedikit lagi untuk menuntaskan novel ini? Seluruh royalti akan saya bayarkan untuk melunasinya, jika perlu, saya akan beli rumah ini."
"Kau kira kami bodoh apa? Terlalu banyak janjimu. Sekarang cepat bayar! Anak istri ku juga perlu makan!"

Geledah rumah ini! Suruhnya pada 2 bodyguardnya yang bebadan gagah dan sangar.

Setelah 30 menit digeledah

Bos, aku jumpa buku tabungan "kata bodiguardnya dengan senyum tajam dan alis kanan yang naik ke atas.

Lempar itu pada ku "kata bos yang tangannya masih memegang suriken yang masih mengarah di leher haryono"

Haaap "bunyi buku tabungan ditangkap"

Apaaaaa?
Ini kau punya uang sebanyak 3 juta! Kenapa tak kau bayar uang sewa mu?
Kau mau macam-macam padaku?
Berani kau ya?
Teriak bos dengan amarah memuncak ketika melihat deretan angka 0 yang cukup banyak dibuku tabungan haryono

Ampun pak, ampun.
Itu uang tabunganku.
Ada hal yang perlu untuk itu, jawab haryono dengan air mata yang tak mampu dibendungnya

Bedebah kauu! Mau kau apakan uang ini

Ampun pak, itu aku tabung sudah sekian tahun yang lalu. Untuk meminang gadis manismu itu

Apaaaaaaa???
Gila kau yaa

"Cressssss," darah segar menyembur, memercik mengenai mata kananku yang melihat semua kejadian 10 tahun silam, aku melihat semuanya dari balik dinding kamarku, sebuah lubang kecil membuat mataku jadi saksi sejarah, bagaimana ayahku dibunuh dengan kejam, mereka menggeledah seisi rumah, tak ada yang bisa mereka ambil untuk diuangkan, kecuali buku-buku koleksi ayah sedari zaman bung Hatta masih menjadi presiden, dan penjahat mana yang mau membaca dan mengoleksi buku, mereka meninggalkan rumah, dan tak menyadari keberadaan aku yang lebih sigap bersembunyi ke bawah tanah, ayah yang telah pengalaman menghadapi,situasi semacam ini, membuat ruangan khusus bawah tanah bawah kamarku, untuk teman persembunyianku, aku menyaksikan,semuanya,"

Seorang penulis buku biografi mencatat semuanya wawancara itu, berkali-kali ia putar ulang rekaman wawancara dengan sumber yang tak mau disebutkan, tentang,sejarah keluarganya yang tertuduh PKI, dia melihat keluar jendela apartemen, warna biru mobil polisi menari-nari di bawah kita Jakarta, dua orang berandal tampak olehnya berkeping tak bisa lari, sebuah helikopter berpaling-pusing di atasnya menurunkan tanggal tali dan seorang polisi berbaju rompi anti peluru menuruni tangga itu, mengikat kedua penjahat itu, maka tampaklah dari jendela apartemennya, dua orang penjahat entah kelas apa menjuntai juntai di bawa terbang helikopter,

"Hidup adalah rentetan penantian, tak ada yang lebih kuasa menandingi kekuasaan, setiap yang hijau gugur juga, setiap yang kuat rebah juga," wartawan itu membatin dalam hati, membersihkan diri, berganti baju tidur, dan setelah itu membiarkan mimpi benar-benar menguasai kelelahannya.

(HASIL keroyokan Widya, Rure dan Rika di grup wa keluarga Batok)

3 Rahasia Menulis Cerpen yang Bagus

Ada tiga cara yang bisa Anda lakukan untuk menghasilkan karya cerPen yang bagus:

Memilih Tema

Tema yang bagus ialah tema yang tak terpikirkan oleh orang lain. Di sinilah kita dikatakan sebagai orang yang berhasil melakukan imajinasi, mampu menghadirkan apa yang belum pernah dihadirkan orang lain, mampu menyajikan sesuatu dalam sudut pandang yang berbeda. Tema tentang kuliah, sekolah, di kampus, pacaran ABG dan seterusnya itu tema-tema biasa. Kenapa kita tak coba membuat cerpen tentang misalnya kisah seorang tukang jahit di istana presiden, kisah seorang petugas penembak mati kasus-kasus narkoba, kisah seorang istri pelaut di Selatpanjang yang selalu ditinggal suaminya, dan hal-hal lain yang belum pernah dipikirkan orang.

Memperindah deskripsi dan narasi

Sebelum menulis, ingat bahwa Anda akan menulis cerpen, bukan berita atau artikel. Cerpen ialah karya fiksi yang memberikan efek estetis bagi pembacanya. Jadi keindahan itu menjadi sesuatu yang penting untuk disampaikan. Caranya bagaimana? Pilihlah diksi, atau frasa atau kalimat yang indah. Sajikan dengan cara yang berbeda.
Misalnya, orang biasanya akan menulis ‘suatu hari’ pada awal kalimatnya, coba diganti menjadi ‘syahdan’. Akan terdengar lebih indah dan menarik.
Atau misalnya, ‘matahari terbit pagi itu’ kenapa tidak diganti dengan misalnya, ‘mentari merembasi pagi yang menguning. Dan sebagainya, masih banyak pilihan diksi, frasa atau kalimat indah yang bisa ditampilkan.

Lakukan eksplorasi lebih dalam

Eksplorasi, sajikan dengan detail setiap apa yang akan Anda tulis. Untuk bisa mengeksplorasi, maka Anda harus mengamati, melihat, memikirkan, membayangkan tentang sesuatu yang Anda tulis.

Contoh
Kita menuliskan, ‘hujan turun begitu deras’. Coba pikirkan seperti apa hujan yang turun deras itu, misalnya seperti garis. Maka kita bisa tuliskan, Hujan turun bergaris di wajahku. Lalu kita pikirkan lagi, seperti garis apa hujan itu, bagaimana bentuknya, dia akan mengenai apa saja.
Maka bisa kita tuliskan;
Hujan bergaris menyapu wajahku. Bening-bening yang membulir, meresapi pori-pori tubuhku yang kian ngilu. Dan seterusnya. Ada upaya menggali, melihat, membayangkan dan mengimajinasikan.

Oleh: Nafi’ah al-Ma’rab

BUNYI DALAM PUISI


Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Marjorie Boultan menyebut rima sebagai phonetic form. Jika berpadu dengan ritma, bentuk fonetik itu akan mampu mempertegas makna puisi (Waluyo, 1991:90). Pembicaraan tentang rima akan mencakup orkestrasi bunyi, simbol bunyi, kiasan suara, dan lambang rasa, sedangkan ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangaan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
Bunyi dalam puisi berfungsi sebagai orkestrasi, yaitu untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik. Dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa  pendengarnya (pembacanya) (Pradopo, 1987:27). Dalam tataran ini dikenal dua kombinasi bunyi yang menghasilkan bunyi seperti bunyi musik, yaitu efoni dan kakafoni.
Efoni diartikan sebagai bunyi yang indah atau kombinasi bunyi-bunyi yang merdu. Orkestrasi bunyi merdu ini biasanya dapat atau untuk menggambarkan kerasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan (Pradopo, 1987:28). Pada sajak-sajak MDDM orkestrasi jiwa ini ada yang bernada efoni, sperti rasa syukur, nikmatnya rindu, nada-nada optimis, juga  yang bernada kakafoni seperti pada perasaan khauf (takut) kepada  Allah dan berlindung diri kepada Allah daari kejahatan dunia dan kehidupan. Sebagai contoh, berikut ini salah satu sajak Kuntowijoyo yang bernada efoni:
8
Bidadari yang cerdik
mengirim buahan
untuk mata yang selalu menatap langit
dan hari esok semata pelangi
Maka tersenyumlah
karena duka terakhir bergegas mengundurkan diri
Dari engkau, bagai sutera, diterbangkan angin senja

Keberadaan vokal I dan a pada sajak di atas yang dikombinasikan dengan konsonan n, h, r dan bunyi sengau ng menghasilkan efek bunyi yang merdu yang menggambarkan kegembiraan. Kegembiraan itu adalah kegembiraan seorang hamba yang selalu ingat pada-Nya dan selalu memandang permasalahan kehidupan berdasarkan pandangaan-Nya /untuk mata yang sselalu menataap langit/. Untuk hamba yang seperti itu, hari esok akan dijelangnya dengan keindahan /dan hari esok semata pelangi/ dan keoptimisan. Keoptimisan dalam hal ini adalah sebuah  orkestrasi yang sesuai dengan rasa  keseluruhan sajak. Oleh karena itu, keyakinan ditanamkan pada aku lirik bahwa hari esoknya adalah kebahagiaan dan segala yang akan mengantarkannya pada kedukaan telah sirna /karena  duka terakhir bergegas mengundurkan diri/. Ssetelah itu aku lirik mengalami ekstase, mengalami keringanan jiwa, dan kesucian /Dan engkau, bagai sutera, diterbangkan angin senja/. Begitulah nada efoni telah menjadi orkestrasi bagi kejiwaan aku lirik sebagai hamba  yang dikaruniai rahmat, kesejahteraan, daan hidayah /Bidadari cerdik/ mengirim buahan/ untuk mata yang selalu menatap langit/.
Sebaliknya, dari efoni adalah kakafoni, yaitu kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, dan penuh bunyi k, p, t, s. Kombinasi bunyi ini dapat memperkuat  suasana yang tidak menyenangkan (Pradopo, 1987:30). Untuk lebih jelasnya berikut ini sajak yang berkatafoni:

2
(Storrs—New York, 1973-1974)

Tuhan menjaga diriku
dari kejahatan bayang-bayang
gedung pencakaar, batu granit
lorong bawah tanah
dan gerbong usang
Dan Tuhan menjaga diriku
dari kejahatan angan-angan
Dari gadis dengan seekor anjing
dari rimah roti di tangan
....
Konsonan k, p, t, s yang berkombinasi dengan vokal a, I, u menimbulkan bunyi yang tidak merdu sehingga suasana yang terbangun adalah suasana khawatir, tidak menyenangkan, dan keinginan menjauh dari hal-hal yang jahat. Kejahatan-kejahatan yang dikhawatirkan oleh aku lirik menjadikan orkestrasi kejiwaan saja tidak merdu. /dari kejahatan bayang-bayang/gedung pencakar, batu granit/lorong bawah tanah/dan gerbong usang/ dan /dari kejahataan angan-angan/Dari gadis dengan seekor anjing/dari rimah roti di tangan/. Namun, dalam keseluruhan sajak nomor  dua itu, tersirat sebuah nada tawakal (lihat 2.2.1.3) sebagai poros utama ide dasar sajak, yaitu dengan dihadirkannya  larik-larik yang berbunyi Tuhan menjaga diriku. Dalam hal ini, pada sajak tersebut terdapat dua nada yang bertentangan, antara keyakinan, optimisme, ketawakalan, dan ketenangan, dengan kecemasan dan kelemahan. Pertentangan itu pada akhirnya dapat disatukan dengan satu aspek  kakafoni sebuah bunyi. Dominasi pemaparan kejahatan menjadikan sajak tersebut lebih cenderung berkakafoni karena faktor bunyi konsonan k, p,t, s.

(Dari:  M Irfan Hidayatullah, kipas,dari grup WA liksitera)

REKAYASA IMAJINASI

Kebanyakan pengarang cerpen tidak membuat konsep terlebih dahulu, baru kemudian diketik rapi ia akan langsung menuliskan cerpennya sampai selesai. Paling-paling setelah selesai hanya ada koreksi, seandainya (siapa tahu) ada kesalahan ketik, meskipun sudah dikoreksi sambil jalan. Koreksian ini semakin tidak menjadi masalah berat lagi sejak komputer telah menggantikan peran mesin ketik.

Bagi orang yang terbiasa membuat konsep terlebih dahulu, baru kemudian mengetik rapi (biasanya bukan penulis prosa), menuliskan ide secara langsung merupakan hal yang istimewa di mAtanya. Karena itu sering datang pertanyaan kepada pengarang cerpen "Apakah Anda tidak menuliskan konsep terlebih dahulu?" bagi pengarang,pertanyaan itu sangat konyol,  karena baginya menulis cerpen berarti telah punya konsep di kepalanya. Untuk apa ditulis dua kali? Bukankah kalau seorang "pemburu" telah menemukan pelatuk senjatanya ia segera menembak

GAYA DANARTO

Danarto memiliki tempat tersendiri dalam sastra mutakhir Indonesia. Ia menampilkan GAYA yang baru sama,sekali dengan tema yang jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh pengarang Indonesia yang lain. Demikian antara lain ditulis oleh editor penerbit Balai Pustaka yang menerbitkan buku kumpulan cerpen Sunarto, "Adam Ma'rifat".

Pengarang yang berasal dari Sragen Jawa Tengah itu (lahir, 27 juni 1940) percaya bahwa cerpen bisa memberikan pencerahan. Katanya lagi, penulis cerita rekaan perlu mempelajari dan mengerti banyak hal. Ia juga,disinyalir oleh kritikus Amerika Burton Raffel dalam Asian Wall Street Journal (28 Februari 1980) sebagai eksperimentalis, & cerpen Danarto mempesona, melebihi cerpen terbaik yang ada di Eropa maupun Amerika saat ini.
Menilai cerita pendek tidaklah perlu harus mengetahui latar belakang kehidupan maupun pandangan penulisnya. Bertolak saja dari karya-karyanya, sudah cukup. Hasilnya bisa bertentangan seratus persen dengan kemauan pengarangnya. Bagi saya, subyektifitas sangat penting ng (Danarto dalam pengantar "Adam Ma'rifat).

Berapa pun Danarto menyatakan pendapatnya bahwa menilai cerpen tidak perlu harus mengetahui latarbelakang kehidupan maupun pandangan penulisnya, pembaca cerpen Danarto tidak bisa menghindari diri dari pertanyaan sekitar  tema yang dipilihnya. Sekurang-kurangnya pembaca akan dapat menduga-duga., dalamnya pengetahuan penulis hingga melahirkan cerpen yang begitu bagus dekat dengan dunia santri jawa, bersuasana mistis-religius.

Untuk mengenal lebih dekat dengan cerpen-cerpen Danarto, marilah kita simak beberapa penggalan cerpen "Mereka Toh Tidak Mungkin MenjAring Malaikat" berikut ini:

Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang menampar pikirannya, maka ditunjukkan layang-layangkan seperti hendak menyerbu layang-layang yang lain, tepat di tengah atap itu: brag-brag-brag beberapa genting kuperintahkan jatuh, tentu saja keunikan tidak mengenai mereka, melainkan kepingan-kepingan itu biarlah jatuh di lantai saja. Mereka jadi terkejut, semuanya menengok ke atas yang tanpa langit-langit itu, hingga lubang yang menganga itu menghantarkan sinar matahari ke dalam. Setelah itu dikirimkan hujan khusus lewat kupang atap itu. Mereka bubar keluar.

Di halaman sekolah, guru dan murid-murid itu terheran-heran memandang ke langit. Bagaimana mungkin ada hujan setempat yang begitu kecil, demikian mereka saling berkata, yang,semuanya disambut dengan tersenyum saja. Yang menyenangkan adalah pikiran guru dan murid-murid itu menjadi segar dan kemudia mereka ramai-ramai belajar di sebuah bukit yang rimbun di seberang halaman sekolah. Sebenarnya itulah yang kehendaki. Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah padang rumput yang luas itu bukan kelas?

GAYA HAMSAD RANGKUTI MENULIS CERPEN

Penulis Cerpen dan novel serta pimpinan redaksi sastra dan budaya "Horison" ini adalah pengarang beraliran realis saja. Akan tetapi di balik kesederhanaan bahasanya, terselip humor-humor satire yang menggelitik dan daya kejut yang menyaran pembaca. Ide cerita dan latar serta persoalan yang sering diangkat Hamsad Rangkuti dalam cerpen-cerpennya adalah mengenai masyarakat golongan bawah. Bahasanya ringan, menggelitik dan tokoh-tokoh ceritanya digambarkan dengan gaya karikatur. Selalu ada hal-hal yang sumbang terjadi di tengah masyarakat seperti kekuasaan, materialisme, dan dekadensi moral, dikritiknya secara halus.

Dalam kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti  Lukisan Perkawinan (Sinar Harapan, 1982) terlihat keistimewaan Hamsad dalam membangun plot cerita. Salah satu keistimewaan itu adalah kemampuan Hamsad menyuguhkan peristiwa-peristiwa aneh yang jarang dipikirkan orang, yang dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya. Kritikus Yakob Sumarjo dalam,suatu ulasannya mengenai kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti Lukisan Perkawinan antara lain mengatakan:

".... Harus diakui bahwa Hamsad Rangkuti bukanlah pengarang jenis hiburan yang karyanya bisa dibuang sehabis,membaca. Kekuatan Hamsad dalam mengamati dan menilai kelakuan manusia harus diakui sebagai matang." (Yakob Sumarjo dalam Horison no.4/1993, "Lukisan Perkawinan" Hamsad Rangkuti)

Salah satu cerpen Hamsad yang memberikan kesan mendalam adalah Putri Tukang Cukur. Dalam cerita ini, gadis yang membenci profesi ayahnya sebagai tukang cukur dan ingin menjadi istri pegawai negeri, dalam malam perkawinannya menemukan kenyataan bahwa suaminya memang pegawai negeri, tetapi pekerjaannya mencukur para pegawai di istana. Ketika pengantin putri itu menggugat, suaminya menjelaskan:
"Aku tidak ingin merusak impianmu. Lagi pula menurut perkiraanku, kau tentu tidak akan mengetahuinya. Aku hanya,ingin menjaga impianmu. Dan ku harap kau sudah terbangun dari tidurnya."

Pengakuan suaminya itu terlahir karena sebuah kado perkawinan yang mereka terima adalah seperangkat alat-alat cukur. Di sini kelihatan kematangan Hamsad dalam melihat sisi kehidupan yang kadang-kadang terkandung rasa humor yang dalam.

GAYA PUTU WIJAYA

Putu Wijaya adalah seorang pengarang cerpen Indonesia yang paling produktif. Selama lebih kurang tiga puluh tahun ini,  cerpen-cerpennya merajai penerbitan cerpen di media massa. Salah satu ciri khasnya ialah memberi judul cerpen dengan sangat pendek, terdiri dari satu kata saja. Demikian juga judul novel-novelnya, kalau perlu terdiri dari satu huruf saja. Ia juga menulis naskah drama dan film. Menulis Cerpen bagi Putu adalah pekerjaan rutin seperti makan, berak, tidur dan jalan.

Hampir semua cerpennya menarik untuk dibaca. Plot ceritanya tidak berbelit, daftar saja tapi punya daya holistik yang tinggi. Cerpen-cerpennya kadang seperti dongeng, namun moderen dan enak dibaca sendiri atau mendengarkan orang lain membacakan. Kalimat-kalimatnya pendek dan lugas. Coba kalian simak petikan cerpen Putu berikut ini:

Nyonya terkejut.
"Ulang tahun? Ulang tahun untuk apa?" tanyanya dengan heran.
Roh kini memeras ingus yang ada di hidungnya. Sudah itu dia duduk sengaja menghentikan pekerjaannya sebentar. Rupanya ingin menunjukkan kesungguhan penderitanya.
"Begini Nyonya. Ini maaf, tapi ini kan kenyataan. Nyonya,sendiri selalu menasehati saya,supaya menerima kenyataan. Lebih mudah hidup menerima kenyataan. Begitu kata Nyonya bukan? Barangkali Nyonya sudah lupa."
"Tidak, aku ingat. Memang harus begitu. Tapi tadi kau bilang ulang tahun, maksudmu bagaimana?"

Petikan cerpen tersebut berasal dari cerpen Putu berjudul Roh yang merupakan lampiran buku ini. Selanjutnya dapat dibaca secara lengkap untuk GAYA penulisan Putu Wijaya. Di samping kalimatnya pendek-pendek dan lugas, tokoh-tokoh yang muncul pun amat beragam. Mulai dari kelas yang paling kere sampai konglomerat, semua tokoh itu hadir dengan wajah karikatural, meski tidak demikian semua cerpen Putu.

Bagi Putu Wijaya,
"Sebuah cerpen adalah bagaikan mimpi baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan karena kadang-kadang ada dan kadangkala tidak, yang utama adalah pekabaran yang dibawanya, daya pulau, daya magis, tampil, ibarat, tikaman jiwa, firasat dan berbagai efek yang dibrondongnya menyerang siapa yang mengalami mimpi itu. Ia bisa gamblang, jelas secara mendetail dan persis melukiskan apa yang akan terjadi, tetapi ia juga bisa kebalikan atau buram sama,sekali sebagai sebuah ramalan yang memerlukan tafsir. Cerita Pendek adalah teror mental kepada pembaca......"

Petikan itu merupakan kredo Putu Wijaya yang ditulisnya pada awal halaman kumpulan cerpennya "Gres". Seperti apa yang dikatakannya, memang betul, karena cerpen-cerpennya hampir selalu "menelan janji" manusia sebagai tokoh yang ditampilkannya. Seolah-olah Putu mampu membaca mimpi-mimpi tokohnya dengan persis. Manusia dalam cerpennya sebagaimana manusia,sesungguhnya, tanpa berselimut dengan apa yang dinamakan kepribadian, gengsi atau topeng.

Selain ditunjang oleh GAYA bahasanya yang lincah mengalir nakal, dialog-dialognya hidup dan adakalanya sangat kocak. Berikut ini kita simak dialog antara seorang pembantu rumah tangga yang tentu saja tidak terdidik dengan nyonya majikannya:

"Umurku berapa sekarang?"
"Berapa ya Nyonya, mestinya ya dua puluhan begitu, atau sembilan belas ya?"
Nyonya tersenyum.
"Aku kira kamu ini sudah duapuluh lima."
"Aku tigapuluh lima."
"Ya deh, kalau begitu mungkin saya sudah dua puluh lima. Tapi masa saya lebih tua dari si Dul. Dia saja baru duapuluh empat. Mungkin saya baru duapuluh dua. Dua puluh dua dah rasanya Nyah!"
"Kamu ini gimana, umur kok ditawar-tawar."

GAYA penulisan Putu Wijaya sangat khas, baik dalam novel, naskah sandiwara, maupun dalam cerpen-cerpennya yang tersebar di mana mana serta dalam kumpulan berbentuk buku, seperti Gres, Bom, Es, dan lain-lain. Saking khasnya gaya Putu, ketika disodorkan orang ganti ng an cerpennya, pembaca perta Putu pasti tahu bahwa itu milik Putu Wijaya.

(Kiat Menulis Cerpen-hal : 72-75)

AYSA




bukan aku tak menyadari
kau masih berjalan di belakangku
menapaki bekas jejak kakiku
di atas tumpukan putih salju

maka timbul niat isengku
untuk mengerjaimu
kutambahkan  panjang langkah kaki

tentu saja kaki mungilmu itu
harus melangkah lebih panjang
dari langkah normalmu

MASIHKAH KITA INGIN



Tak ada lagi kesempatan yang bisa kita pinta ketika waktu enggan kembali untuk menghapus daftar panjang penyesalan. Sembunyi pun ikut berbunyi menolak kompromi untuk menutupi setiap jengkal penyangkalan diri dari takdir yang menepi menuju sepuhan warna magrib. Aroma tanah menyeruak seperti memberi pertanda bahwa tak ada lagi waktu untuk menampung basah mata air yang tertumpah, terbayang ketika itu kehidupan sesungguhnya akan dimulai, jarak yang jauh membuat bayangan kita lebih dahulu menyentuh sebuah padang yang seakan  tak tertempuh.

Minggu, 22 Januari 2017

CINTA




Cinta adalah pengalaman yang merepotkan. Pikiran tentang maut juga bisa merepotkan. Tetapi apa lagi - kita semua harus mati. Cinta metupakan bahan bahasan dalam sajak ringkas berikut ini, yang dikutip dari puisi klasik Jepang. Akan saya kutip sajak tersebut.

Meski aku yakin
bahwa ia tak akan datang
di malam larut ini
sewaktu cengkerik bernyanyi jemu
aku tetap pergi ke pintu
menunggu

PROSES YANG HARUS DILALUI SEORANG PENYAIR

Suatu hari sebuah e-mail masuk ke alaamt e-mail Riau Pos. Seorang penyair muda----dia mengatakan dirinya baru belajar menulis sajak --- mengirim beberapa sajak ke tuuh e-mail, tidak melalui file lampiran. Ada 4 sajak dan temanya seragam, tentang cinta yang kandas. Yang membedakan hanya kata dan bahasanya. Terjadi diskusi antara penyair kaaan kita ini dengan redaktur. Dia bilang, sajak-sajak yang ditulisnya itu adalah ungkapan perasaannya yang sedang karam karena jalinan kisah cintanya kandas. Keika ditanya mengapa mengirimkannya tidak pakai *file* lampiran dan sepertinya dia menulia keempat sajak itu hampir dalam waktu bersamaab, dia bilang, ketika membuka internet, pikirannya sudah penuh dengan sajak dan harus dituangkan dalam tulisan, untuk itu dia langsung menulis dan setelah selesai langsung mengirimkannya.

SIKAP HIDUP

Pengalaman atau peristiwa sehari-hari bisa juga digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa begitu saja, tanpa ada niat untuk memberikan simpati atas yang diceritakan atau nasihat untuk pembaca. Penyair menggambarkan apa yang terjadi pada dirinya, atau juga pada hal disekitarnya, tanpa berkomentar kecuali hanya untuk menyiratkan perasaan atau fikirannya. Saya kutipkan sebuah sajak klasik China, oleh penyair Li Bai berikut ini, tentang orang yang mabuk di bawah bulan.

Kupegang botol arak di sela-sela bunga-bunga minum sendirian saja, 
disekitarku seorang pun tiada, kuangkat botolku tinggi-tinggi dan 
kuajak bulan minum bersama; Kami bertiga: aku, bulan, dan bayang-bayangku. 
Tapi bulan twk tahu nikmatnya arak, dan bayang-bayangku hanya bisa mengikut saja. 
Kuanggap saja mereka berdua temanku. Saat serupa ini harus dinikmati sepuas-puasnya. 
Bulan sempoyongan ketika kunyanyikan beberapa lagu. Bayang-bayangku tampak 
kebingungan ketika aku menari-nari,
Kami minum bersama ketika aku masih sadar.
Kalau aku sudah mabok kami berpisah. 
Sdjak kini kami bertiga selalu berpesta,
 semoga kami juga bertemu di Bima Sakti sana

MEREKAM OBJEK

Dalam kehidupan sehari hari banyak dijumpai orang orang yang senang bercerita, terutama dalam proses berkomunikasi antar sesamanya. Si penderita tak jarang membubuhi bahan percakapannya dengan hal-hal di luar fakta. Kadang-kadang si penderita dijuluki oleh orang-orang sekelilingnya sebagai "si pembuka"  Karena sikapnya yang suka melebih-lebihkan suatu bahan omongan. Untuk mengatakan bahwa telor ayamnya besar, ia pakai bahaya bergaya hipersomnia: "Telor ayam saya sebesar-besar tinju!" Begitu juga dengan deskripsi suatu peristiwa yang pernah dilihatnya lalu diceritakannya kembali, atau menceritakan pengalaman pribadi kepada orang lain, senantiasa menjadi lain, lebih hidup dan bersemangat.

Mungkin si pendengar tidak percaya seratus persen terhadap cerita si pembuka. Akan tetapi diam-diam di dalam hati si pendengar merasa senang. Ada semacam rasa senang dikibulin. Bahasa yang dipakainya enak. Tekanan suaranya meyakinkan. Ceritanya menarik, apalagi dibumbui oleh akting yang mempesona. Maka si pembuka itu sebenarnya adalah "sastrawan lisan" yang berbakat. Ia akan lebih berhasil menjadi sastrawan lisan jika ia mengarahkan keterampilannya itu menjadi seorang tukang cerita seperti Tukang Kabarin di daerah Minangkabau, yang mengembara dari desa ke desa membawa dan menceritakan kabarnya melalui lisan dan bantuan kakak musik yang amat,sederhana. Di daerah lain terdapat juga sejenis sastrawan lisan tersebut dan hidup subur sampai budaya tulis mulai merata.

Selanjutnya, hampir di,seluruh dunia berkembang masa kanak-kanak dengan "dongeng nenek" masa kanak-kanak adalah suatu tahap perkembangan manusia yang pada masa itu imajinasi mulai berkembang dengan pesat. Dongeng betul-betul hidup di sanubari anak-anak. Bahkan seringkali anak-anak dapat membedakan mana dunia dongeng dan mana dunia nyata. Dunia dongeng dan dunia nyata seakan-akan bersatu.

Secara bertahap, dari dunia dongeng nenek secara lisan meningkat ke bahan bacaan anak-anak ketika seorang anak telah mengenal bahasa tulisan. Begitulah seterusnya hingga dewasa dan memilih bacaannya sendiri.

Barangkali, bakat bercerita si pembuka sebenarnya adalah bakat alami yang dimulai sejak zaman dongeng nenek. Jika saja,si pembuka beruntung melanjutkan minatnya membaca dongeng dan berlanjut dengan memilih bahan bacaannya sendiri, besar kemungkinan ia kana tumbuh menjadi seorang penulis fiksi atau sastrawan tulis. Hal ini cukup beralasan karena hampir semua sastrawan indonesia pada awalnya mempunyai kebiasaan membaca fiksi sedari kecil, tidak soal apakah fiksi dongeng atau fiksi modern.

Dengan banyak membaca yang diasah terus menerus, seseorang akan memilih kekayaan batin melebihi orang lain yang tidak mengembangkan minta bacanya. Orang yang memiliki kekayaan batin juga lebih peka dan kritis terhadap lingkungannya. Mungkin bagi seseorang yang memiliki kekayaan batin akan melihat suatu peristiwa biasa sebagai suatu yang besar, sangat mendasar, dan perlu dipersoalkan.

Dari pengalaman membaca, sadar atau tidak seseorang beroleh banyak kaca banding dalam hidupnya. SaTu hal lagi yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan berbahayanya akan berkembang lebih baik dan memiliki kosa kata melebihi rata-rata yang dimiliki orang kebanyakan.

Pengalaman batin, kepekaan terhadap lingkungan dan kekayaan bahasa adalah aset seorang pengarang yang akan digunakannya ketika dorongan untuk menulis itu tiba. Segala peristiwa yang dianggapnya menyentuh dan perlu dipertanyakan dan dipersoalkan, serta keganjilan, ketidakseimbangan dan sisi-sisi lain dan fenomena sosial yang terlihat oleh mata batinnya, akan terekam dalam sambutannya. Tekaman-rekaman yang tak sengaja itu,suatu saat akan keluar setelah "pemicunya" tertarik oleh suatu sebab.

Banyak cerpen bertemakan kepincangan sosial berasal dari rekaman pengarang terhadap ketidakpuasannya terhadap kenyataan. Dalam cerpen jenis ini biasanya pengarang menempatkan diri,sebagai orang ketika, sebagai pengamat. Sungguhpun demikian, tidak tertutup kemungkinan pengarang menempatkan dirinya,sebagai tokoh Aku. Sebagai contoh cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Rumah Jamban dalam majalah Horison edisi juni 1993. Dalam cerpen ini tokoh aku menceritakan tingkah laku tokoh utama,sebagai korban berkali-kali penggusuran perumahan kumuh di Jakarta.

Hamsad Rangkuti mendapat ide dari rekaman batinnya selama bertahun-tahun sebelumnya tinggal di Jakarta. Sementara pemicunya/ pelatuk yang menyebabkan iseng meledak adalah rasa prihatinnya yang dalam ketika menyaksikan kerabatnya ikut jadi korban guyuran, atau memang dialaminya sendiri.

Untuk merekam objek yang dijadikan bahan  baku cerpen dan novel, perlukah pengarang atau calon pengarang mengalami peristiwa itu agar karyanya menjadi lebih mendekati realita? Mungkin ada benarnya, namun tak selalu begitu. Memang ada pengarang yang sengaja mengalami suatu pengembaraan asing untuk mendapatkan inspirasi yang unik seperti yang dilakukan pengarang Emile Zola yang hidup bersama buruh tambang sebelum melahirkan novelnya Germinal. Demikian juga dengan pengarang Devtroyeski, bergaul dengan orang-orang hukuman hingga akhirnya melahirkan banyak novel.

Sebagaimana pendapat para ahli, sastra lahir dari sumber pengalaman sastrawan sendiri, baik dalam bentuk pengalaman lahirlah, maupun pengalaman batiniah (Semi, 1984:14) . Pengalaman batin juga merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Ia didapat dari media lain, mungkin audio atau audio-visual, buku buku bacaan dan hasil tuturan orang lain. Pengarang kisah-kisah suku Indian Karl May ternyata belum pernah ke Amerika ketika selesai menulis kisah-kisah tentang suku-suku asli yang hidup di benua Amerika itu.

Sebenarnya untuk merekam obyek yang akan dijadikan bahan tulisan cerpen tidak perlu pergi jauh jauh. Cukup mengamati hal menarik secara intens. Misalkan seseorang ingin menulis tentang seorang pembantu rumah tangga. Amati saja tingkah lakunya sehari-hari dan pastilah terekam di dalam sanubari. Amati juga jalan pikirannya melalui percakapan, caranya berbicara dan kalau perlu keinginan-keinginannya sebagaimana layaknya seorang pembantu rumah tangga,yang sederhana. Sederhana dalam,segala hal, pendidikan, cara berpakaian, kesukaannya dan,sebagainya. Seandainya suatu saat ada keinginan untuk menulis. Cerpen tentang seorang pembantu disebabkan ada yang menggelitik, pengarang telah mempunyai modal berupa bahan mentah.

Ditulis ulang oleh Rudi Rendra, dari buku Kiat Menulis Cerpen:  Harris Effendi Thahar hal 21-26

PENULIS CERPEN HARUS MENEMUKAN PELATUK BATINNYA, UNTUK...

Ibarat sebuah senjata api yang telah berisi peluru tinggal menarik pelatuk saja, ia segera akan menyalak. Budi Dharma mengibaratkan begitu, seorang penulis akan mulai menulis apabila ia menemukan pelatuk batinnya. Demikian pula halnya apabila suatu saat yang tidak disangka-sangka seorang pembantu berkata kepada majikannya: "Nya, boleh saya mengadakan pesta ulang tahun saya minggu depan di rumah?"

PERTANYAAN dan harapan pembantu rumah tangga itu seperti tidak biasa. Keinginannya terasa aneh, karena selama ini pembantu rumah tangga dunianya hanyalah bekerja dan bekerja. Sejak bangun subuh ia telah mulai bekerja dan baru berhenti ketika rumah sudah senyap dari kegiatan sehari hari, di malam hari. Tapi, anehkah jika seorang wanita muda,sebagai pembantu rumah tangga punya keinginan seperti remaja-remaja gedongan? Bukankah keinginan itu manusiawi sekalian akan tetapi, ia merupakan pemicu yang baik untuk memulai menarik pelatuk pesawat menulis cerpen.

Pelatuk itu ternyata telah dipicu oleh Putu Wijaya hingga menghasilkan sebuah cerpen yang amat menarik dan mengharukan, sekaligus menggelikan. Cerpen itu berjudul Roh yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Putu Wijaya, Gres. Cerpen itu terasa begitu unik, tapi sebagai pembaca akan terkesan dibuatnya karena dialog-dialog, ti ng kah laku Roh yang menjadi tokoh utama, betul-betul cocok dengan karakter wanita muda pembantu rumah tangga secara umum di mana saja di Indonesia ini.

Hal ini menunjukkan bahwa deskripsi Putu Wijaya tentang tokoh begitu,sempurna terungkap karena rekamannya terhadap obyek selama ini amat bagus. Rekaman itu dikeluarkan kembali saat menuliskannya menjadi sebuah cerpen dengan alat yang bernama imajinasi.  Akan lain halnya deskripsi Putu tentang wanita pembantu rumah tangga di Amerika atau di salah satu negara Eropa yang makmur. Paling tidak, terdapat perbedaan hubungan kerja antara pembantu rumah tangga dengan majikan. Di Indonesia, hubungan antara pembantu dan majikan terhadap jurang sosial ekonomi yang menganga cukup dalam. Sementara di barat tidak, hubungan pekerja dan majikan sangat jelas diatur oleh undang undang dan dijalankan secAra konsekuen oleh setiap warganegara.

Pelatuk sebenarnya adalah momen-momen puncak inspirasi menulis disebabkan oleh suatu sebab. Sekecil apa pun sebab itu, tetapi mampu membuat,seseorang pengarang  yang telah terbiasa mengasuh imajinasi untuk menulis.

Dicatat ulang oleh Rudi Rendra dari buku Kiat Menulis Cerpen yang ditulis oleh : Harris Effendi Thahar, hal: 26-28

ANTARA FAKTA DAN IMAJINASI

Berangkat dari anggapan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari dunia nyata atau realita, maka cerpen sebagai salah satu bentuk fiksi juga berangkat dari pelabuhan yang sama. Semua realita adalah fakta yang kita temukan dan kita catat setiap saat, pada suatu saat, jadilah ia catatan sejarah. Sama halnya dengan mengabaikannya dalam bentuk foto, maka suatu objek dalam suatu saat akan tergambar persis seperti apa yang tertangkap dalam kamera. Katakanlah misalnya rekaman foto di suatu tempat wisata yang terkenal membelikannya, sementara dalam waktu yang sama dan objek yang sama seorang pelukis juga mengabaikannya dalam kanvas.

Hasil foto dan lukisan dari objek yang sama bisa sama, tetapi bisa amat berbeda. Hasil foto merupakan rekaman atau fotokopi, sementara lukisan adalah tiruan yang telah terkontaminasi oleh imajinasi,pelukisnya. Siapa tahu lukisan itu dikomentari menikmatinya jauh lebih indah dari objek aslinya. Boleh jadi pelukisnya telah menambahkan atau mengurangi unsur unsur objek menurut imajinasi dan kemampuan teknik yang dimilikinya. Hasil lukisannya  Itu layak disebut karya seni, sementara hasil foto tetaplah disebut foto.

Lebih jauh, ada kemungkinan sang pelukis tidak melukis di depan obyeknya, melainkan membuat sket kasar di atas kertas berukuran kecil untuk kemudian dipikirkannya ke atas kanvas bila sudah sampai di studio. Bahkan, bagi sebagian pelukis cukup membuat sket di dalam kepalanya untuk dituangkan kembali ke atas kanvas Kapan Kapan saja ia merasa patut dituangkan menjadi lukisan. Setelah tertuang di atas kanvas, lukisannya menjadi "lain" sama sekali bila dibandingkan dengan objek yang pernah dilihatnya. Seseorang yang pernah pergi ke objek lukisan dapat merasakan bahwa itu objek yang pernah dilihatnya, tetapi entah apanya yang menyebabkan lukisan itu jauh lebih hidup?

Manusia adalah makhluk meniru. Dengan daya imajinasi manusia dapat menciptakan sesuatu yang lain dari "kepengurusannya" itu menjadi,sesuatu yang berharga. Tanpa imajinasi, tidak mungkin manusia dapat menciptakan pesawat terbang, dan,sebagainya. Karya-karya seni pun lahir dari fakta dan Imajinasi, termasuk seni sastra.  Karena fiksi (termasuk cerpen) juga berangkat dari fakta yang terhimpun dalam pengalaman batin seseorang pengairan, lalu dikreasikan (to create) kembali dengan imajinasinya sehingga menjadi sesuatu yang hidup, suatu kenyataan baru yang kita sebut fiksi. Persoalannya sekarang, apakah fiksi itu dapat meyakinkan pembaca atau tidak. Karena, ia telah menjadi dunia tersendiri yakni dunia fiksi yang otonom. Tidak dapat tidak, ia mempunyai logika,sendiri, yaitu logika fiksi.

Karena manusia tidak dapat hidup tanpa melepaskan imajinasi,dalam kesehariannya, maka fiksi dapat kita jumpai setiap saat di mana saja. Mulai dari anak-anak sampai orangtua, dari kuli pelabuhan sampai pejabat pemerintahan yang senantiasa berpakaian sadari, kita,simak unsur-unsur fiksi yang keluar dari mulutnya. Karena itu sering kita dengar adanya laporan fiktif dari suatu instansi.

Laporan fiktif artinya adalah data faktual yang dimanipulasi dengan imajinasi. Kalau begitu, pantaskah fiksi disebut sebagai bukan kebenaran alias kebohongan? Secara garis besarnya, iya!  Akan tetapi, dipandang dari,sudut fiksi itu sendiri, ia juga punya kebenaran, karena juga memiliki aspek-aspek kausalitas atau hukum sebab akibat.

Persoalannya sekarang,,apakah fiksi bisa dipertentangkan dengan fakta? Irwanto Dewanto menulis dalam pengantar cerpen pilihan Kompas 1992 mengatakan bahwa fiksi dapat dipertentangkan dengan fakta. Akan tetapi, menurut Nirwan, kita bisa melihatnya dari sudut lain. Karya fiksi tidak hanya menerima masukan dari fakta, akan tetapi juga mempersoalkan fakta, bahkan menggugat kebenaran fakta atau kenyataan. Fiksi tidak hanya mengungkapkan kembali fakta, tetapi mempertajam pengalaman-pengalaman yang,sudah terlalu biasa dan rutin.

Pertama pengalaman yang terlalu biasa dan rutin dapat disimak dari paragraf pertama Putu Wijaya yang berjudul "Los" berikut ini:

" Seorang gadis datang kepada ibunya dan berkata begini: "Bu, apakah i i masih suci waktu kawin dengan ayah?"

Dikatakannya semua itu dengan tulus. MAtanya besar seperti mata ikan koki yang bodoh. Dipinjamkan sedikit, tapi bukan karena malu. Ia baru saja datang dari latihan main basket.

Dari pengalaman kenyataan, hal ini tidak akan gamblang itu, tetapi dalam fiksi cerpen yang memang harus padat dan efektif bagi kepentingan pembaca, penajaman itu jadi begitu perlu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ketika suatu karya fiksi selesai ditulis, ia telah menjadi suatu yang lain. Tidak lagi merupakan fotokopi realita atau realitas objektif, namun telah menjadi suatu realita baru yang disebut dengan realitas estetis. Realita baru dari hasil kreasi yang diramu dari dunia nyata yang dapat diraba.

Note: ditulis kembali oleh Rudi Rendra dari buku Kiat Menulis Cerita Pendek : Harris Effendi Thahar, penerbit Angkasa Bandung, hal: 16-19.

Sabtu, 21 Januari 2017

SEGELAS JUS DI PUISI BIRU

Ini malam ahad
anak kekinian cakap malam minggu

Bulan di atas atap panggung
membentuk tanggal limabelas rabiul akhir: tak terasa pejam celek pejam jelek terpahat kerut usia

Padang bulan bias
berjermin malu dalam gelas
malam ini kok kelabunya buas

"Mas, mau pesan apa?"
"Oh segelas jus jeruk saja, tidak usah dicampur susu, supaya..."
"Supaya apa mas?"
"Supaya hehe"
"Ada yang lain?"
"Jus saja, masih kenyang" padahal krisis tengah bulan sudah melanda, nak pesan apa tak bisa.

Jus jeruk datang
aku duduk seorang
di meja yang seharusnya ada empat orang
malah diisi mambang jembalang

Kenapalah jus Jeruk ini terlampau manis
bukankah aku sudah manis

(Awas kalau ada yang bilang kata siapa?)

Jus tinggal setengah, serupa dengan agamaku yang belum penuh

kukeluarkan sebuah buku
Supaya kelihatan waspada kalau ditanya, "Sendirian aja Mas?"

WADHUHA

terbangun
dengan peranjat
di ujung rambut
padahal semalam
sebelum tidur
tingkap telah katup
pintu pun ditutup
kekhawatiran tetap saja
mudah masuk
waktu selalu mampu
meniup tipu siuman:

subuh merasuk
jadi gigil di hatimu

sesal menyusul
suruk akan badai amuk

DIRIMU


Dirimu adalah bintang yang hanya terbit di langit kota ini, setiap mata selalu rindu untuk kembali menatapmu, perasaan yang membuat para perantau kembali, hanya untuk melihatmu. Sedangkan diriku tak lebih hanya bangunan tua, yang terdaftar akan dirobohkan pemerintah kota, yang telah sangat bersemangat menyusun rancang tata kota. Sepanjang sadar aku menatap langit, tapi yang kulihat hanya kusam langit-langit.

MIMPIKU MENIKAHI MASA LALUMU


MIMPIKU MERNIKAHI MASA LALUMU
"Kau suka berenang atau di renangi? Kau suka mengenang atau digenangi? Kau pilih mana, membawa karangan bunga ke makamku atau sebaliknya, dikirimi karangan bunga?"
"Tunggu sekejap, mimpi ini gerangan siapa yang punya?"
"Pura-pura dalam perahu?, ya kura-kuralah mimpimu"
"Manapula, mimpi inilah kepunyaanmu"
dan mereka cubit-cubitan untuk memastikan mimpi siapa yang sedang mereka selami.
Saling bertengkar manja juga saling tuduh mesra, tentang mimpi atau nyata atau milik siapa, setelah mereka lelah akhirnya sebuah kesepakatan tercipta,
"Kau tak mengaku”
“Kau tak juga mengaku”
“Bagaimana jikalau ini mimpi kita, jangan pernah kita terjaga. Maukah kau dinda?"

11/01/2017

TARUNG TERANG DALAM LAMBUNG ABDI



KAU terang lambang abadi
aku tarung di lambung abedi




KUMANDANG AZAN BURUNG GEREJA

serapat apa pun kau tutup telinga
sekuat apa pun kau memekaktulikan ruang dengar
semakanan apapun kau sumpal mulutmulut lapar
sepasung apapun kau rantai rakaat sholat
aku burung gereja
takkan berhenti untuk azan
: hayya 'alasshalah
Badai angin menyamarkan dengar
terbangku kalangkabutan
tak bisu aku nyaring sarangkan
walau kecil sayapku ini
tak pernah lelah kepakkan roja
walau kau hapus hurufhuruf
zikir zakarku tawadhu khauf
inilah kumandang azanku                                                                                                                              gema suara burung gereja
memanggil jamaah burung gereja                                                                                                                 berhimpun dalam rapat safsaf siaga
sujud ini jarak terdekat
dengan yang Maha Kuat
inilah kumandang azanku
gema suara burung gereja
panggilan menuju kemenangan
sekuat apapun kau serang sarangsarangku
bertahan aku bertahan
walau kau anggap aku burung gereja
tapi aku lebih memilih azan di masjid                                                                                                             dan surau mereka
akulah burung gereja
membawa titah Tuhan
terarsir di deru mesin kota
sering mengintai di gereja
tapi di masjid azanku beroleh izin
akulah burung gereja
hinggap di celahcelah ventilasi udara
: hayya 'alal falah
 mari menuju kemenungan


Popular Posts