MIMPIKU MENIKAHI MASA LALUMU
MIMPIKU MERNIKAHI MASA LALUMU
"Kau suka
berenang atau di renangi? Kau suka mengenang atau digenangi? Kau pilih mana,
membawa karangan bunga ke makamku atau sebaliknya, dikirimi karangan
bunga?"
"Tunggu
sekejap, mimpi ini gerangan siapa yang punya?"
"Pura-pura dalam perahu?, ya kura-kuralah mimpimu"
"Manapula, mimpi inilah kepunyaanmu"
"Pura-pura dalam perahu?, ya kura-kuralah mimpimu"
"Manapula, mimpi inilah kepunyaanmu"
dan mereka
cubit-cubitan untuk memastikan mimpi siapa yang sedang mereka selami.
Saling
bertengkar manja juga saling tuduh mesra, tentang mimpi atau nyata atau milik
siapa, setelah mereka lelah akhirnya sebuah kesepakatan tercipta,
"Kau
tak mengaku”
“Kau tak
juga mengaku”
“Bagaimana
jikalau ini mimpi kita, jangan pernah kita terjaga. Maukah kau dinda?"
11/01/2017
Lebah
boleh katakan makhluk
makhluk boleh katakan hayat
hayat pula boleh katakan maut
makhluk boleh katakan hayat
hayat pula boleh katakan maut
boleh
belah sangkak pun takluk
takluk peluh tandakan penat
penat pula boleh kutukan mulut
takluk peluh tandakan penat
penat pula boleh kutukan mulut
masyhur
maklum kita sepadani:
pedas lada setakat tekak
pedas kata menjengkal gerak
pedas harga menjingkang hoak
pedas lada setakat tekak
pedas kata menjengkal gerak
pedas harga menjingkang hoak
raja zalim
barah tak sembuh
raja lalim birah tak sudah
raja lalim birah tak sudah
Tanjungpinang,
10/01/2017
MENGUNJUNGI MATA IBU
sehamparan
panjang benang PANTAI di bening matamu, pantai nan sabar dihampiri gelombang,
walau sejatinya telah kau ingat berulang kali pula gelombang pergi dari alur alir
binarmu.
selamat
hari Ibu, di kesunyian yang menguasai rumah kita, akulah yang jadi resah
berusaha menahan tadah masin laut memantulkan wajahmu yang kian keriput, genang kenangan goyah tumpah, semakin diminum
haus tak cukup sudah.
ada sandi azali di balik papan kubur
bacalah pecahkan ia jadi kabar
kelak tapak tak lagi mampu kabur
di mana muasal papan itu tumbuh
menadahkan dahan selalu tambah
akar menghujam dengan tabah
pecahkan segera rahasia terka
buka gembok-gembok Ridwan
supaya Ridwan membuka pintu
rumah-Nya
hari berbangkit bertandang segera
setelah tujuh langkah penziarah
malaikat membuka tanya demi tanya
kenapa, kapan, dimana, mengapa,
bagaimana
dengan siapa, berapa, ini kau
lakukan?
apakah ini yang malaikat tanyakan?
mudah saja menjawabnya di dunia
tapi katanya di sana mulut terkunci
segala anggota tubuh yang terlibat
tumbuh mata, telinga, dan wicara
mereka bersaksi tentang tahun
yang tahan menuju Tuhan
atau usia usai sia-sia.
Tanjungpinang, 20/11/2016
ADVENTUS
menjelang kedatangan tuhan
raga teronggok ragu bertahan
raga teronggok ragu bertahan
katamu ini penantian iman
mengapa tapi di jurang aman
mengapa tapi di jurang aman
yakinmu dia akan kembali lahir
tapi kuasanya tak kunjung hadir
tapi kuasanya tak kunjung hadir
kau tak kunjung mau percaya
menipu dusta hidupi rahasia
menipu dusta hidupi rahasia
begitu mudahkah hapus noktah
dosa melukai sembah seolah
dosa melukai sembah seolah
yakinmu tuhan bertiga kongsi
yakin tidak bertikai sangsi
yakin tidak bertikai sangsi
yakinmu dia bermukim di alir darah
tapi kau mudah tumbangkan rumah
tapi kau mudah tumbangkan rumah
tuhan beribu jarak menjauh
tahun berbapak dekat padi ruh
tahun berbapak dekat padi ruh
tapi tak bertepi menunduk tubuh
tapai bertapa menanduk tabah
tapai bertapa menanduk tabah
tuhanmu keramik batu rapuh
tak kuasa menolak jatuh
tak kuasa menolak jatuh
Tuhan itu Maha Bertahun
Tuhanku dekat asbab bertahan
Tuhanku dekat asbab bertahan
Tanjungpinang, 11 Januari 2017
MENIRU TARIAN GELOMBANG
wujud sebuih putih
tertekan kecai garang gelombang
menolak kehendak hembusan hasrat
lidah kelu berkilo kilah
menolak kecup bubur takdir
bimbang di oleng pasang samudra
arung ketepian gagal karang
lelah ini kerumunan leleh amanah
gentar terburai sekeruh masai
di krisis sunyi lamat tertelinga
zikir ikan menelan umpan ujian
terbata membaca kail tandatanya
gemuruh debur menombak debar
sebutir buih pelasah menari
menuai garam di asin ludah serandau
timbul tenggelam di lantai pantai
meniru arah angin
selami dasar sajadah,
Beralas Pasir, 28 Desember 2016
GETAH
YANG MENANTI DISADAP
:kepada
Ayah dan Ibu
subuh di pucuk tunas
batang getah rapi berbaris
mimpi piutang lunas menetas getih usia terhiris
karet mengering di penampungan
karut
mengarang mimpi hadapan
kerat harapan tak kesampaian karat ratapan menadah ujian
kita rawat luka dan mengisahkannya lewat surat mata:
kami
penoreh getah
sering
menampung getih.
Tanjungpinang, 22 nomvember 2016
APALAH
DAYAKU
Tiap kali
aku menujumu
kau menjelma
api
aku kayu
mati tiada daya
luluh
terburai menjadi abu.
Tiap kali
aku menujumu
kau menjelma
hujan
apalah
dayaku segumpal awan
terusir dari
mewahnya langit.
Setidaknya
kita pernah unggun
walau hanya
sekejap gulita
setidaknya
kita pernah bara
saat mereka
bertepuk,“Api kita sudah menyala.”
Karenamu aku
mengerti cinta
adalah api
yang menyalakan seluruh raga
lalu lenyap
diterkam badai.
Tanjungpinang,
04 Oktober 2016
59:21
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata
biru
dan sendu gegas kembali bentangkan
sujud.
Gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
Duhai hatiku, mengapa kau lebih agung dari gunung?
di dalam hatiku, para pekerja proyek
sibuk
menuangkan semen, membangun tembok
beton
menyusun pagar. Mereka memang
sengaja lupa memasang
jendela dan pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi
tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka
memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak
terelak adanya.
*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar
terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai
Sungai
Carang, 01 September 2016
DI BALIK PINTU DARURAT PESAWAT TERBANG
Duduk di seat 17B di balik pintu darurat pesawat
terbang
kutaburkan semua impianku di atas awan
berkecambahlah menuju singgasana Tuhan
Tanjungpinang, 10 Oktober 2016
IZINAZAN
Angin mengetuk tingkap-tingkap
terbukalah hati yang terkatup
terbukalah hati yang terkatup
kelilip mata diserbu serdadu debu
menyumpal pandang para babu
menyumpal pandang para babu
rantai membelenggu punuk
di lutut duniawi mereka takluk
di lutut duniawi mereka takluk
izinkan Tuhan bicara:
jalan masuk satu-satunya
adalah buka pintu dan keluarlah menuju tempat terendah rahim basah
jalan masuk satu-satunya
adalah buka pintu dan keluarlah menuju tempat terendah rahim basah
Tanjungpinang, 14 Oktober 2016
SEPOTONG PAGI DI JAKARTA
Kerdip matamu tersembul malu-malu. Lama-lama
aku semakin rindu. Kau
datang menawarkan terang lantas lekas berlalu.
Gemelebat pekat malam teramat jarak. Seribu jeruk serbu
kecapku tak jua sentak.
Pagiku tersekat dengan selembar kaca bening. Benang
yang tak cukup menambal sangkak nan beranak-pinak.
Pagiku di sebuah hotel mewah dengan seporsi
sarapan. Harapan
tak pasti bagi kesembuhan stroke: jejal roda jalanan.
Jakarta, 12 Oktober 2016
MEGA MENDUNG
matahari tidak tampak pagi ini kontak
lampu-lampu kantor dinyalakan
aku berdiri di ruang pertemuan
memandang bayangan tubuhku berceceran
aku tak menyalahkan lampu-lampu walau seharusnya bukan dia yang layak mencipta bayanganKU.
aku berdiri di ruang pertemuan
memandang bayangan tubuhku berceceran
aku tak menyalahkan lampu-lampu walau seharusnya bukan dia yang layak mencipta bayanganKU.
Tanjungpinang, 6 Oktober 2016
MEMBACA PETA
59:21
Sunyi ini,
kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah
kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas
kembali bentangkan sujud
gunung terpecah
walau hanya dibelah sebilah firman.
duhai hatiku,
mengapa kau lebih agung dari gunung?
di dalam
hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan
semen, membangun tembok beton
menyusun pagar.
Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan
pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada
katup apatah lagi tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka
memungkinkan
diterangi
cahaya walau bayangan tak terelak adanya.
*
Batu di antara
gemuruh air sungai
memelihara rasa
takut gentar terburai
tatkala sehelai
firman langit diurai
pada dunia
segumpaldarahku terbuai
DUDUK MENGHADAP PENYENGAT SAAT SENJA
Senja itu aku duduk menghadap pulau Penyengat. Aku
melihat matahari menabur hamburkan pecahan kaca di atas permukaan laut. Terguncang dimainkan
anak-anak ombak yang riang digoda lapar lambung-lambung kapal.
Telah kuizinkan benang-benang senja menyulam
magrib menjadi gulita. Menyelimuti
sebatang butuh tubuhku.
Aku selalu menantang lautan
untuk mengetahui mampukah kedalamnya menampung rahasia lebih banyak dari yang Engkau rahasiakan?
untuk mengetahui mampukah kedalamnya menampung rahasia lebih banyak dari yang Engkau rahasiakan?
Aku juga selalu menantang lautan untuk
membuktikan tentang siapa diantara kami yang
palung betah memahat ketenangan.
Allahuakbar... Allahuakbar...
sahut-menyahut panggilan Tuhan
semua orang ingin jawaban
segenggam pasir yang jawab seruan.
sahut-menyahut panggilan Tuhan
semua orang ingin jawaban
segenggam pasir yang jawab seruan.
Tanjungpinang, 6 oktober 2016
TUANGKAN
SECANGKIR KOPI LAGI
" God Sees The Truth, But Waits."
-Leo Tolstoy
00:04. Malam makin
tegak di ubun-ubun. Kembang matahari di sebalik rimbun daun. Kawan aku
mengenangmu malam ini, menyebut namamu, menceritakan pada sunyi tentang
perjuangan mimpi kita, adakah kau tersedak malam ini? Akulah yang membuatmu
berkata, "Siapalah yang menyebut-nyebut namaku?,"
usah kau marah,
aku ingin mendengar ceritamu, aku janji tak akan menyela ceritamu sebelum usai,
cerita saja sepuas-puasmu, mungkin tentang pertengkaran kita, hal konyol yang
mengundang tawa, sakit yang kau rasa, setelah usai itu semua, aku akan bertanya
satu hal, "Sepertinya kita butuh satu cangkir kopi lagi, untuk menuntaskan
reuni malam ini," di kafe itu tembang Resah : Payung Teduh mencemaskan
ketentraman kita.
Tanjungpinang,
2016
TIDAK SEMUA PERTANYAAN BUTUH JAWABAN
kau merahasiakan keinginanmu menemuiku sekali
lagi, baiklah
aku telah belajar sangat baik berpura-pura menjadi tuli
sembunyi di membran timphaniku sendiri
berbenturan dengan tak terhingga
suara ingar-bingar berisik kota
aku telah belajar sangat baik berpura-pura menjadi tuli
sembunyi di membran timphaniku sendiri
berbenturan dengan tak terhingga
suara ingar-bingar berisik kota
kau selalu merasa lebih baik sembunyi di balik
bulan dari pada di balik daunan
baiklah aku telah belajar sangat tekun untuk menenggelamkan lautan
ke dalam mataku memantulkan cahaya rembulan dan wajahmu
hingga lelah bersandar di sampan nelayan
mataku merah menahan menahun
asin air mata lautan yang
tumpah tak tertahan
baiklah aku telah belajar sangat tekun untuk menenggelamkan lautan
ke dalam mataku memantulkan cahaya rembulan dan wajahmu
hingga lelah bersandar di sampan nelayan
mataku merah menahan menahun
asin air mata lautan yang
tumpah tak tertahan
berikan aku alasan untuk tetap berada di titik
pertemuan.
tapi kau masih saja menyatakan hal yang sama
tidak semua kenapa menyatu dengan karena
tapi kau masih saja menyatakan hal yang sama
tidak semua kenapa menyatu dengan karena
Tanjungpinang, 20 Oktober 2016
UBAN-UBAN DI DEPAN TOKO BUKU
Jalanan kian ramai. Lampu-lampu kota berbaris
nyala bagai mata serdadu. Kuning magrib warna cahaya kendaraan masuk ke kornea
mataku. Silau. Roda-roda berlomba untuk kembali ke bagasinya.
Lampu lalu lintas silih bergantian menyala,
kadang merah mereka berhenti, kadang kuning mereka menekan klakson, setelah
hijau mereka menderu laju. Mataku yang miopi membuat lemparan cahaya yang masuk
tak tepat jatuh pada titik retina, itu membuat bayangan cahaya yang masuk bagai taburan kunang-kunang, persis bayangan masa kecil
yang kembali terkenang-kenang.
Waktu itu sekitar jam 10 malam, waktu yang
tepat untuk penjaga toko buku menutup pintu. Seperti yang sudah-sudah ini kali
ketiga aku melihat seorang kakek-kakek menenteng sebuah gitar, sebatang rokok
terselip di bibirnya yang merah hitam, entah lagu apa yang ia senandungkan, aku
selalu memperhatikannya, entah untuk siapa lagu itu ia nyanyikan.
Seorang pemuda membawa sebuah bungkusan hitam
berjalan di hadapannya, dan menyodorkan bungkusan itu, kubaca gerak bibir kakek
itu tak lain adalah ucapan terimakasih. Secara tak langsung pemuda itu
memberiku bingkisan tentang sejuknya belaskasih. Tak kusangka tukang parkir di
samping motorku menjatuhkan beberapa butir air mata. 1000 rupiah uang parkir yang kuberi, ia berikan pula pada kakek
itu. Lagi-lagi kubaca bibir tua itu berucap terimakasih.
Gilagila aku bisa apa?
Gilagila aku bisa apa?
Kunyalakan motor lagendaku yang tak lengkap
surat-suratnya itu, dan kuraba dada yang tak bernyali ini.
Kukatup jaket lusuh yang terbuka nganga di
tubuhku ini, dan kudengar angin sejuk mengutip firman Tuhan, "Kelak dari
ubun-ubunmu akan Kucabut nyawa, mau dengan kasar apa lembut. Itu terserah Siapa."
Sepanjang jalan pulang aku mengingat-ingat.
Masihkah kusimpan timbangan berat badan hasil menang undian jalan sehat minggu
pagi kemarin? Kalau masih akan kuhadiahkan untuk kakek itu, barangkali berguna
untuk menimbang bobot berat kesombongan yang lalu lalang di hadapannya.
Bintan Center, Batu 9 Tanjungpinang, 14 Oktober 2016
MASA KECIL KEDEWASAAN
Penjaga karcis itu mengizinkan seorang murid yang masih berseragam
merah putih memasuki waterboom, setelah merekam nama guru yang
membuatnya dirinya lembab walau setakat berdiri di depan kelas, "Selamat
menikmati masa kecil," ucap penjaga itu mempersilahkannya. Tapi sayang masa
kecilnya telah terperangkap di masa depan.
Tanjungpinang,
2015.
KEBAHAGIAAN
Langit sering
bertukar baju
baju biru baru
saja kusetrika
dan dia
memakainya
aku tak
mengenakan apa-apa
selain selembar
mendung.
Sore ini langit
ingin ke pesta
meminjam celana
robek
yang
kusampirkan di ranting
tragedi dan
fitnah duniawi.
Langit
mengurung diri di atas sana
tak jadi menuju
pesta. Dia membuka tirai
memperhatikan
orang-orang yang
menyebut
dirinya kebahagiaan
Bahagia menurut
mereka adalah
jalan keluar
dengan masuk ke rumah
menutup diri
dari pertemuan dan
mengurangi
pertemanan. Sesekali
membuka jendela
untuk menyapa
tetangga atau
penjual sayur agar
tak tergiur
dengan perbagai macam
Tagihan dan
tuntutan.
Berbagai
perihal antah dari luar
mudah sekali
menerobos masuk
mencampur
warna-warni dinding
hati. Mengubah
posisi atas ke bawah
merubah
porselen indah jadi jatuh
cengeng dan
mudah pecah.
Poster berisi
ancaman. Spanduk
bertuliskan
janji: tipuan. Sajadah
tersadai,
menipis di belai badai.
Tanjungpinang,
2015
TEMBANG PETANG
Petang melambai di pucuk ilalang
gelap perlahan menelan padang
lampu-lampu kendaraan berlalu lalang
gelap perlahan menelan padang
lampu-lampu kendaraan berlalu lalang
mereka semua ingin aku dengarkan
tapi aku hanya ingin mendegarkanmu
tapi aku hanya ingin mendegarkanmu
kota ini memagari luar dan dalam
kota ini membatasi kemarin dan esok
kota ini memisahkan dekat dan jauh
kota ini membatasi kemarin dan esok
kota ini memisahkan dekat dan jauh
kota ini tembok aku dan kau
padahal ini kota atap kita
padahal ini kota atap kita
diantara kata tak terucap
keganjilan kita tak kunjung genap
mengganjal diseparuh tak lengkap
keganjilan kita tak kunjung genap
mengganjal diseparuh tak lengkap
Tanjungpinang,
2016
KAU MENOLAK AKU MENERIMA
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di
setiap sempat dan tempat. Dalam terali hujan kau memasung langkah. Dalam
tumpukan buku kau memasang sajak. Di deretan bangku segala raung tunggu. Di
sepanjang jalan sepi. Di dalam mangkuk kecil para pengemis menadah koin-koin
sisa belanja swalayan. Menyaru juga di getar gitar para pengamen.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di atas
kolam kota juga di gemerlap papan reklame. Aku menerima bayanganmu tercetak di permukaan kopiku menyatu dengan kafein tebaik.
Kantuk adalah kontak untuk memimpikanmu menghamburkan aroma kopi mahal di alir
darahku.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu
tercetak di cermin retak menempel di kacamataku. Huruf-huruf di buku tak ingin
dibaca malah bersengaja membentuk wajahmu. Semua gambar di dinding kamar
berubah jadi wajahmu. Setiap lagu yang kuputar mengapa jadi zikir namamu.
Setiap baju yang kupakai mengapa selaras dengan warna yang kau suka.
Kau tetap kukuh menolak. Aku tatap menerima
gigil gerimis waktu di depan rumahmu membungkusnya jadi bingkisan kado
pernikahan kenangan kita.
Tanjungpinang,
20 Oktober 2016
MASA DEPAN PAGI
Jika pada potongan langit kau menemukan pagi di
tempat pembaringan, bangunkan ia katakan padanya tentang ayam yang akan mematuk
kepingan rezekinya. Pagi cerah dan punya keinginan untuk membawa kau ke kelopak
terik, menuju gurau senja. Malam bertandang untuk mengecupkan cinta dan
mengucapkan selamat tinggal. Besok pagi tak lagi sama. Ia naik ke langit untuk
menghadap maha pengadilan. Ia bersaksi atas namamu. Kau harus lunasi segala perbuatan pada pagi dan beribu kembarannya yang telah
kau kenakan di raga kesempatan. Baju yang nyaman dan tidak kesempitan.
Pada suatu sudut kota, kau membujuk pagi yang
merajuk apapun ia tak mau tak ubahnya ia bagai seorang anak kecil yang
meraung-raung meminta dibelikan mobil-mobilan. Pagi teramat dingin ia ingin kau
hangatkan dengan pekerjaan yang membuatnya berkeringat. Sehat dan ceria.
Besok di sudut langit, kau bangkit dan
menemukan pagi di meja makanmu. Hapus segala tanggal merah yang kau marahi
sendiri di lembur ramah kalender. Jadilah wewangian taman. Izinkan pagi membuka
seluruh panca indramu bekerja. Gandeng pagi melewati seribu pembaringanmu. Juga
jam-jam muram yang senantiasa bergerak konstan. Pagi menghilang saat kau sudah
kembali. Pagi berganti selalu menyisakan penyesalan.
Ia tak akan merobek catatan langit bila tak kau
yang menitahkan
Kaulah penguasa kepingan pagi. Kau yang mampu mengajaknya ke masa depan.
Kaulah penguasa kepingan pagi. Kau yang mampu mengajaknya ke masa depan.
Tanjungpinang,
2016
RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik terakhir
rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang, sesekali
gelombang gelembung mulut ikan sesak syukur
rebutan
angin berbisik berisik di daun jendela gugurkan
selembar hijau anganan
Tanjungbatu, 18 Oktober 2016
SEPOTONG TAKDIR
Takdir siapa itu yang berenang jauh
ke tengah samudra!
Terombang-ambing dipecudangi
rahasia, KEDALAMAN LANGIT.
Tanjungpinang, 8 Oktober 2016
NYALAKAN
NYALIKU
aku sempat
ragu harus berpapasan denganmu disebuah jalan menuju pulang,
tapi apa
boleh buat itu satu-satunya jalan yang boleh kulewat.
nyalakan
kobaran cemburu di dadaku, biar kuburu gali kuburan lelaki
di balik
tengkuk indahmu itu.
nyalakan
nyaliku dengan berkali luka lecutan panjang dari kepalamu
kenakanlah
bekas kecupannya di pipimu, agar nyala nyaliku
kenakanlah
ombak lelaki yang menenggelamkan nafsumu itu, biar nyala nyaliku
jejak jijik
kekal, juga tanggal tak betah tinggal di kalender
nyalakanlah
nyaliku dengan seluruh kabel cemburu lampu kamar tidur yang selalu redup
nyalaku
menikam gelap meraba ruang batas tak kuasa diretas
aku buta
di depan cermin, untuk melihatmu bergaun pengantin
Tanjungpinang,
18 Oktober 2016
RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik
terakhir rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya
ada kemambang kiambang
sesekali
gelombang gelembung
mulut ikan sesak bersyukur
angin
berbisik berisik
di daun
jendela
gugurkan
selembar
hijau anganan
Tanjungbatu,
18 Oktober 2016
LANGKAHKU MENUJUMU
aku menujumu
dengan langkah ceroboh
tak
kupandang ada lubang di jalan raya
aku
musafir yang leka dan bekal tak sedia
aku
menujumu tanpa waspada
saat pertamakalinya
mendapatimu
akalku
menjadi pendek penggaris patah murid sekolah dasar
aku
bahagia mesti terjerembab berkali-kali di lubang yang sama
aku
menujumu untuk menenggak dahaga berteduh dari terik takdir kealfaan insan
menujumu
sekejap saja walau jejak dihapus angin terekam ia di pita batin
Tanjungpinang, 18 Okrober 2016
BULAN SEDANG TELANJANG BULAT
Bulan sedang telanjang bulat
Untuk mengalahkan keindahanmu
dilepasnya selendang awan
hanya untuk kulihat
BEKAS LUKA yang pernah silam
sajak ini sama belaka
Tak indah dan tergesa-gesa
Untuk menambah angkus suasana
Kuputar sebuah lagu Frank Sinatra:
fly me to the moon
dengan kata lain
dengan kata lain
Serius kau tak mau ikut
denganku merenangi bulan?
Dengan kata lain
Kalau begitu selamat merenungi
penyesalanmu
RIWAYAT
ARUS SUNGAI
*
dalam gemerisik deras arus
kuhanyutkan kehendakku.
Meresap jauh dari tusukan matahari, menuju tempat terendah untuk kembali.
dalam gemerisik deras arus
kuhanyutkan kehendakku.
Meresap jauh dari tusukan matahari, menuju tempat terendah untuk kembali.
kuhanyutkan
kelupas umurku
juga selendang sangkak yang kian beranak pinak, walau harus terdesak diantara bebatuan, walau nafas koyak rabak, aku tetap membaca peta perihal kemana harus bermuara.
juga selendang sangkak yang kian beranak pinak, walau harus terdesak diantara bebatuan, walau nafas koyak rabak, aku tetap membaca peta perihal kemana harus bermuara.
*
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud.
Gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
Duhai hatiku, mengapa kau lebih agung dari gunung
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud.
Gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
Duhai hatiku, mengapa kau lebih agung dari gunung
di dalam
hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.
*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai
*
SUNGAI carang kini hanya tempat rebah setiap kenangan, setakat genangan di lantai ingatan. Menari tak berilmu meniru tak digugu latah bersongket tanjak
senget menjahit marwah
SUNGAI carang kini hanya tempat rebah setiap kenangan, setakat genangan di lantai ingatan. Menari tak berilmu meniru tak digugu latah bersongket tanjak
senget menjahit marwah
tuan, di
alur sungai ini masih basah setiap resah
jantan tegak keris terasah
walau dilamun ombak pelasah
suburkah sejarah itu dalam rahimmu
jantan tegak keris terasah
walau dilamun ombak pelasah
suburkah sejarah itu dalam rahimmu
Sabarkah
kau rawat sejarah dengan pupuk derita luka dan air mata layaknya syuhada
atau
sengaja kau lepas selendang kuning azimat pusaka kota Rebah hingga tak tentu
rimbanya
kau yang
melihat bayangan wajahmu di genangan air sungai Carang
harus membidani lahirnya sebuah armada agar tak tenggelam kami diamuk amarah barah para tetua
harus membidani lahirnya sebuah armada agar tak tenggelam kami diamuk amarah barah para tetua
parade
kapal hias tiada cukup menjadi bukti peduli
menguras kejayaan masa silam untuk mengukur akar kemenangan masa depan
menguras kejayaan masa silam untuk mengukur akar kemenangan masa depan
*
Musa hanyut bersama nil
tabut pun hilang ribuan mil
hingga kini orang orang rebutan bedil
hingga nyawa menjadi milik peluru
Musa hanyut bersama nil
tabut pun hilang ribuan mil
hingga kini orang orang rebutan bedil
hingga nyawa menjadi milik peluru
*
Kuayunkan kaki
riang bermain air
aku berfikir
aku juga ingin berenang
lalu menjelma setetes air
Kuayunkan kaki
riang bermain air
aku berfikir
aku juga ingin berenang
lalu menjelma setetes air
menyatu
bersama jutaan tetes air lainnya menuju ke tengah samudra
dihembus
ombak kehendak
pasang gelombang menjengkang kelengkang kukang.
pasang gelombang menjengkang kelengkang kukang.
Tanjungpinang,
04/12/2016
DI BALIK PINTU DARURAT PESAWAT
TERBANG
Duduk di seat 17B di balik pintu
darurat pesawat terbang
kutaburkan semua impianku di atas
awan
berkecambahlah menuju singgasana
Tuhan
Tanjungpinang, 10 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar