Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Sabtu, 21 Januari 2017

MIMPIKU MENIKAHI MASA LALUMU


MIMPIKU MERNIKAHI MASA LALUMU
"Kau suka berenang atau di renangi? Kau suka mengenang atau digenangi? Kau pilih mana, membawa karangan bunga ke makamku atau sebaliknya, dikirimi karangan bunga?"
"Tunggu sekejap, mimpi ini gerangan siapa yang punya?"
"Pura-pura dalam perahu?, ya kura-kuralah mimpimu"
"Manapula, mimpi inilah kepunyaanmu"
dan mereka cubit-cubitan untuk memastikan mimpi siapa yang sedang mereka selami.
Saling bertengkar manja juga saling tuduh mesra, tentang mimpi atau nyata atau milik siapa, setelah mereka lelah akhirnya sebuah kesepakatan tercipta,
"Kau tak mengaku”
“Kau tak juga mengaku”
“Bagaimana jikalau ini mimpi kita, jangan pernah kita terjaga. Maukah kau dinda?"

11/01/2017

HARGA KIAN PEDAS: BADAN KAIN LEPAS
Lebah boleh katakan makhluk
makhluk boleh katakan hayat
hayat pula boleh katakan maut
boleh belah sangkak pun takluk
takluk peluh tandakan penat
penat pula boleh kutukan mulut
masyhur maklum kita sepadani:
pedas lada setakat tekak
pedas kata menjengkal gerak
pedas harga menjingkang hoak
raja zalim barah tak sembuh
raja lalim birah tak sudah
Tanjungpinang, 10/01/2017



MENGUNJUNGI MATA IBU
sehamparan panjang benang PANTAI di bening matamu, pantai nan sabar dihampiri gelombang, walau sejatinya telah kau ingat berulang kali pula gelombang pergi dari alur alir binarmu.
selamat hari Ibu, di kesunyian yang menguasai rumah kita, akulah yang jadi resah berusaha menahan tadah masin laut memantulkan wajahmu yang kian keriput,  genang kenangan goyah tumpah, semakin diminum haus tak cukup sudah.


















ada sandi azali di balik papan kubur
bacalah pecahkan ia jadi kabar
kelak tapak tak lagi mampu kabur

di mana muasal papan itu tumbuh
menadahkan dahan selalu tambah
akar menghujam dengan tabah

pecahkan segera rahasia terka
buka gembok-gembok Ridwan
supaya Ridwan membuka pintu rumah-Nya

hari berbangkit bertandang segera
setelah tujuh langkah penziarah
malaikat membuka tanya demi tanya

kenapa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana
dengan siapa, berapa, ini kau lakukan?
apakah ini yang malaikat tanyakan?

mudah saja menjawabnya di dunia
tapi katanya di sana mulut terkunci
segala anggota tubuh yang terlibat

tumbuh mata, telinga, dan wicara
mereka bersaksi tentang tahun
yang tahan menuju Tuhan

atau usia usai sia-sia.


Tanjungpinang, 20/11/2016





ADVENTUS
menjelang kedatangan tuhan
raga teronggok ragu bertahan
katamu ini penantian iman
mengapa tapi di jurang aman
yakinmu dia akan kembali lahir
tapi kuasanya tak kunjung hadir
kau tak kunjung mau percaya
menipu dusta hidupi rahasia
begitu mudahkah hapus noktah
dosa melukai sembah seolah
yakinmu tuhan bertiga kongsi
yakin tidak bertikai sangsi
yakinmu dia bermukim di alir darah
tapi kau mudah tumbangkan rumah
tuhan beribu jarak menjauh
tahun berbapak dekat padi ruh
tapi tak bertepi menunduk tubuh
tapai bertapa menanduk tabah
tuhanmu keramik batu rapuh
tak kuasa menolak jatuh
Tuhan itu Maha Bertahun
Tuhanku dekat asbab bertahan

Tanjungpinang, 11 Januari 2017






MENIRU TARIAN GELOMBANG
wujud sebuih putih
tertekan kecai garang gelombang
menolak kehendak hembusan hasrat
lidah kelu berkilo kilah 
menolak kecup bubur takdir

bimbang di oleng pasang samudra
arung ketepian gagal karang
lelah ini kerumunan leleh amanah

gentar terburai sekeruh masai
di krisis sunyi lamat tertelinga
zikir ikan menelan umpan ujian
terbata membaca kail tandatanya
gemuruh debur menombak debar

sebutir buih pelasah menari 
menuai garam di asin ludah serandau
timbul tenggelam di lantai pantai
meniru arah angin
selami dasar sajadah,

Beralas Pasir, 28 Desember 2016






GETAH YANG MENANTI DISADAP
:kepada Ayah dan Ibu

subuh di pucuk tunas                                                                                                                                   batang getah rapi berbaris                                                                                                
mimpi piutang lunas                                                                                                                                       menetas getih usia terhiris
karet mengering di penampungan                                                                                                                  
karut mengarang mimpi hadapan                                                                                                          
kerat harapan tak kesampaian                                                                                                                      karat ratapan menadah ujian
kita rawat luka dan mengisahkannya                                                                                                                                                lewat surat mata:                                                                                                                                                                   
kami penoreh getah   
sering menampung getih.

Tanjungpinang, 22 nomvember 2016











APALAH DAYAKU
Tiap kali aku menujumu
kau menjelma api
aku kayu mati tiada daya
luluh terburai menjadi abu.

Tiap kali aku menujumu
kau menjelma hujan
apalah dayaku segumpal awan
terusir dari mewahnya langit.

Setidaknya kita pernah unggun
walau hanya sekejap gulita
setidaknya kita pernah bara
saat mereka bertepuk,“Api kita sudah menyala.”

Karenamu aku mengerti cinta
adalah api yang menyalakan seluruh raga
lalu lenyap diterkam badai.

Tanjungpinang, 04 Oktober 2016





59:21

Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud.
Gunung  terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
Duhai hatiku, mengapa kau  lebih agung dari gunung?

di dalam hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu.  Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
 tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.

*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai

Sungai Carang, 01 September 2016




DI BALIK PINTU DARURAT PESAWAT TERBANG
Duduk di seat 17B di balik pintu darurat pesawat terbang
kutaburkan semua impianku di atas awan
berkecambahlah menuju singgasana Tuhan
Tanjungpinang, 10 Oktober 2016

IZINAZAN
Angin mengetuk tingkap-tingkap
terbukalah hati yang terkatup
kelilip mata diserbu serdadu debu
menyumpal pandang para babu
rantai membelenggu punuk
di lutut duniawi mereka takluk
izinkan Tuhan bicara:
jalan masuk satu-satunya
adalah buka pintu dan keluarlah menuju tempat terendah rahim basah

Tanjungpinang, 14 Oktober 2016
SEPOTONG PAGI DI JAKARTA
Kerdip matamu tersembul malu-malu.                                                                                                                  Lama-lama aku semakin rindu.                                                                                                                              Kau datang menawarkan terang lantas lekas berlalu.
Gemelebat pekat malam teramat jarak.                                                                                                               Seribu jeruk serbu kecapku tak jua sentak.
Pagiku tersekat dengan selembar kaca bening.                                                                                          Benang yang tak cukup menambal sangkak nan beranak-pinak.
Pagiku di sebuah hotel mewah dengan seporsi sarapan.                                                                                      Harapan tak pasti bagi kesembuhan stroke: jejal roda jalanan.

Jakarta, 12 Oktober 2016






MEGA MENDUNG
matahari tidak tampak pagi ini                                                                                                                                       kontak lampu-lampu kantor dinyalakan
aku berdiri di ruang pertemuan
memandang bayangan tubuhku berceceran
aku tak menyalahkan lampu-lampu                                                                                                                     walau seharusnya bukan dia yang layak mencipta bayanganKU.

Tanjungpinang, 6 Oktober 2016












MEMBACA PETA
59:21

Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud
gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
duhai hatiku, mengapa kau  lebih agung dari gunung?

di dalam hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu.  Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
 tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.

*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai

DUDUK MENGHADAP PENYENGAT SAAT SENJA
Senja itu aku duduk menghadap pulau Penyengat.                                                                                              Aku melihat matahari menabur hamburkan pecahan kaca di atas permukaan laut.                           Terguncang dimainkan anak-anak ombak yang riang digoda lapar lambung-lambung kapal.
Telah kuizinkan benang-benang senja menyulam magrib menjadi gulita.                                             Menyelimuti sebatang butuh tubuhku.
Aku selalu menantang lautan
untuk mengetahui mampukah kedalamnya menampung                                                                                       rahasia lebih banyak dari yang Engkau rahasiakan?
Aku juga selalu menantang lautan                                                                                                                          untuk membuktikan tentang siapa diantara kami                                                                                                         yang palung betah memahat ketenangan.
Allahuakbar... Allahuakbar...
sahut-menyahut panggilan Tuhan
semua orang ingin jawaban
segenggam pasir yang jawab seruan.

Tanjungpinang, 6 oktober 2016

TUANGKAN SECANGKIR KOPI LAGI
" God Sees The Truth, But Waits." -Leo Tolstoy
00:04. Malam makin tegak di ubun-ubun. Kembang matahari di sebalik rimbun daun. Kawan aku mengenangmu malam ini, menyebut namamu, menceritakan pada sunyi tentang perjuangan mimpi kita, adakah kau tersedak malam ini? Akulah yang membuatmu berkata, "Siapalah yang menyebut-nyebut namaku?,"
usah kau marah, aku ingin mendengar ceritamu, aku janji tak akan menyela ceritamu sebelum usai, cerita saja sepuas-puasmu, mungkin tentang pertengkaran kita, hal konyol yang mengundang tawa, sakit yang kau rasa, setelah usai itu semua, aku akan bertanya satu hal, "Sepertinya kita butuh satu cangkir kopi lagi, untuk menuntaskan reuni malam ini," di kafe itu tembang Resah : Payung Teduh mencemaskan ketentraman kita.

Tanjungpinang, 2016







TIDAK SEMUA PERTANYAAN BUTUH JAWABAN
kau merahasiakan keinginanmu menemuiku sekali lagi, baiklah
aku telah belajar sangat baik berpura-pura menjadi tuli
sembunyi di membran timphaniku sendiri
berbenturan dengan tak terhingga
suara ingar-bingar berisik kota
kau selalu merasa lebih baik sembunyi di balik bulan dari pada di balik daunan
baiklah aku telah belajar sangat tekun untuk menenggelamkan lautan
ke dalam mataku memantulkan cahaya rembulan dan wajahmu
hingga lelah bersandar di sampan nelayan
mataku merah menahan menahun
asin air mata lautan yang
tumpah tak tertahan
berikan aku alasan untuk tetap berada di titik pertemuan.
tapi kau masih saja menyatakan hal yang sama
tidak semua kenapa menyatu dengan karena

Tanjungpinang, 20 Oktober 2016





UBAN-UBAN DI DEPAN TOKO BUKU
Jalanan kian ramai. Lampu-lampu kota berbaris nyala bagai mata serdadu. Kuning magrib warna cahaya kendaraan masuk ke kornea mataku. Silau. Roda-roda berlomba untuk kembali ke bagasinya.
Lampu lalu lintas silih bergantian menyala, kadang merah mereka berhenti, kadang kuning mereka menekan klakson, setelah hijau mereka menderu laju. Mataku yang miopi membuat lemparan cahaya yang masuk tak tepat jatuh pada titik retina, itu membuat bayangan cahaya yang masuk bagai taburan kunang-kunang, persis bayangan masa kecil yang kembali terkenang-kenang.
Waktu itu sekitar jam 10 malam, waktu yang tepat untuk penjaga toko buku menutup pintu. Seperti yang sudah-sudah ini kali ketiga aku melihat seorang kakek-kakek menenteng sebuah gitar, sebatang rokok terselip di bibirnya yang merah hitam, entah lagu apa yang ia senandungkan, aku selalu memperhatikannya, entah untuk siapa lagu itu ia nyanyikan.
Seorang pemuda membawa sebuah bungkusan hitam berjalan di hadapannya, dan menyodorkan bungkusan itu, kubaca gerak bibir kakek itu tak lain adalah ucapan terimakasih. Secara tak langsung pemuda itu memberiku bingkisan tentang sejuknya belaskasih. Tak kusangka tukang parkir di samping motorku menjatuhkan beberapa butir air mata. 1000 rupiah uang  parkir yang kuberi, ia berikan pula pada kakek itu. Lagi-lagi kubaca bibir tua itu berucap terimakasih.
Gilagila aku bisa apa?
Kunyalakan motor lagendaku yang tak lengkap surat-suratnya itu, dan kuraba dada yang tak bernyali ini.
Kukatup jaket lusuh yang terbuka nganga di tubuhku ini, dan kudengar angin sejuk mengutip firman Tuhan, "Kelak dari ubun-ubunmu akan Kucabut nyawa, mau dengan kasar apa lembut. Itu terserah Siapa."
Sepanjang jalan pulang aku mengingat-ingat. Masihkah kusimpan timbangan berat badan hasil menang undian jalan sehat minggu pagi kemarin? Kalau masih akan kuhadiahkan untuk kakek itu, barangkali berguna untuk menimbang bobot berat kesombongan yang lalu lalang di hadapannya.

Bintan Center, Batu 9 Tanjungpinang, 14 Oktober 2016

MASA KECIL KEDEWASAAN
Penjaga karcis itu mengizinkan seorang murid yang masih berseragam merah putih memasuki waterboom, setelah merekam nama guru yang membuatnya dirinya lembab walau setakat berdiri di depan kelas, "Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga itu mempersilahkannya. Tapi sayang masa kecilnya telah terperangkap di masa depan.
Tanjungpinang, 2015.




KEBAHAGIAAN

Langit sering bertukar baju
baju biru baru saja kusetrika
dan dia memakainya
aku tak mengenakan apa-apa
selain selembar mendung.

Sore ini langit ingin ke pesta
meminjam celana robek
yang kusampirkan di ranting
tragedi dan fitnah duniawi.

Langit mengurung diri di atas sana
tak jadi menuju pesta. Dia membuka tirai
memperhatikan orang-orang yang
menyebut dirinya kebahagiaan

Bahagia menurut mereka adalah
jalan keluar dengan masuk ke rumah
menutup diri dari pertemuan dan
mengurangi pertemanan. Sesekali
membuka jendela untuk menyapa
tetangga atau penjual sayur agar
tak tergiur dengan perbagai macam
Tagihan dan tuntutan.

Berbagai perihal antah dari luar
mudah sekali menerobos masuk
mencampur warna-warni dinding
hati. Mengubah posisi atas ke bawah
merubah porselen indah jadi jatuh
cengeng dan mudah pecah.

Poster berisi ancaman. Spanduk
bertuliskan janji: tipuan. Sajadah
tersadai, menipis di belai badai.

Tanjungpinang, 2015




TEMBANG PETANG
Petang melambai di pucuk ilalang
gelap perlahan menelan padang
lampu-lampu kendaraan berlalu lalang
mereka semua ingin aku dengarkan
tapi aku hanya ingin mendegarkanmu
kota ini memagari luar dan dalam
kota ini membatasi kemarin dan esok
kota ini memisahkan dekat dan jauh
kota ini tembok aku dan kau
padahal ini kota atap kita
diantara kata tak terucap
keganjilan kita tak kunjung genap
mengganjal diseparuh  tak lengkap
 Tanjungpinang, 2016





KAU MENOLAK AKU MENERIMA
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di setiap sempat dan tempat. Dalam terali hujan kau memasung langkah. Dalam tumpukan buku kau memasang sajak. Di deretan bangku segala raung tunggu. Di sepanjang jalan sepi. Di dalam mangkuk kecil para pengemis menadah koin-koin sisa belanja swalayan. Menyaru juga di getar gitar para pengamen.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di atas kolam kota juga di gemerlap papan reklame. Aku menerima bayanganmu tercetak di permukaan kopiku menyatu dengan kafein tebaik. Kantuk adalah kontak untuk memimpikanmu menghamburkan aroma kopi mahal di alir darahku.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu tercetak di cermin retak menempel di kacamataku. Huruf-huruf di buku tak ingin dibaca malah bersengaja membentuk wajahmu. Semua gambar di dinding kamar berubah jadi wajahmu. Setiap lagu yang kuputar mengapa jadi zikir namamu. Setiap baju yang kupakai mengapa selaras dengan warna yang kau suka.
Kau tetap kukuh menolak. Aku tatap menerima gigil gerimis waktu di depan rumahmu membungkusnya jadi bingkisan kado pernikahan kenangan kita.

Tanjungpinang, 20 Oktober 2016



MASA DEPAN PAGI
Jika pada potongan langit kau menemukan pagi di tempat pembaringan, bangunkan ia katakan padanya tentang ayam yang akan mematuk kepingan rezekinya. Pagi cerah dan punya keinginan untuk membawa kau ke kelopak terik, menuju gurau senja. Malam bertandang untuk mengecupkan cinta dan mengucapkan selamat tinggal. Besok pagi tak lagi sama. Ia naik ke langit untuk menghadap maha pengadilan. Ia bersaksi atas namamu. Kau harus lunasi segala perbuatan pada pagi dan beribu kembarannya yang telah kau kenakan di raga kesempatan. Baju yang nyaman dan tidak kesempitan.
Pada suatu sudut kota, kau membujuk pagi yang merajuk apapun ia tak mau tak ubahnya ia bagai seorang anak kecil yang meraung-raung meminta dibelikan mobil-mobilan. Pagi teramat dingin ia ingin kau hangatkan dengan pekerjaan yang membuatnya berkeringat. Sehat dan ceria.
Besok di sudut langit, kau bangkit dan menemukan pagi di meja makanmu. Hapus segala tanggal merah yang kau marahi sendiri di lembur ramah kalender. Jadilah wewangian taman. Izinkan pagi membuka seluruh panca indramu bekerja. Gandeng pagi melewati seribu pembaringanmu. Juga jam-jam muram yang senantiasa bergerak konstan. Pagi menghilang saat kau sudah kembali. Pagi berganti selalu menyisakan penyesalan.
Ia tak akan merobek catatan langit bila tak kau yang menitahkan
Kaulah penguasa kepingan pagi. Kau yang mampu mengajaknya ke masa depan.
Tanjungpinang, 2016

RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik terakhir
rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang, sesekali
gelombang gelembung mulut ikan sesak syukur rebutan
angin berbisik berisik di daun jendela gugurkan selembar hijau anganan

Tanjungbatu, 18 Oktober 2016



SEPOTONG TAKDIR

Takdir siapa itu yang berenang jauh ke tengah samudra!
Terombang-ambing dipecudangi rahasia, KEDALAMAN LANGIT.

Tanjungpinang, 8 Oktober 2016


NYALAKAN NYALIKU
aku sempat ragu harus berpapasan denganmu disebuah jalan menuju pulang,
tapi apa boleh buat itu satu-satunya jalan yang boleh kulewat.
nyalakan kobaran cemburu di dadaku, biar kuburu gali kuburan lelaki
di balik tengkuk indahmu itu.

nyalakan nyaliku dengan berkali luka lecutan panjang dari kepalamu
kenakanlah bekas kecupannya di pipimu, agar nyala nyaliku
kenakanlah ombak lelaki yang menenggelamkan nafsumu itu, biar nyala nyaliku
jejak jijik kekal, juga tanggal tak betah tinggal di kalender

nyalakanlah nyaliku dengan seluruh kabel cemburu lampu kamar tidur yang selalu redup
nyalaku menikam gelap meraba ruang batas tak kuasa diretas
aku buta di depan cermin, untuk melihatmu bergaun pengantin

Tanjungpinang, 18 Oktober 2016


RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS

Rintik terakhir rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang
sesekali gelombang gelembung
 mulut ikan sesak bersyukur
angin berbisik berisik
di daun jendela
gugurkan
selembar
 hijau anganan

Tanjungbatu, 18 Oktober 2016





LANGKAHKU MENUJUMU

aku menujumu dengan langkah ceroboh
tak kupandang ada lubang di jalan raya
aku musafir yang leka dan bekal tak sedia
aku menujumu tanpa waspada

saat pertamakalinya mendapatimu
akalku menjadi pendek penggaris patah murid sekolah dasar
aku bahagia mesti terjerembab berkali-kali di lubang yang sama
aku menujumu untuk menenggak dahaga berteduh dari terik takdir kealfaan insan
menujumu sekejap saja walau jejak dihapus angin terekam ia di pita batin

Tanjungpinang, 18 Okrober 2016




BULAN SEDANG TELANJANG BULAT

Bulan sedang telanjang bulat
Untuk mengalahkan keindahanmu
dilepasnya selendang awan
hanya untuk kulihat
BEKAS LUKA  yang pernah silam
sajak ini sama belaka
Tak indah dan tergesa-gesa
Untuk menambah angkus suasana
Kuputar sebuah lagu Frank Sinatra:
fly me to the moon
dengan kata lain
Serius kau tak mau ikut denganku  merenangi  bulan?
Dengan kata lain
Kalau begitu selamat merenungi penyesalanmu



RIWAYAT ARUS SUNGAI
*
dalam gemerisik deras arus
kuhanyutkan kehendakku.
Meresap jauh dari tusukan matahari, menuju tempat terendah untuk kembali.
kuhanyutkan kelupas umurku
juga selendang sangkak yang kian beranak pinak, walau harus terdesak diantara bebatuan, walau nafas koyak rabak, aku tetap membaca peta perihal kemana harus bermuara.
*
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud.
Gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
Duhai hatiku, mengapa kau lebih agung dari gunung
di dalam hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.
*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai
*
SUNGAI carang kini hanya tempat rebah setiap kenangan, setakat genangan di lantai ingatan. Menari tak berilmu meniru tak digugu latah bersongket tanjak
senget menjahit marwah
tuan, di alur sungai ini masih basah setiap resah
jantan tegak keris terasah
walau dilamun ombak pelasah
suburkah sejarah itu dalam rahimmu
Sabarkah kau rawat sejarah dengan pupuk derita luka dan air mata layaknya syuhada
atau sengaja kau lepas selendang kuning azimat pusaka kota Rebah hingga tak tentu rimbanya
kau yang melihat bayangan wajahmu di genangan air sungai Carang
harus membidani lahirnya sebuah armada agar tak tenggelam kami diamuk amarah barah para tetua
parade kapal hias tiada cukup menjadi bukti peduli
menguras kejayaan masa silam untuk mengukur akar kemenangan masa depan
*
Musa hanyut bersama nil
tabut pun hilang ribuan mil
hingga kini orang orang rebutan bedil
hingga nyawa menjadi milik peluru
*
Kuayunkan kaki
riang bermain air
aku berfikir
aku juga ingin berenang
lalu menjelma setetes air
menyatu bersama jutaan tetes air lainnya menuju ke tengah samudra
dihembus ombak kehendak
pasang gelombang menjengkang kelengkang kukang.
Tanjungpinang, 04/12/2016



DI BALIK PINTU DARURAT PESAWAT TERBANG

Duduk di seat 17B di balik pintu darurat pesawat terbang
kutaburkan semua impianku di atas awan
berkecambahlah menuju singgasana Tuhan

Tanjungpinang, 10 Oktober 2016






0 komentar:

Posting Komentar