MANUSIA KERDIL YANG NYEMPIL DI JARUM JAM
Sebuah
dialog terjadi antara kau dan aku, dua teman yang tak mau mengakui saling
berteman, apalagi bersahabat. Aku menahan kesal saat kau berucap teramat sinis
plus genit, "Sehebat apa pun kita bersahabat tetap tak menjamin badik
tersarung dengan baik, lalu menikam dada masingmasing, lebih baik kita tak
menamainya ini apa, sebelum kau atau aku menyesal layaknya dua anak kembar
Adam, saling silang bersulang maut."
"Sudah
kau dapatkan?"
"Apa?"
"Dirimu"
"Tidak semua pertanyaan butuh jawaban, ada pertanyaan lain?, itu sebuah pertanyaan yang basi,"
"Apa?"
"Dirimu"
"Tidak semua pertanyaan butuh jawaban, ada pertanyaan lain?, itu sebuah pertanyaan yang basi,"
Ini
orang memang selalu menjengkelkan, dia mengaggap dirinya paling waras, tapi
semua teman kerjanya selalu menyilangkan jari tengah di dahi tiap kali ditanya
tentang fikiran, juga tindaktanduknya di kantor, itu kuketahui saat beberapa
bulan ia berambus sebulan lebih tanpa kabar, semua orang bertanya padaku
tentang dirinya. Memang aneh kawanku ini, eh maksudku dia yang tak mau disebut
kawan atau sahabat itu (hadueh apa istilahnya ini panjang sekali jika sampai
akhir cerita harus kuulang terus deskripsi ini), sampai mana tadi? Oh iya
sampai sini. Dialog tentang tampar-tamparan pertanyaan.
"Oke,
kalau begitu sudah dapat kerjaan kau,"
"Menurutmu,?"
"Menurutmu,?"
Kupandangi
seluruh pemandangan di depanku, rambut menguning, mirip masai tembakau almarhum
kakekku, kerah bajunya dipenuhi hitam daki, dan baju hitam yang lama tak bersua
dengan air, dan bau badan yang mirip aroma kasur bujangku yang semalam terendam
banjir, kau tahulah bagaimana baunya, silahkan bayangkan sendiri.
Aku
bertanya dia balik bertanya, menjengkelkan, sekaligus mencerdaskan, banyak
orang yang tak betah bila berbicara dengannya, tapi aku suka karena semua
pembicaraan dengannya selalu ada quote yang ia kutip dari bukubuku filsafat,
dan sebagainyalah. Itu yang membuat perbedaan nilai bila aku kongkowkongkow
dengan temanteman biasa, isi pembicaraan tak jauh dari humor ala stand up
comedy yang mereka ulang berkalikali, atau tak jauh soal anak kos baru yang
seksi, atau tentang halhal remeh lainnya.
Aku
menjawab juga pertanyaanya 'Menurutmu,?' tadi,
"Sepertinya belum, mau kau kerja denganku?, pemikiranmu yang aneh itu sangat cocok dengan jiwa anak-anak kekinian,"
"Hahahaha, yakin kau?, jadi dosen saja aku ditendang, apalagi jadi guru SMA macam kau,"
"Sepertinya belum, mau kau kerja denganku?, pemikiranmu yang aneh itu sangat cocok dengan jiwa anak-anak kekinian,"
"Hahahaha, yakin kau?, jadi dosen saja aku ditendang, apalagi jadi guru SMA macam kau,"
Aroma
kopi menyeruak dari cangkir yang didesain khusus dari batok kelapa, tak kalah
menariknya juga isinya yang diracik dengan isi air juga daging kelapa muda.
Dia menyeruput seteguk kopi itu, aku juga. Pertemuan pasca sebulan kehilangannya itu membuat aku menyimpan banyak pertanyaan tentangnya, pertanyaan dari temanteman kerjanya, juga dari orangtuanya. Mereka mengira aku orang terdekat dengannya sehingga tadi sore WAku bergetar khusus tanda masuk pesan darinya, 'Lepas kau sholat isya, temui aku di kafe biasa, terlambat kau binasa, haha' bagai penonton kenak hipnotis aku menuruti perintahnya, sakti sungguh sakti.
Dia menyeruput seteguk kopi itu, aku juga. Pertemuan pasca sebulan kehilangannya itu membuat aku menyimpan banyak pertanyaan tentangnya, pertanyaan dari temanteman kerjanya, juga dari orangtuanya. Mereka mengira aku orang terdekat dengannya sehingga tadi sore WAku bergetar khusus tanda masuk pesan darinya, 'Lepas kau sholat isya, temui aku di kafe biasa, terlambat kau binasa, haha' bagai penonton kenak hipnotis aku menuruti perintahnya, sakti sungguh sakti.
Aku
kasian juga melihatnya seperti luntanglantung di kota ini,
"Mau jadi apa kau?,"
"Menurutmu?"
"Jadi penyair saja seperti SCB, bagaimana, atau jadi apa saja, sayangkan kau punya otak cerdas, beda dengan aku yang selalu diperbudak sistem,"
"Nah itu, aku mau jadi orang yang menginjak sistem,"
"Maksudmu?, bingung aku,"
"Harus ya kalau aku harus jadi apaapa?, aku tak mau jadi apaapa,"
"Sia-sia saja kalau begitu umurmu,"
"Itukan menurutmu, belum tentu menurut Tuhanmu, maksudku Tuhan kita,"
"Aku yang sudah bekerja sekian tahun saja belum menikah, belum punya rumah, tabungan belum cukup untuk meminang Juariyah, dan kau malah santai saja, apa kau tak punya impian Jang,"
"Punya kok,"
"Apa?,"
Ia menyeruput lagi kopinya seteguk, menghirup rokok dan memayikan puntungnya setelah asap rokok itu mengenai wajahku dan aku terbatuk dihadapannya.
"Impianku ya tak punya impian, hahahaha,"
Ia tertawa melihat raut kekalahanku.
"Mau jadi apa kau?,"
"Menurutmu?"
"Jadi penyair saja seperti SCB, bagaimana, atau jadi apa saja, sayangkan kau punya otak cerdas, beda dengan aku yang selalu diperbudak sistem,"
"Nah itu, aku mau jadi orang yang menginjak sistem,"
"Maksudmu?, bingung aku,"
"Harus ya kalau aku harus jadi apaapa?, aku tak mau jadi apaapa,"
"Sia-sia saja kalau begitu umurmu,"
"Itukan menurutmu, belum tentu menurut Tuhanmu, maksudku Tuhan kita,"
"Aku yang sudah bekerja sekian tahun saja belum menikah, belum punya rumah, tabungan belum cukup untuk meminang Juariyah, dan kau malah santai saja, apa kau tak punya impian Jang,"
"Punya kok,"
"Apa?,"
Ia menyeruput lagi kopinya seteguk, menghirup rokok dan memayikan puntungnya setelah asap rokok itu mengenai wajahku dan aku terbatuk dihadapannya.
"Impianku ya tak punya impian, hahahaha,"
Ia tertawa melihat raut kekalahanku.
Kesadaranku belum penuh benar. Di kasur yang menguarkan bau sedikit kering air
longkang. Seketika gelap pengap kosanku terusir oleh secepat tarikan tirai
jendela. Cahaya masuk mengugah kelopak mataku yang masih terkatup.
Aku
duduk di kasur, menguap dan melihat dia duduk di hadapan jendela. Bukan main
aduhai mak gileeeee, seakan aku tak percaya apa yang aku lihat di benderang
cahaya itu.
Asap
mengepul dari bibirnya,
"Hai pengangguran, selamat pagi, kerja tak kerja tetap duaribu limaratus masih ingat kau, hahaha,"
"Hai pengangguran, selamat pagi, kerja tak kerja tetap duaribu limaratus masih ingat kau, hahaha,"
"Hahaha,
selamat pagi juga" jawabku kesal sambil melemparkan bantal dengan ribuan
peta tak terbaca.
Jarum
jam terus berputar walaupun sudah habis batrainya, aku melihat seorang kerdil
nyempil di sana, di jarum jam itu, menahan sekuat tenaga sumpahan waktu, demi
masa, merugikah siapa?
Tanjungpinang,
6/1/2017
0 komentar:
Posting Komentar