Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 08 Januari 2017

KARENA ALEPPO



Tanjungpinang pucat dan sembab. Dalam gerimis, kota gurindam itu serupa ibu dalam duka melepas kepergian anaknya menuju Tuhan.  Di balik tirai gerimis yang memberi gigil, bayangan seorang pemuda masih jelas menari di lantai ingatanku. Setiap kali bulan desember bertandang, menghanyutan perasaanku pada genang kenangan yang kian menenggelamkanku dalam rasa bersalah padanya.
***
Kami berasal dari kampung yang sama. Tepatnya sebuah pulau kecil di perairan Kundur, Kabupaten Karimun, pulau yang keluarga kami tinggali itu bernama pulau Degung, hanya ada Sembilan kepala keluarga di pulau itu, untuk sekolah kami harus pulang pergi ke SMA Pulau Penarah -- sebuah pulau yang tak jauh dari pulau Degung. Menyebrang menggunakan pompong.
Sejak kecil hingga kami kuliah di Tanjungpinang, kami selalu bersama, berangkat kuliah bersama, ngekos bersama, dan banyak kegiatan yang kami selalu lakukan bersama, kecuali satu hal: organisasi, kami tak sepandangan.
Sahabatku itu selalu aktif, selain kuliah dia juga seorang aktivis di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Organisasi yang menurutku waktu itu kumpulan orang yang sok-sokan mau membangunkan Negara yang tidur, mending mereka selesaikan kuliah, belajar yang benar, menikah dan pulang kampong, jelas, tak neko-neko dan ribet.
Printer di kos berbunyi cukup berisik, seperti menjerit sakit kecapaian,
“Lang, apa yang kau buat tu, hey tak ada manfaat, baik kau tidur, besok UAS, sudah siap kau?,”
“Hehe, sudahlah,  tugas-tugas yang mesti diantar besok pun sudah selesai,”
“Apa yang kau print itu Lang?”
Inilah beberapa selebaran dan pamphlet seruan aksi galang dana untuk Aleppo,”
“Aleppo?, daerah mana tu?”
“Hai, kau ini kudet kali lah, itu nama daerah di Syiria yang diperangi sendiri oleh pemerintahnya,”
“Mak eh, kejam kali lah, tapi kenapalah kau sibuk-sibuk ngurus urusan orang, macam sudah betul aja Negara kita, Indonesia saja banyak bencana, banyak kemiskinan, ini pula nak bantu Negara lain, hemmm,”
“Haha.. ambil ni,”  Alang, melempar bantal yang penuh peta tak terbaca itu kearah kepalaku, dan dia tersenyum mengakhiri perdebatan yang dapat merusak persahabatan kami.

***
Jalanan di genangi air, beberapa mahasiswi melewati lorong kos-kosan, masih ada tetes-tetes  hujan dari atap. Alang sudah berdiri di depan pintu, dalam keadaan rapi, dan ransel khasnya yang selalu ia pakai, ransel mahal yang pernah kuhadiahkan setahun yang lalu, dengan harapan dapat menjadi penanda persahabatan kami, juga penebus atas dosa-dosa kejahilanku padanya.
“Kenapa tak bangunkan aku Lang,”
“Hemm, kau tidur dah macam bangkai kapal depan rumah aku tu, berapa kali aku gugah, kau tak bangun-bangun juga, rubahlah kebiasaan kau  online sampai larut malam,”
“Alamak ceramah lagi dia, hem pergilah kau sana,”
“Iyalah, berangkat aku, tapi macam mana, ini motor Cuma satu, kau sih sering telat bangun pagi,”
“Sudah bawalah motor itu, aku pandailah,”
“Taklah, aku naik angkot saja, kau bawalah motor itu,”
“Aih, merajuk pula,”
“Tidak, tak apa, nanti kau kena marah dosen kalau terlambat, aku masih bisa cari angkot, maaf mau cepat soalnya ada kawan yang sudah nunggu di sekre BEM, mau syuro fiksasi kegiatan galang dana untuk Aleppo siang nanti, kau datang ya, Assalamualaikum,”
Aok lah,” kujawab sekenanya dengan ekspresi tak peduli, seraya menyambut kunci motor yang Alang lempar.
***
Aku duduk di motor yang mengkhawatirkan: surat tak lengkap, dan layak dikilokan, tapi walau begitu itulah motor yang telah membersamai kami sehingga sekarang kami semester  lima. Aku mulai gusar menunggu Alang dan kawan-kawannya menyelesaikan penggalangan dana. Sesekali terdengar teriakan takbir, dan beberapa orasi dari berbagai ketua organisasi kampus dan ekstra kampus. Penampilan mereka mudah dikenali, yang lelaki memakai baju koko, atau kalau yang sudah modis, gak jauh beda dengan anak kekinian, ‘biar dakwahnya lebih dekat dengan anak sekarang bro’ begitu alasan salah seorang teman Alang.
Dari corong pengeras suara yang familiar di kalangan aktivis itu, terdengar suara Alang meninggi, diselingi beberapa kali takbir menyemangati para aktivis yang turut hadir. Sementara beberapa kader organisasi itu tampak membawa beberapa kardus mie instan yang disulap jadi kotak amal, berdiri di lampu merah, serupa pengemis, tapi mungkin pengemis yang lebih mulia, batinku sedikit membela, tapi tak kuakui sebagai pembelaan, gengsilah.
Di tengah arus lalu lintas sore yang cukup padat, suara alang kembali terdengar lantang.
“Suadaraku warga kota Tanjungpinang, sungguh manusia manapun yang masih mempunyai hati dan berjiwa manusia akan tersentuh dan meneteskan ari mata ketika harus menyaksikan anak-anak kecil yang suci harus menjadi korban. Anak-anak di Aleppo harus kehilangan ayah dan ibunya, perempuan diperkosa, laki-lakinya ditikam, diberondong peluru, bangunan-bangunan hancur lebur di lempari bom. Berbicara tentang situasi Aleppo, pasti yang jiwanya masih manusia akan mengambil tindakan menolong. Mari kita sisihkan harta kita membantu saudara kita di Aleppo, sedikit harta yang kita sisihkan tidak akan membuat kita menjadi miskin, bapak ibu warga kota Tanjungpinang mari menderma atas nama kemanusiaan,
Saudaraku sekalian warga kota Tanjungpinang, boleh jadi karena tidak pedulinya kita kepada saudara kita di Aleppo, menjadi asbab turunnya murka Tuhan atas kota yang indah ini, voba bayangkan seandainya yang dibantai adalah anak-anak kita, saudara-saudara kita terbunuh karena kejahatan perang, saudari-saudari kita diperkosa, naudzubillah, mari kita berikan infak terbaik untuk saudara kita,”
Kudengar suara  Alang, bergetar menahan emosi dan jebol di kedua matanya, hatiku datar melihat pemandangan itu, hanya sedikit tersentuh tapi kembal tak kuakui.
Matahari kian condong menggapai timur. Penggalanan dana itu telah ditutup dengan doa, dan penghitungan langsung, mereka melingkar mulai menghitung uang dikeluarkan dari kotak-kotak, kertas itu meluncur di tengah-tengah mereka berkerumun, tangan mereka bergerak menyusun uang, dan bibir mereka komat-kamit bagai merapal mantra.
“Alhamdulillah, saudaraku sekalian, uang hasil penggalangan dana hari ini terkumpul senilai Rp. 7.540.000, jumlah yang pantas kita syukuri, InshaAllah besok kita galang dana lagi, selama seminggu ini, semoga antum sekalian tetap dalam semangat yang terjaga,” Alang menutup pertemuan mereka, setelah mereka bersurai dari lapangan Pamedan, Alang berjalan mendekatiku,
“Ran, yok pulang, kita ke masjid dulu, azan magrib dah berkumandang, lepas itu kita ke rumah bendahara, baru makan malam sama, “
“Okelah bos, mana baiklah,”
***
malam itu suasana kos sangat mencemaskan, waktu itu aku sedang merebus indomie, lamat-lamat dari dapur kudengar Alang menjawab panggilan telepon dari bendahara organisasi.
“Macam mana bisa terjadi,?”
“Tadi malam rumah kami kemasukan maling, tas lupa ana  masukkan ke kamar, Abi sempat sadar kalau ada yang masuk, bangun dan maling itu segera kabur, tapi rupanya dia sempat membawa tas Ana,  gimana ini Akh,” suara di balik telepon itu jelas menangis seperti di sinetron televisi.
“MasyaAllah, Astagfirullah, oke, gini, nanti kita bicarakan dulu di forum WA, bagusnya gimana, kita tunggu kesepakatan teman-teman,”
Aku keluar dari dapur membawa dua mangkuk mie rebus, aromanya yang sedap pengobat lapar tapi rupanya tak  mampu menghapus kegelisan Alang.
“Kenapa Lang,” tanyaku seolah tak tau. Wajahnya meniru langit mendung malam itu.
“Makan dulu ini nanti dingin tak sedap pula, kalau dah dingin mengembang mie ini jadi naga, kau pula yang dimakannya, hahaha”
Alang yang cemas keluar kos, aku membuntutinya dia menuju tempat diparkirkan.
Usah macam-macam kau Lang, itu motor warisan, pusaka abadi nan jaya, aku tau niat buruk kau,”
“Ran, kali ini tolong aku, nanti aku pulangkan, aku nak gadaikan motor ini,”
“Aih usah menyanyah dapat apa motor kilo ini,”
“Aku punya teman, motor ini bisa jadi jaminan, bulan depan aku ganti ya,”
“Nah itulah kau Lang, sudah aku cakap jangan ikut organisasi, nah kau rugi sendirikan, itu uang bersama, jadi kalian tanggunglah bersama, masak cuma kau sendiri yang menanggung, itu bukan organisasi namanya,”
“Tapi aku ini ketua Ran, setidaknya aku harus beri solusi sementara,”
“Aku kadu ke Abah kau ya, “
“Jangan Ran, risau pula orangtua itu nanti, dahlah dia lagi sakit, kau tak kasihan kah?”
“Mana baikmu lah Lang,”
Aku meninggalkan Alang sendiri, merenung di teras kos. Mie-nya sudah dingin sedari tadi, hujan reda, baru ia makan mie yang dingin itu. aku tinggal tidur dia.
Beberapa jam kemudian aku terbangun, mendengar keran air berbunyi, suara kaki berjalan menghantarkan gelombangnya ke telingaku. Rasa penasaran mendorongku untuk bangkit dan melihat apa yang dikerjakan Alang. Jarum pendek jam dinding menunjuk angka tiga, sedangkan jarum panjang di angka dua.
Alang membenamkan jidadnya di atas sajadah, lama sekali. Beberapa rakaat ia kerjakan untuk sholat malam, zikir doa segala keluhan beban, amanah dan permasalahan tumpah ruah bersama gerimis di luar jendela. Aku tak tahan dan kembali tidur melanjutkan mimpi.
***
Gerimis masih saja setia hadir di pagi hari itu. seperti biasa pula Alang yang paling awal bergegas ke kampus.
“Lang, naik apa kita ke kampus hari ini?”
“Naik angkot atau bus,”
“Hai, paling jaki aku gini,”
“Sudahlah, untuk apalagi kau pedulikan organisasi, Aleppo, entah apa lagi sial yang kau dapat nanti,”
“Ran, jagalah baik-baik lidah kau tu,”
“Engkau aku kasi tahu baik-baik, tak mau dengar, lantaklah!”
Alang berlalu pergi, meninggalkan aku yang baru siap mandi,
“Marah kau Lang?, sikit-sikit merajuk kau,”
Alang berlalu tak menoleh, berlari menembus gerimis, aku keluar kos, melihat Alang melenggang begiitu saja aku seperti merasakan ada hal yang aneh, dan baru aku sadar, dia tertinggal sesuatu, sekenanya saja aku pakai baju dan celana segera menyusul Alang, yang tampaknya sedang marah padaku.
“Alang, ini ranselmu,”
“Ini ranselmu,”
“Ini ranselmu,”
“Ranselmu,”
Aku seperti mendengar suaraku menggema dalam dada sendiri, kian dalam kian menikam, orang-orang berkerumun di tengah jalan raya, aku menyibak punggung-punggung yang berkerumun, kudapati tangannya terkulai darah bercampur gerimis mencair menuju selokan yang kian mampet dengan sampah. Aku tak bisa berkata-kata, orang-orang bergegas membawa Alang menggunakan mobil yang telah membuatnya terkapar. Dalam posisi berdiri aku melihat mobil itu kian menjauh terarsir rinai gerimis desember.
***
Semalaman aku menunggu Alang di rumah sakit. teman-temannya berdatangan, Alang masih tertidur, aku menunggu di luar, kupeluk ransel Alang, menahan rasa bersalah padanya, kubuka tas itu, sebuah buku berwarna merah hati kubuka perlahan, tulisan tangan Alang kubaca, tulisannya yang rapi menunjukkan karakter sang penulis.
Tercatat di buku itu, semangat, harapan, cita-cita, dan di lembar terakhir, sebuah luahan perasaannya padaku, membuat aku kembali berfikir tentang peran seorang pemuda,
Ran, semoga suatu saat kau paham,” begitu kalimat terakhir dari serentetan harapan Alang yang tertulis di buku harian itu. tiga tetes bening jatuh menitik di halaman buku.
***
Deru suara kursi roda perlahan memenuhi lorong kampus yang sunyi, seorang pemuda duduk di atasnya. Dialah ketua organisasi kami, masih tegas memimpin syuro, juga lantang berorasi, semua kader terinspirasi. Alang, semoga Allah senantiasa memberkahi umurmu dalam kebaikan.

Tanjungpinang, 29 Desember 2016.
Teruntuk seluruh aktivis dakwah kampus yang ikhlas berjuang, Allah selalu bersamamu.


 
TENTANG PENULIS
Harfan Min Kitabillah lahir di Tanjung Batu Kundur Kepulauan Riau pada 30 maret 1991. Kesehariannya mengajar di sebuah SD Swasta di Tanjungpinang. saat ini dia bergiat di Forum Lingkar Pena Tanjungpinang, juga bergiat di sanggar teater Segagas Rumpun. Kumpulan puisinya telah terbit dalam buku: Teduh Bulan Maret (2016), Adat Kasih Menunggang Rindu (2017). Dapat dihubungi melalui email: harfanemka@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar