KARENA ALEPPO
Tanjungpinang pucat dan sembab. Dalam gerimis, kota gurindam itu
serupa ibu dalam duka melepas kepergian anaknya menuju Tuhan. Di balik tirai gerimis yang memberi gigil,
bayangan seorang pemuda masih jelas menari di lantai ingatanku. Setiap kali
bulan desember bertandang, menghanyutan perasaanku pada genang kenangan yang
kian menenggelamkanku dalam rasa bersalah padanya.
***
Kami berasal dari kampung yang sama. Tepatnya sebuah pulau kecil di
perairan Kundur, Kabupaten Karimun, pulau yang keluarga kami tinggali itu bernama
pulau Degung, hanya ada Sembilan kepala keluarga di pulau itu, untuk sekolah
kami harus pulang pergi ke SMA Pulau Penarah -- sebuah pulau yang tak jauh dari
pulau Degung. Menyebrang menggunakan pompong.
Sejak kecil hingga kami kuliah di Tanjungpinang, kami selalu
bersama, berangkat kuliah bersama, ngekos bersama, dan banyak kegiatan yang
kami selalu lakukan bersama, kecuali satu hal: organisasi, kami tak
sepandangan.
Sahabatku itu selalu aktif, selain kuliah dia juga seorang aktivis
di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Organisasi yang menurutku waktu
itu kumpulan orang yang sok-sokan mau membangunkan Negara yang tidur, mending
mereka selesaikan kuliah, belajar yang benar, menikah dan pulang kampong,
jelas, tak neko-neko dan ribet.
Printer di kos
berbunyi cukup berisik, seperti menjerit sakit kecapaian,
“Lang, apa yang kau buat tu, hey tak ada manfaat, baik kau
tidur, besok UAS, sudah siap kau?,”
“Hehe, sudahlah, tugas-tugas
yang mesti diantar besok pun sudah selesai,”
“Apa yang kau print itu Lang?”
“Inilah beberapa
selebaran dan pamphlet seruan aksi galang dana untuk Aleppo,”
“Aleppo?, daerah mana tu?”
“Hai, kau ini kudet kali lah, itu nama daerah di Syiria yang
diperangi sendiri oleh pemerintahnya,”
“Mak eh, kejam kali lah, tapi kenapalah kau sibuk-sibuk ngurus
urusan orang, macam sudah betul aja Negara kita, Indonesia saja banyak bencana,
banyak kemiskinan, ini pula nak bantu Negara lain, hemmm,”
“Haha.. ambil ni,” Alang,
melempar bantal yang penuh peta tak terbaca itu kearah kepalaku, dan dia
tersenyum mengakhiri perdebatan yang dapat merusak persahabatan kami.
***
Jalanan di genangi air, beberapa mahasiswi melewati lorong
kos-kosan, masih ada tetes-tetes hujan
dari atap. Alang sudah berdiri di depan pintu, dalam keadaan rapi, dan ransel
khasnya yang selalu ia pakai, ransel mahal yang pernah kuhadiahkan setahun yang
lalu, dengan harapan dapat menjadi penanda persahabatan kami, juga penebus atas
dosa-dosa kejahilanku padanya.
“Kenapa tak bangunkan aku Lang,”
“Hemm, kau tidur dah macam bangkai kapal depan rumah aku tu,
berapa kali aku gugah, kau tak bangun-bangun juga, rubahlah kebiasaan kau online sampai larut malam,”
“Alamak ceramah lagi dia, hem pergilah kau sana,”
“Iyalah, berangkat aku, tapi macam mana, ini motor Cuma satu, kau
sih sering telat bangun pagi,”
“Sudah bawalah motor itu, aku pandailah,”
“Taklah, aku naik angkot saja, kau bawalah motor itu,”
“Aih, merajuk pula,”
“Tidak, tak apa, nanti kau kena marah dosen kalau terlambat, aku
masih bisa cari angkot, maaf mau cepat soalnya ada kawan yang sudah nunggu di
sekre BEM, mau syuro fiksasi kegiatan galang dana untuk Aleppo siang
nanti, kau datang ya, Assalamualaikum,”
“Aok lah,” kujawab sekenanya dengan ekspresi tak peduli,
seraya menyambut kunci motor yang Alang lempar.
***
Aku duduk di motor yang mengkhawatirkan: surat tak lengkap, dan
layak dikilokan, tapi walau begitu itulah motor yang telah membersamai kami
sehingga sekarang kami semester lima.
Aku mulai gusar menunggu Alang dan kawan-kawannya menyelesaikan penggalangan
dana. Sesekali terdengar teriakan takbir, dan beberapa orasi dari berbagai
ketua organisasi kampus dan ekstra kampus. Penampilan mereka mudah dikenali,
yang lelaki memakai baju koko, atau kalau yang sudah modis, gak jauh beda
dengan anak kekinian, ‘biar dakwahnya lebih dekat dengan anak sekarang bro’
begitu alasan salah seorang teman Alang.
Dari corong pengeras suara yang familiar di kalangan aktivis itu,
terdengar suara Alang meninggi, diselingi beberapa kali takbir menyemangati
para aktivis yang turut hadir. Sementara beberapa kader organisasi itu tampak
membawa beberapa kardus mie instan yang disulap jadi kotak amal, berdiri di
lampu merah, serupa pengemis, tapi mungkin pengemis yang lebih mulia, batinku
sedikit membela, tapi tak kuakui sebagai pembelaan, gengsilah.
Di tengah arus lalu lintas sore yang cukup padat, suara alang
kembali terdengar lantang.
“Suadaraku warga kota Tanjungpinang, sungguh
manusia manapun yang masih mempunyai hati dan berjiwa manusia akan tersentuh
dan meneteskan ari mata ketika harus menyaksikan anak-anak kecil yang suci
harus menjadi korban. Anak-anak di Aleppo harus kehilangan ayah dan
ibunya, perempuan diperkosa, laki-lakinya ditikam, diberondong peluru, bangunan-bangunan
hancur lebur di lempari bom. Berbicara tentang situasi Aleppo, pasti yang
jiwanya masih manusia akan mengambil tindakan menolong. Mari kita sisihkan
harta kita membantu saudara kita di Aleppo, sedikit harta yang kita sisihkan
tidak akan membuat kita menjadi miskin, bapak ibu warga kota Tanjungpinang mari
menderma atas nama kemanusiaan,
Saudaraku sekalian warga kota Tanjungpinang,
boleh jadi karena tidak pedulinya kita kepada saudara kita di Aleppo, menjadi
asbab turunnya murka Tuhan atas kota yang indah ini, voba bayangkan seandainya
yang dibantai adalah anak-anak kita, saudara-saudara kita terbunuh karena
kejahatan perang, saudari-saudari kita diperkosa, naudzubillah, mari
kita berikan infak terbaik untuk saudara kita,”
Kudengar suara
Alang, bergetar menahan emosi dan jebol di kedua matanya, hatiku datar
melihat pemandangan itu, hanya sedikit tersentuh tapi kembal tak kuakui.
Matahari kian condong menggapai timur.
Penggalanan dana itu telah ditutup dengan doa, dan penghitungan langsung,
mereka melingkar mulai menghitung uang dikeluarkan dari kotak-kotak, kertas itu
meluncur di tengah-tengah mereka berkerumun, tangan mereka bergerak menyusun
uang, dan bibir mereka komat-kamit bagai merapal mantra.
“Alhamdulillah, saudaraku sekalian, uang hasil
penggalangan dana hari ini terkumpul senilai Rp. 7.540.000, jumlah yang pantas
kita syukuri, InshaAllah besok kita galang dana lagi, selama seminggu ini,
semoga antum sekalian tetap dalam semangat yang terjaga,” Alang menutup
pertemuan mereka, setelah mereka bersurai dari lapangan Pamedan, Alang berjalan
mendekatiku,
“Ran, yok pulang, kita ke masjid dulu, azan
magrib dah berkumandang, lepas itu kita ke rumah bendahara, baru makan
malam sama, “
“Okelah bos, mana baiklah,”
***
malam itu suasana kos sangat mencemaskan, waktu
itu aku sedang merebus indomie, lamat-lamat dari dapur kudengar Alang menjawab
panggilan telepon dari bendahara organisasi.
“Macam mana bisa terjadi,?”
“Tadi malam rumah kami kemasukan maling, tas
lupa ana masukkan ke kamar, Abi
sempat sadar kalau ada yang masuk, bangun dan maling itu segera kabur, tapi
rupanya dia sempat membawa tas Ana, gimana ini Akh,” suara di balik telepon
itu jelas menangis seperti di sinetron televisi.
“MasyaAllah, Astagfirullah, oke, gini, nanti
kita bicarakan dulu di forum WA, bagusnya gimana, kita tunggu kesepakatan
teman-teman,”
Aku keluar dari dapur membawa dua mangkuk mie
rebus, aromanya yang sedap pengobat lapar tapi rupanya tak mampu menghapus kegelisan Alang.
“Kenapa Lang,” tanyaku seolah tak tau. Wajahnya
meniru langit mendung malam itu.
“Makan dulu ini nanti dingin tak sedap pula,
kalau dah dingin mengembang mie ini jadi naga, kau pula yang dimakannya,
hahaha”
Alang yang cemas keluar kos, aku membuntutinya
dia menuju tempat diparkirkan.
“Usah macam-macam kau Lang, itu motor
warisan, pusaka abadi nan jaya, aku tau niat buruk kau,”
“Ran, kali ini tolong aku, nanti aku pulangkan,
aku nak gadaikan motor ini,”
“Aih usah menyanyah dapat apa motor kilo
ini,”
“Aku punya teman, motor ini bisa jadi jaminan,
bulan depan aku ganti ya,”
“Nah itulah kau Lang, sudah aku cakap jangan
ikut organisasi, nah kau rugi sendirikan, itu uang bersama, jadi kalian
tanggunglah bersama, masak cuma kau sendiri yang menanggung, itu bukan
organisasi namanya,”
“Tapi aku ini ketua Ran, setidaknya aku harus
beri solusi sementara,”
“Aku kadu ke Abah kau ya, “
“Jangan Ran, risau pula orangtua itu nanti, dahlah
dia lagi sakit, kau tak kasihan kah?”
“Mana baikmu lah Lang,”
Aku meninggalkan Alang sendiri, merenung di
teras kos. Mie-nya sudah dingin sedari tadi, hujan reda, baru ia makan mie yang
dingin itu. aku tinggal tidur dia.
Beberapa jam kemudian aku terbangun, mendengar
keran air berbunyi, suara kaki berjalan menghantarkan gelombangnya ke
telingaku. Rasa penasaran mendorongku untuk bangkit dan melihat apa yang
dikerjakan Alang. Jarum pendek jam dinding menunjuk angka tiga, sedangkan jarum
panjang di angka dua.
Alang membenamkan jidadnya di atas sajadah,
lama sekali. Beberapa rakaat ia kerjakan untuk sholat malam, zikir doa segala
keluhan beban, amanah dan permasalahan tumpah ruah bersama gerimis di luar
jendela. Aku tak tahan dan kembali tidur melanjutkan mimpi.
***
Gerimis masih saja setia hadir di pagi hari
itu. seperti biasa pula Alang yang paling awal bergegas ke kampus.
“Lang, naik apa kita ke kampus hari ini?”
“Naik angkot atau bus,”
“Hai, paling jaki aku gini,”
“Sudahlah, untuk apalagi kau pedulikan
organisasi, Aleppo, entah apa lagi sial yang kau dapat nanti,”
“Ran, jagalah baik-baik lidah kau tu,”
“Engkau aku kasi tahu baik-baik, tak mau
dengar, lantaklah!”
Alang berlalu pergi, meninggalkan aku yang baru
siap mandi,
“Marah kau Lang?, sikit-sikit merajuk kau,”
Alang berlalu tak menoleh, berlari menembus
gerimis, aku keluar kos, melihat Alang melenggang begiitu saja aku seperti
merasakan ada hal yang aneh, dan baru aku sadar, dia tertinggal sesuatu,
sekenanya saja aku pakai baju dan celana segera menyusul Alang, yang tampaknya
sedang marah padaku.
“Alang, ini ranselmu,”
“Ini ranselmu,”
“Ini ranselmu,”
“Ranselmu,”
Aku seperti mendengar suaraku menggema dalam
dada sendiri, kian dalam kian menikam, orang-orang berkerumun di tengah jalan
raya, aku menyibak punggung-punggung yang berkerumun, kudapati tangannya
terkulai darah bercampur gerimis mencair menuju selokan yang kian mampet dengan
sampah. Aku tak bisa berkata-kata, orang-orang bergegas membawa Alang
menggunakan mobil yang telah membuatnya terkapar. Dalam posisi berdiri aku
melihat mobil itu kian menjauh terarsir rinai gerimis desember.
***
Semalaman aku menunggu Alang di rumah sakit.
teman-temannya berdatangan, Alang masih tertidur, aku menunggu di luar, kupeluk
ransel Alang, menahan rasa bersalah padanya, kubuka tas itu, sebuah buku
berwarna merah hati kubuka perlahan, tulisan tangan Alang kubaca, tulisannya
yang rapi menunjukkan karakter sang penulis.
Tercatat di buku itu, semangat, harapan,
cita-cita, dan di lembar terakhir, sebuah luahan perasaannya padaku, membuat
aku kembali berfikir tentang peran seorang pemuda,
“Ran, semoga suatu saat kau paham,” begitu
kalimat terakhir dari serentetan harapan Alang yang tertulis di buku harian
itu. tiga tetes bening jatuh menitik di halaman buku.
***
Deru suara kursi roda perlahan memenuhi lorong
kampus yang sunyi, seorang pemuda duduk di atasnya. Dialah ketua organisasi
kami, masih tegas memimpin syuro, juga lantang berorasi, semua kader
terinspirasi. Alang, semoga Allah senantiasa memberkahi umurmu dalam kebaikan.
Tanjungpinang, 29 Desember 2016.
Teruntuk seluruh aktivis dakwah kampus yang
ikhlas berjuang, Allah selalu bersamamu.
TENTANG PENULIS
Harfan Min Kitabillah lahir di Tanjung Batu Kundur Kepulauan Riau pada 30 maret
1991. Kesehariannya mengajar di sebuah SD Swasta di Tanjungpinang. saat ini dia
bergiat di Forum Lingkar Pena Tanjungpinang, juga bergiat di sanggar teater
Segagas Rumpun. Kumpulan puisinya telah terbit dalam buku: Teduh Bulan Maret
(2016), Adat Kasih Menunggang Rindu (2017). Dapat dihubungi melalui
email: harfanemka@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar