CERPEN HASIL KROYOKAN BELUM DIBERI JUDUL
WGenderang perang telah ditabuh. Perjaka yang memegang panah itu berdiri dengan gagah, menarik bidik panah dengan perlahan. Lengan kanannya gemetar menahan ragu, mungkinkah tepat sasaran? Sedang dirinya kini tak lagi benar-benar perjaka, apakah benar dia tak lagi perjaka? Bukankah kejadian itu adalah kehendak sang Dewi melakukan rudapaksa atas keperkasaannya? Dalam keraguan itu, ia turunkan busur, "ini anak panah satu satunya, jika tak berhasil mengenai lawan, aku pula yang akan binasa,".
Panahpun dilepaskan dari busurnya, disaat inilah kehendak langit benar benar menjadi pilihan satu satunya. "Pada siapa aku harus percaya?" Resah hatinya sambil melihat bidikan panahnya. keringatnya yang dingin bercucuran deras bak hujan di gurun pasir. Busur yang ia bidikkan masih terus melintasi awan.
"Para penumpang di harap tenang, sabuk pengaman tetap dipasang dengan sempurna," ucap pramugari tenang namun tegang luar biasa.
"Hah! Mimpi,"
Kulihat awan bergumpal hitam, aku duduk tepat di pintu darurat pesawat terbang. Wajah-wajah cemas ada yang mendadak beriman, menyebut nama Tuhan, aku belum sadar benar, seorang pramugari dengan wajah tegang menghampiri,
"Pak, tolong sabuk pengamannya di pasang,"
Dengan tergesa aku memasangnya, dua wanita di sebelah kananku, cemas, menangis, air matanya deras mengalir, rayap mohon ampun keluar dari mulut mereka, deretan dosa-dosa keluar begitu saja,
"Ampun Tuhan, memang aku yang melakukannya,"
"Busyet," batinku, aku terkenang kisah nabi Nuh yang membuang diri ke laut, karena dosanya meninggalkan umat, apakah juga karena ada,seorang pendosa di dalam pesawat ini? Mungkin dia harus ditendang keluar, tapi ini bukan kapal laut! Harus beda penanganannya, aku melepas tali pengaman bersiap berdiri limbung, dan dipaksa tegap berdiri,
"Mengakulah siapa yang telah berbuat dosa, aku yakin diantara kita ada yang telah membuat Tuhan murka," seorang dari bangku seat 25C, berdiri mendahuluiku. Sapa yang ingin aku katakan umumkan kepada penumpang lainnya sudah keduluan, terlambat satu detik.
Semua penumpang terdiam, wajah menggambarkan,suasana mencekam, gadis dan anak-anak menangis histeris, pesawat limbung, seolah segera terjun bebas entah ke bumi bagian mana, bergidik kubayangkan besok hari pesawat ini menjadi head line di sebuah surat kabar, juga trending topik di berbagai berita nasional,
Orang orang mulai koor menyuruh seseorang mengakui dosa-dosanya,
"Ayo mengaku, jangan dikorbankan kami gara-gara perbuatanmu" seru salah seorang bapak-bapak berjas hitam, sepertinya dia akan menghadiri rapat sebuah perusahaan besar, atau dia pejabat negara. Aku tetap mendengarkan saling tuduh, suasana semakin mencekam dan memanas.
Aku mulai resah dan gundah. Jantungku berdetak keras, fikiran ku kacau berhamburan. Sambil memegang sabuk pengaman yang melilit pinggangku dengan kencang.
Bagaimana jika pendosa itu aku? Ya, hanya itu yang terpikirkan olehku. Pesan bapak, sebelum kau menyalahkan orang lain, tanyakanlah kepada diri sendiri, barangkali kita turut andil di dalamnya. Kata orang orang tua di kampungku, jika kita beristighfar, maka boleh jadi itu dapat melancarkan rezeki kita. Salah satunya dengan keselamatan dari turbulansi pesawat ini. Tapi, kenapa tiba tiba aku teringat dengan mimpi tadi ya? Apa itu pertanda?
"Pertanda apa hayono..."
Seseorang masuk tiba tiba di ruang kerja menepuk pundaknya. Penulis itu terkejut, seseorang yang familiar itu kini berada di hadapannya, sambil menodongkan shiruken, di lehernya,
"Sudah ada uang untuk bayar sewa,rumah ini?"
Sang penulis tergagap, novelnya belum di bayar penerbit, uangnya belum ada, maka ia pun mencari jalan keluar untuk tetap hidup.
"Hm..bagaimana jika tuan memberikan saya waktu sedikit lagi untuk menuntaskan novel ini? Seluruh royalti akan saya bayarkan untuk melunasinya, jika perlu, saya akan beli rumah ini."
"Kau kira kami bodoh apa? Terlalu banyak janjimu. Sekarang cepat bayar! Anak istri ku juga perlu makan!"
Geledah rumah ini! Suruhnya pada 2 bodyguardnya yang bebadan gagah dan sangar.
Setelah 30 menit digeledah
Bos, aku jumpa buku tabungan "kata bodiguardnya dengan senyum tajam dan alis kanan yang naik ke atas.
Lempar itu pada ku "kata bos yang tangannya masih memegang suriken yang masih mengarah di leher haryono"
Haaap "bunyi buku tabungan ditangkap"
Apaaaaa?
Ini kau punya uang sebanyak 3 juta! Kenapa tak kau bayar uang sewa mu?
Kau mau macam-macam padaku?
Berani kau ya?
Teriak bos dengan amarah memuncak ketika melihat deretan angka 0 yang cukup banyak dibuku tabungan haryono
Ampun pak, ampun.
Itu uang tabunganku.
Ada hal yang perlu untuk itu, jawab haryono dengan air mata yang tak mampu dibendungnya
Bedebah kauu! Mau kau apakan uang ini
Ampun pak, itu aku tabung sudah sekian tahun yang lalu. Untuk meminang gadis manismu itu
Apaaaaaaa???
Gila kau yaa
"Cressssss," darah segar menyembur, memercik mengenai mata kananku yang melihat semua kejadian 10 tahun silam, aku melihat semuanya dari balik dinding kamarku, sebuah lubang kecil membuat mataku jadi saksi sejarah, bagaimana ayahku dibunuh dengan kejam, mereka menggeledah seisi rumah, tak ada yang bisa mereka ambil untuk diuangkan, kecuali buku-buku koleksi ayah sedari zaman bung Hatta masih menjadi presiden, dan penjahat mana yang mau membaca dan mengoleksi buku, mereka meninggalkan rumah, dan tak menyadari keberadaan aku yang lebih sigap bersembunyi ke bawah tanah, ayah yang telah pengalaman menghadapi,situasi semacam ini, membuat ruangan khusus bawah tanah bawah kamarku, untuk teman persembunyianku, aku menyaksikan,semuanya,"
Seorang penulis buku biografi mencatat semuanya wawancara itu, berkali-kali ia putar ulang rekaman wawancara dengan sumber yang tak mau disebutkan, tentang,sejarah keluarganya yang tertuduh PKI, dia melihat keluar jendela apartemen, warna biru mobil polisi menari-nari di bawah kita Jakarta, dua orang berandal tampak olehnya berkeping tak bisa lari, sebuah helikopter berpaling-pusing di atasnya menurunkan tanggal tali dan seorang polisi berbaju rompi anti peluru menuruni tangga itu, mengikat kedua penjahat itu, maka tampaklah dari jendela apartemennya, dua orang penjahat entah kelas apa menjuntai juntai di bawa terbang helikopter,
"Hidup adalah rentetan penantian, tak ada yang lebih kuasa menandingi kekuasaan, setiap yang hijau gugur juga, setiap yang kuat rebah juga," wartawan itu membatin dalam hati, membersihkan diri, berganti baju tidur, dan setelah itu membiarkan mimpi benar-benar menguasai kelelahannya.
(HASIL keroyokan Widya, Rure dan Rika di grup wa keluarga Batok)
0 komentar:
Posting Komentar