Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Selasa, 24 Januari 2017

BUNYI DALAM PUISI


Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Marjorie Boultan menyebut rima sebagai phonetic form. Jika berpadu dengan ritma, bentuk fonetik itu akan mampu mempertegas makna puisi (Waluyo, 1991:90). Pembicaraan tentang rima akan mencakup orkestrasi bunyi, simbol bunyi, kiasan suara, dan lambang rasa, sedangkan ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangaan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
Bunyi dalam puisi berfungsi sebagai orkestrasi, yaitu untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik. Dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa  pendengarnya (pembacanya) (Pradopo, 1987:27). Dalam tataran ini dikenal dua kombinasi bunyi yang menghasilkan bunyi seperti bunyi musik, yaitu efoni dan kakafoni.
Efoni diartikan sebagai bunyi yang indah atau kombinasi bunyi-bunyi yang merdu. Orkestrasi bunyi merdu ini biasanya dapat atau untuk menggambarkan kerasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan (Pradopo, 1987:28). Pada sajak-sajak MDDM orkestrasi jiwa ini ada yang bernada efoni, sperti rasa syukur, nikmatnya rindu, nada-nada optimis, juga  yang bernada kakafoni seperti pada perasaan khauf (takut) kepada  Allah dan berlindung diri kepada Allah daari kejahatan dunia dan kehidupan. Sebagai contoh, berikut ini salah satu sajak Kuntowijoyo yang bernada efoni:
8
Bidadari yang cerdik
mengirim buahan
untuk mata yang selalu menatap langit
dan hari esok semata pelangi
Maka tersenyumlah
karena duka terakhir bergegas mengundurkan diri
Dari engkau, bagai sutera, diterbangkan angin senja

Keberadaan vokal I dan a pada sajak di atas yang dikombinasikan dengan konsonan n, h, r dan bunyi sengau ng menghasilkan efek bunyi yang merdu yang menggambarkan kegembiraan. Kegembiraan itu adalah kegembiraan seorang hamba yang selalu ingat pada-Nya dan selalu memandang permasalahan kehidupan berdasarkan pandangaan-Nya /untuk mata yang sselalu menataap langit/. Untuk hamba yang seperti itu, hari esok akan dijelangnya dengan keindahan /dan hari esok semata pelangi/ dan keoptimisan. Keoptimisan dalam hal ini adalah sebuah  orkestrasi yang sesuai dengan rasa  keseluruhan sajak. Oleh karena itu, keyakinan ditanamkan pada aku lirik bahwa hari esoknya adalah kebahagiaan dan segala yang akan mengantarkannya pada kedukaan telah sirna /karena  duka terakhir bergegas mengundurkan diri/. Ssetelah itu aku lirik mengalami ekstase, mengalami keringanan jiwa, dan kesucian /Dan engkau, bagai sutera, diterbangkan angin senja/. Begitulah nada efoni telah menjadi orkestrasi bagi kejiwaan aku lirik sebagai hamba  yang dikaruniai rahmat, kesejahteraan, daan hidayah /Bidadari cerdik/ mengirim buahan/ untuk mata yang selalu menatap langit/.
Sebaliknya, dari efoni adalah kakafoni, yaitu kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, dan penuh bunyi k, p, t, s. Kombinasi bunyi ini dapat memperkuat  suasana yang tidak menyenangkan (Pradopo, 1987:30). Untuk lebih jelasnya berikut ini sajak yang berkatafoni:

2
(Storrs—New York, 1973-1974)

Tuhan menjaga diriku
dari kejahatan bayang-bayang
gedung pencakaar, batu granit
lorong bawah tanah
dan gerbong usang
Dan Tuhan menjaga diriku
dari kejahatan angan-angan
Dari gadis dengan seekor anjing
dari rimah roti di tangan
....
Konsonan k, p, t, s yang berkombinasi dengan vokal a, I, u menimbulkan bunyi yang tidak merdu sehingga suasana yang terbangun adalah suasana khawatir, tidak menyenangkan, dan keinginan menjauh dari hal-hal yang jahat. Kejahatan-kejahatan yang dikhawatirkan oleh aku lirik menjadikan orkestrasi kejiwaan saja tidak merdu. /dari kejahatan bayang-bayang/gedung pencakar, batu granit/lorong bawah tanah/dan gerbong usang/ dan /dari kejahataan angan-angan/Dari gadis dengan seekor anjing/dari rimah roti di tangan/. Namun, dalam keseluruhan sajak nomor  dua itu, tersirat sebuah nada tawakal (lihat 2.2.1.3) sebagai poros utama ide dasar sajak, yaitu dengan dihadirkannya  larik-larik yang berbunyi Tuhan menjaga diriku. Dalam hal ini, pada sajak tersebut terdapat dua nada yang bertentangan, antara keyakinan, optimisme, ketawakalan, dan ketenangan, dengan kecemasan dan kelemahan. Pertentangan itu pada akhirnya dapat disatukan dengan satu aspek  kakafoni sebuah bunyi. Dominasi pemaparan kejahatan menjadikan sajak tersebut lebih cenderung berkakafoni karena faktor bunyi konsonan k, p,t, s.

(Dari:  M Irfan Hidayatullah, kipas,dari grup WA liksitera)

0 komentar:

Posting Komentar