SIKAP HIDUP
Pengalaman atau peristiwa sehari-hari bisa
juga digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa begitu saja, tanpa
ada niat untuk memberikan simpati atas yang diceritakan atau nasihat
untuk pembaca. Penyair menggambarkan apa yang terjadi pada dirinya, atau
juga pada hal disekitarnya, tanpa berkomentar kecuali hanya untuk
menyiratkan perasaan atau fikirannya. Saya kutipkan sebuah sajak klasik
China, oleh penyair Li Bai berikut ini, tentang orang yang mabuk di
bawah bulan.
Kupegang botol arak di sela-sela bunga-bunga minum
sendirian saja,
disekitarku seorang pun tiada, kuangkat botolku
tinggi-tinggi dan
kuajak bulan minum bersama; Kami bertiga: aku, bulan,
dan bayang-bayangku.
Tapi bulan twk tahu nikmatnya arak, dan
bayang-bayangku hanya bisa mengikut saja.
Kuanggap saja mereka berdua
temanku. Saat serupa ini harus dinikmati sepuas-puasnya.
Bulan
sempoyongan ketika kunyanyikan beberapa lagu. Bayang-bayangku tampak
kebingungan ketika aku menari-nari,
Kami minum bersama ketika aku masih sadar.
Kalau aku sudah mabok kami berpisah.
Kami minum bersama ketika aku masih sadar.
Kalau aku sudah mabok kami berpisah.
Sdjak kini kami bertiga selalu berpesta,
semoga kami juga bertemu di Bima Sakti sana
Ada 3 tokoh dalam sajak itu: aku, bayang-bayang, dan bulan. Ketiganya
disatukan oleh sebotol arak yang menyebabkan si aku mabuk. Semua yang
ada dalam sajak itu dipandang dari sudut si aku yang berada sendirian
saja di antara bunga-bunga -mungkin di sebuah taman- pada suatu malam.
Ia mabuk, itu sebabnya 'kuangkat botolku dan kuqjqk bulan minum
bersama'. Ini biasa dilakukan orang mabuk, menganggap semuanyah hidup
seperti dirinya. Suasana akhirnya menjadi menggelikan: ia menari-nari di
bawah bulan dan sebab itu bulan tampak sempoyongan sedangkan
bayang-bayangnya tampak kebingungan. Si aku membayangkan ia minum arak
bersama dengan bulan dan bayangan tubuhnya selagi ia masih sadar. Ia
benar-benar menikmati kemabukannya sebab merasa mempunyai teman yang
sama sekali tidak mengganggunya dan tidak campur tangan dalam urusan
kemabukannya. Ia malah berharap semoga yang terjadi itu nanti juga
terjadi di langit sana, di antara gugusan bintang Bima Sakti. Kalau kita
percaya akan adanya surga, bisa saja kita maknai pertemuan di Bima
Sakti itu adalah pertemuan di akhirat.
Sudah disinggung
sebelumnya, sajak itu berkisah tentang peristiwa sehari-hari tetapi sama
sekali berlainan dengan sajak-sajak yang sudah kita bicarakan
sebelumnya. Sajak itu mengungkapkan betapa nikmatnya mabuk-mabukan,
disampaikan dengan cara yang menggelikan. Si aku menjadi seperti badut
yang memainkan peran sebagai pemabuk, yang melakukan hal-hal yang kita
saksikan sebagai sejenis lelucon. Namun, ada sesuatu yang tersirat:
itulah kehidupan nyata, yang tentu saja tidak harus ditiru tetapi sampai
hari iji masih terus terjadi di sekeliling kita. Sajak itu ditulis
ratusan tahun yang lalu, tetapi perihalnya masih bisa kita hayati samoai
sekarang karena menyampaikan inti kehidupan tentang kebahagiaan yang
bisa dicapai dengan cara yang berbagai-bagai. Kaalu kita tidak mau
menafsirkan sejauh itu, bisa juga sajak itu ditafsirkan sebagai gambaran
luci tentang seorang pemabuk: tafsir sedemikian itu pun sudah bisa
memberikan kesenangan kepada kita. Seperti sudah disampaikan sebelumnya,
puisi tidak harus hanya memberi nasihat, bisa saja memberikan berbagai
jenis gambar atau peristiwa mulai dari yang menyedihkan sampai ke yang
menggelikan.
Sajak lain karya Li Bai tentang mabuk-mabukan akan
saya kutip berikut juga mengandung unsur menggelikan, meskipun yang
membedakan dari dajak sebelumnya adalah adanya sikap hidup yang jelas.
Hidup kita di dunia ini hanya impian belaka. Untuk apa aku mesti kerja
keras?
Biar saja aku mabok seharian, biar saja aku tergeletak dekat
pintu pagar.
Waktu sadar kukejapkan mata ke pepohonan: Seekor burung
kesepian
bernyanyi di sela bunga-hunga. Kutanyakan padanya ini musim
apa: Jawabnya,
"Angin musim semi menyebabkan burung bernyanyi di pohon
mangga."
terharu mendengar nyanyiannya aku pun menarik nafas panjang
Lalu aku menuangkan arak ke mulutku lagi. Aku pun bernyanyi sepuas-puasnya
Lalu aku menuangkan arak ke mulutku lagi. Aku pun bernyanyi sepuas-puasnya
sampai bulan bersinar terang. Waktu laguku selesai, semua
inderaku terasa kaku
Karena hidup ini hanya mimpi katanya, maka
lebih baik mabuk seharian. Apa ini pandangan orang putus asa? Tentu
saja bukan. Ini semacam ironi, ejekan terhadap diri sendiri yang ditulis
ketika penyair sepenuhnya sadar akan hidupnya.
Puisi hanya bisa
ditulis oleh orang yang sepenuhnya sadar sebab ia harus mampu menyusun
kata sedemikian tupa sehingga 'masuk akal'. Orang mabuk, atau berada
dalam situasi trance tidak akan mampu menulis karya sastra yang baik -
tulisannya tentu akan sembarangan dan tanpa makna. Nah, orang yang
sepenuhnya sadar merenungkan apa yang terjadi pada dirinya sendiri
berdasarkan pada pandangan umum yang menyatakan bahwa hidup ini hanya
impian belaka alias tidak nyata. Orang jawa suka bilang bahwa hidup ini
hanya mampir ngombe 'mampir minum'. Jadi, untuk apa kerja keras? Namun
sajak itu tidak mengajak kita untuk tidak melakukan apa pun kecuali
mabuk-mabukan, tetapi untuk menyadari hal itu dengan cara yang juga
menggelikan. Di sinilah prinsip ironi bisa diterapkan, bilang begini
maksudnya begitu. 'Bernyanyi sepuas-puasnya ... sampai inderaku terasa
kaku' tentulah sebuah ironi, ejekan terhadap sikap hidupnya sendiri.
ditulis ulang oleh Rudi Rendra dari buku Bilang Begini Maksudnya Begitu: Sapardi Djoko Damono
0 komentar:
Posting Komentar