Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 08 Januari 2017

SECANGKIR KOPI JON PAKIR: teman ngobrol yang santai namun berbobot




“Usah Kau Kenang Lagi” hayo ada yang familiar dengan kalimat itu? ya benar sekali (tanya sendiri jawab sendiri hehe), itu nama sebuah kedai kopi yang ada dalam karya fiksi Andrea Hirata. Kedai kopi yang menjadi tempat peperangan catur seorang wanita pejuang bernama  Maryamah Karpov dalam upayanya menjengkang kelengkang kekuasaan semena-mena Maatarom,  mantan suaminya.Selain duel menegangkan itu, ternyata banyak hal lagi yang terjadi di kedai kopi Usah Kau Kenang Lagi, mulai dari gossip terpanas tingkat tetangga, sampai ke mancanegara, semuanya diulas semena-mena sekehendaknya.
 Sungguh gile bakau kedudukan dan peran kedai kopi dalam keseharian orang melayu: media berbual arah tak tentu, bermain catur, menjadi tempat rapat, tempat menyamarkan pahit kehidupan dalam pahit secangkir kopi, menghitung satu dua tiga tak terhingga borok penguasa, dan sebagainya.
Bagaimana pula bila kopi itu diracik oleh orang jawa? Atau yang punya kedai kopi itu orang jawa, apakah akan sama isi dan kelaku orang yang duduk di sana, maka untuk menjawab itu, ada baiknya kita membaca sebuah buku karya Emha Ainun Nadjib edisi kedua cetakan pertama pada bulan September 2016 lalu, buku ini beraroma filsafat kehidupan dengan judul yang juga segar Secangkir Kopi Jon Pakir.

Buku ini merekam persoalan rakyat kecil dengan ringkas dan tak membosankan, bagi yang ingin melatih kepekaan dirinya dalam memahami derita lingkungan, bagi yang ingin membasahi hati yang sekian lama kerontang dari memaknai ayat-ayat sosial yang Allah turunkan di depan mata, bolehlah membaca buku ini, maka akan menambah kekayaan batin untuk turut memberi arti dalam hidupnya yang fana lan sementara. Bukankah nabi pernah bersabda “Sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat untuk yang lainnya” wah berkhutbah pula saya, ampun maafkan, bukan bermaksud menggurui tapi dalam upaya saling berwasiat dalam kebenaran terutama untuk diri sendiri.
Banyak persoalan hidup jelata yang jarang menjadi perhatian orang ‘berada’, seperti para pengamen, penjual koran yang berpakaian kumal di pinggir jalan, penjual makanan ringan dan berbagai jenis lainnya (kalau difikir berapalah keuntungan mereka), terkesampingkan dari deru roda keramaian kota, mereka dipandang dari sudut mata bajak laut, sinis dan jahhaaaat,
Nah celah inilah yang menjadi sudut pandang Cak Nun, bergumul dia dalam debu kering mereka, memaknai, membantu mereka dalam menyuarakan ketakberdayaan dihimpit sistem yang kian menjerat, Cak Nun belajar dari terminal Pulogadung Jakarta, Pasar Lampung dan Joyoboyo Surabaya. Cak Nun membantu rakyat jelata untuk bersuara, menyusun protes-protes mereka yang terhimpit di bawah tilam itu, untuk naik ke ruang publik lewat tulisan ringkas namun mendalam tak bikin tenggelam, cocok untuk teman ngopimu sayang, ahay alahai aduhai…
Kalaulah presiden kita saat ini secerdas Cak Nun, mungkin banyak kemungkinan yang baik yang mungkin dapat kita mungkinkan, (mungkinkah kalian bingung?), sebelum kata belusukan dipopulerkan Jokowi presidenmu itu, jauh sudah diamalkan tanpa tipu-tipu pencitraan media oleh orang sejenis Emha, mereka pendengar yang baik keluhan masyarakat, memikirkannya, membawanya dalam sadar dan mimpi yang sadar, akumulasi keluh rakyat itu menjadikan orang semacam Emha ini melahirkan obat penenang, diskusi-diskusi hangat, sindiran-sindiran kocak juga cerdas, dalam mencuci pemikiran sedih orang-orang yang asing di negerinya sendiri.
Teman saya yang pernah ikut kajian Emha Ainun Najib suatu ketika berkata,
“Kapan ya Cak Nun itu tidur?”
“Emang kenapa?”
“Iya, Wong aktivitasnya begitu padat, tiap hari hidupnya di atur masyarakat?”
“Lho, maksudmu itu gimana ya?”
“Bayangkan cak, karyanya banyak, bukunya apalagi, ngasuh pengajian dan diskusi sana-sini, ada Bang-Bang Wetan, Kenduri Cinta, Padhang Bulan, Mocopat, Syafaat, wuiih wuakeh tenan rek, wa MaasyaAllah yang datang kajian juga tidak sedikit, datang dari berbagai penjuru kota, dan anehnya kami kalau ikut kajiannya pada melek semua”
“Iya ya, lah kita keakehan turu hehe”
wes sudah, walau demikian pun Cak Nun tak menutup diri dari kritikan, bahkan dia selalu rindu difitnah, dicerca, dihina, supaya bisa memperbaiki diri, dan terus belajar lagi.
Mungkin gitu sajalah semacam resensi buku baru saya kali ini, semoga hati kita tak mati ya melihat dan memaknai dengan bijak kehidupan yang kian matrealistis dan individualistis, lalu kemudian hadir bersama memberi solusi.  Kaburo maqtan indallah an taqulu mala taf’alun.
Tanjungpinang, hmk, 01/08/2017



0 komentar:

Posting Komentar