SECANGKIR KOPI JON PAKIR: teman ngobrol yang santai namun berbobot
“Usah Kau Kenang Lagi” hayo ada yang familiar dengan kalimat itu?
ya benar sekali (tanya sendiri jawab sendiri hehe), itu nama sebuah kedai kopi
yang ada dalam karya fiksi Andrea Hirata. Kedai kopi yang menjadi tempat
peperangan catur seorang wanita pejuang bernama
Maryamah Karpov dalam upayanya menjengkang kelengkang kekuasaan
semena-mena Maatarom, mantan
suaminya.Selain duel menegangkan itu, ternyata banyak hal lagi yang terjadi di
kedai kopi Usah Kau Kenang Lagi, mulai dari gossip terpanas tingkat tetangga,
sampai ke mancanegara, semuanya diulas semena-mena sekehendaknya.
Sungguh gile bakau kedudukan
dan peran kedai kopi dalam keseharian orang melayu: media berbual arah tak
tentu, bermain catur, menjadi tempat rapat, tempat menyamarkan pahit kehidupan
dalam pahit secangkir kopi, menghitung satu dua tiga tak terhingga borok
penguasa, dan sebagainya.
Bagaimana pula bila kopi itu diracik oleh orang jawa? Atau yang
punya kedai kopi itu orang jawa, apakah akan sama isi dan kelaku orang yang
duduk di sana, maka untuk menjawab itu, ada baiknya kita membaca sebuah buku
karya Emha Ainun Nadjib edisi kedua cetakan pertama pada bulan September 2016
lalu, buku ini beraroma filsafat kehidupan dengan judul yang juga segar
Secangkir Kopi Jon Pakir.
Buku ini merekam persoalan rakyat kecil dengan ringkas dan tak
membosankan, bagi yang ingin melatih kepekaan dirinya dalam memahami derita
lingkungan, bagi yang ingin membasahi hati yang sekian lama kerontang dari
memaknai ayat-ayat sosial yang Allah turunkan di depan mata, bolehlah membaca
buku ini, maka akan menambah kekayaan batin untuk turut memberi arti dalam
hidupnya yang fana lan sementara. Bukankah nabi pernah bersabda
“Sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat untuk yang lainnya” wah
berkhutbah pula saya, ampun maafkan, bukan bermaksud menggurui tapi dalam upaya
saling berwasiat dalam kebenaran terutama untuk diri sendiri.
Banyak persoalan hidup jelata yang jarang menjadi perhatian orang
‘berada’, seperti para pengamen, penjual koran yang berpakaian kumal di pinggir
jalan, penjual makanan ringan dan berbagai jenis lainnya (kalau difikir
berapalah keuntungan mereka), terkesampingkan dari deru roda keramaian kota,
mereka dipandang dari sudut mata bajak laut, sinis dan jahhaaaat,
Nah celah inilah yang menjadi sudut pandang Cak Nun, bergumul dia
dalam debu kering mereka, memaknai, membantu mereka dalam menyuarakan
ketakberdayaan dihimpit sistem yang kian menjerat, Cak Nun belajar dari
terminal Pulogadung Jakarta, Pasar Lampung dan Joyoboyo Surabaya. Cak Nun
membantu rakyat jelata untuk bersuara, menyusun protes-protes mereka yang
terhimpit di bawah tilam itu, untuk naik ke ruang publik lewat tulisan ringkas
namun mendalam tak bikin tenggelam, cocok untuk teman ngopimu sayang, ahay
alahai aduhai…
Kalaulah presiden kita saat ini secerdas Cak Nun, mungkin banyak
kemungkinan yang baik yang mungkin dapat kita mungkinkan, (mungkinkah kalian
bingung?), sebelum kata belusukan dipopulerkan Jokowi presidenmu itu, jauh
sudah diamalkan tanpa tipu-tipu pencitraan media oleh orang sejenis Emha,
mereka pendengar yang baik keluhan masyarakat, memikirkannya, membawanya dalam
sadar dan mimpi yang sadar, akumulasi keluh rakyat itu menjadikan orang semacam
Emha ini melahirkan obat penenang, diskusi-diskusi hangat, sindiran-sindiran
kocak juga cerdas, dalam mencuci pemikiran sedih orang-orang yang asing di
negerinya sendiri.
Teman saya yang pernah ikut kajian Emha Ainun Najib suatu ketika
berkata,
“Kapan ya Cak Nun itu tidur?”
“Emang kenapa?”
“Iya, Wong aktivitasnya begitu padat, tiap hari hidupnya di atur
masyarakat?”
“Lho, maksudmu itu gimana ya?”
“Bayangkan cak, karyanya banyak, bukunya apalagi, ngasuh pengajian
dan diskusi sana-sini, ada Bang-Bang Wetan, Kenduri Cinta, Padhang Bulan,
Mocopat, Syafaat, wuiih wuakeh tenan rek, wa MaasyaAllah yang datang kajian
juga tidak sedikit, datang dari berbagai penjuru kota, dan anehnya kami kalau
ikut kajiannya pada melek semua”
“Iya ya, lah kita keakehan turu hehe”
wes sudah, walau
demikian pun Cak Nun tak menutup diri dari kritikan, bahkan dia selalu rindu
difitnah, dicerca, dihina, supaya bisa memperbaiki diri, dan terus belajar
lagi.
Mungkin gitu sajalah semacam resensi buku baru saya kali
ini, semoga hati kita tak mati ya melihat dan memaknai dengan bijak kehidupan
yang kian matrealistis dan individualistis, lalu kemudian hadir bersama memberi
solusi. Kaburo maqtan indallah an
taqulu mala taf’alun.
Tanjungpinang, hmk, 01/08/2017
0 komentar:
Posting Komentar