Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Rabu, 15 Februari 2017

SETELAH DIKOREKSI

Kemarin ceritanya setoran puisi di Liksitera dan nemu puisi yang keren, dan dapat kami pun semua banyak yang mengamini, coba di baca dulu ya, setelah saya baca puisi ini saya terinspirasi juga untuk buat puisi cerita sejarah, dan lihat juga nanti dua penulis senior dari liksitera mengupas pas puisi yang masih mentah itu, He He selamat membaca,

*Tiga Belas*
_oleh Ika Y suryadi_

Tiada perjamuan malam ini. Juga seniman yang sedia menggores kanvas tentang sunyi perjumpaan. nafas-nafas engah. debu-debu remah. tapi, tanah bebatu ini tetaplah meja panjang, langit berkelip ini adalah atap lapang. meski kami mesti mengendap-endap di tanah Makkah. mendaki terjal 'Aqabah.

Musim ziarah ini. Kami duduk bertiga belas (meski aku yakin kami tak benarbenar tigabelas) : malam kian kelam. rindu makin dendam. Jadi inikah lelaki itu? belasan musim simpang siur di kota kami. kini ia berada akrab bagai air perigi gurun. meski darah di tubuhnya belum lagi kering, tapi wajahnya indah bersuluh purnama. atau memang aku salah memberi nama, benda langit di atas sana.

Jantungku berdesirdesir. tentang apa yang membuatnya terusir dan tersingkir. Ia memandang kami begitu jauh. ke kemah musuh melenguh. ke tempat tiada kami tahui. juga ke sebuah masa yang mesti kami hadapi. Tolong seka resah di matanya. Barangkali ia terkenang petuah Waraqah. sehingga kuharap kelepak angin menerbangkan lelahnya, meski tidak risalah di pundaknya. _usah kau berduka. Ini kami sedia mendengar segala_

Tapi ia kian berbinar. Kudengar ia malah berkata, "Kemarilah." dan aku gegas berdiri. semakin rapat hingga tiada celah bagi angin mencuri dengar. Ketika aku menggapai telapaknya. gelenyar hangat menguar dari dadaku. menyebar sampai ke ujung-ujung kuku. Sungguh aku khawatir ini terlalu membakar dan melukainya. meski di balik cerlang wajahnya, ia malah membagi teduh. katanya, _kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit.._

Kemudian ia memandang kami lekat dan lekat lagi. wahai, ini musim semi tak terperi. angin gurun gemuruh tak bertepi. sungguh badai telah reda hari ini. Tapi, apakah rinduku yang paling nasib. atau kau jua penyapih kasih paling sejati.

Tiada perjamuan malam ini. Juga pengkhianat yang bersembunyi. hanya pemeluk janji yang terberkati. pemilik mimpi hidup bersamanya. di suatu esok, esoknya lagi.

Jambi. Februari 2017

[15/2 11.48] harfan min kitabillah: AKU DAN NYALI KASHVA

Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah

Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius

Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi

diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta

dari pada di sembah mereka
aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian
rindu yang bercahaya
menuju kota cahaya

walau aku padam
membara jua di hatinya
bercahaya di tikai badai ahzab:
parit pemisah antara benar dan salah.
[15/2 17.37] ‪+62 812-1341-6419‬: AKU DAN NYALI KASHVA

_Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah_
Ini aku artikan sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia

_Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius_
= Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan

_Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi_
Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api

_diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta_
= bait ini cukup jelas

_dari pada di sembah mereka_
_aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian_
_rindu yang bercahaya_
_menuju kota cahaya_
= aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah

_walau aku padam_
_membara jua di hatinya_
_bercahaya di tikai badai ahzab:_
_parit pemisah antara benar dan salah._

=meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva)

Jadi yang aku tangkap kurang lebih aku menemani kashva yang punya niat yang kuat menuju kebaikan (cahaya)
Meurutku secara umum bangunan gaya bahasanya belum padu. Antara bait dengan bait lain masih terasa patah-patah. Cerita barangkali memang sepenggal2 tapi bangunan suasana harusnya mengalir lancar. Yang aku tangkap di puisi ini masih berupa cerita yang dialihmediakan. Maksudku masih terkesan cerita diubah deskripsinya sehingga pembaca harus membaca lebih teliti untuk bisa mngerti. Padahal puisi harus lebih dalam dari itu. Mungkin bisa lihat intisari dari masing2 paragraf ini
1. sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia
2. Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan
3. Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api
4. Aku dan kau (kasva) memiliki ‘visi’
5. Aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah
6. meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva?)
Cerita tersebut bagiku masih baru sekelebatan, belum menukik ke dalam dalam mengeksplor konflik batin. Dari judulnya sendiri aku dan nyali kashva hanya terdapat di dua bait awal, selebihnya lebih ke aku. Saranku barangkali jalan cerita bisa dibangun lebih unik dan dalam lagi, mengalir, dan dibangun di atas hubungan emosional antara aku dan kashva. Atau bisa saja malah fokus pada bagimana aku memandang kasva. Seperti yang dilakukan ika di puisi 13. Bangunan perasaannya akan lebih ajeg.
Selain itu diksinya barangkali lebih dioptimalkan lagi. Contoh pada kota cahaya, di situ cahaya sudah jadi metafor, jadi agak lebih ketika harus digunakan untuk menjelaskan rindu juga (yang bercahaya), dan digunakan lagi pada /bercahaya di tikai/. Aku nyala api (bait 3), walau aku padam (bait 6) membara jua (bait 6). Aku gak terlalu sreg dengan membara di sini.

Selanjutnya dapat koreksian juga dari mbak Ika yang Puisinya keren,

[15/2 12.56] Ika Y. Suryadi: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masyaallah. Saya baca baik-baik dulu ya .
[15/2 16.52] Ika Y. Suryadi: Menurut saya.. (Tapi sebelumnya saya mau ngasih tau, saya gak oke banget kok bikin puisinya. 😶 Saya klo nulis pake rasa baru setelah itu teori. Puisi tiga belas kemarin, saya pikirin di kepala sekitar 3-5hari, trus sehari sebelum kumpul, saya tunjukkan naskah kotor saya ke Kak Didin dan Kak yurna, mereka bilang puisi saya = "terlalu banyak yg ingin di ceritakan". Lalu saya pun menghilang dari mereka. Dan saya renungkan puisi saya, revisi sendirian malam2. terus2an.. Sebenernya sampe berdoa minta izin sama Allah.)

Puisimu juga masih terlalu banyak yang ingin diceritakan/dijabarkan, (mungkin belum lama di perem) sehingga yg tertangkap baru detail fisik, detail perasaan batin nya belum terasa, suasana tegang dan kecintaan pada Kashva. Belum ada greget, tapi InsyaAllah akan ada kalo di gali lagi..perasaan si aku lirik, _kan kondisinya kamu jadi dia di puisi itu_.

Abaikan dulu mengapa dan kenapa. Tp Fokus ke apa (yg mau di ajak untuk direnungkan), Siapa yg mau di tonjolkan, perasaan Kashva atau aku. Ohya.. 'Aku' di sini pengikut Kashva atau bagian tubuh dari Kashva?

Puisi sejarah sama aja dg puisi2 yg kamu sering buat, meskipun dia punya alur, tp dia ttp punya perasaan kuat yg ingin ditonjolkan. Terus kalau bisa awal kalimat di puisi langsung menghentak. Sama kayak pas kita buat cerpen. Kemudian, closing-nya kurang bikin termangu. _Parit pemisah antara benar dan salah_ itu terasa terang sekali. Saya secara pribadi suka puisi yg endingnya bikin termangu karena diksinya.

Contohnya Puisi "Belaka" karya Nirwan Dewanto, di kalimat terakhir:
_maka kuwariskan padamu puisi yang lelah oleh hujan ini. Terimalah. Musnahkanlah. Agar puisimu belaka tak sia-sia._

Atau beliau juga pernah buat puisi tentang "The Last Supper" (puisi sejarah_naratif) closing nya malah ucapan Judas, si pengkhianat. Yg bikin pembaca (saya sih) tercenung.

Mungkin itu saja, selamat menyelami perasaan si Aku. Maaf kalau ada salah. Saya baru bisa jadi penyair belum bisa jadi kritikus yg baik 🙏 tapi terimakasih...saya juga belajar banyak dari puisi antum di liksitera.

Sekedar info.., guru saya lebih mahir; Kak Didin.

0 komentar:

Posting Komentar