ZAKIYAH NURMALA
Gigimu sewarna fajar, renggang juga tanggal satu dua, sering manis dunia kau emut sesukanya, namun tatkala kau tersenyum segala ketaksempurnaan gigi itu melengkapi semesta giga penuhi telaga jiwaku yang kerontang begitu tunggu.
Jilbabmu berkibar-kibar, menahan kobar godaan, "Kata Ustadzah rambut ini mahkota yang harus dijaga, kalau tidak nanti jadi jerat, menyeret ayah masuk neraka," begitu mulut kecilmu cerdas menjelaskan. Mata airku tumpah, sebuah kecupan dan peluk hangat berupaya membeli kenikmatan yang takkan pernah terlunasi.
Jilbabmu riang berkibar-kibar, saat kau berlari menuju pintu kelas, dan melambaikan tanganku padaku.
Lalu pada jam pulang sekolah, ayah menantimu seperti biasa dari balik pagar, sambil bertanya-tanya, di masa dewasa kelak apakah kau benar-benar milik tualang? Jika benar maka ayah akan bersiap menjelma ilalang, yang akan menyentuh lentik jejarimu yang gemetar menenangkan rindu: entah pada siapa.
Tembok-tembok rumah pula penuh coretan crayon, gambAr itu bergerak di dalam benak, mereka hidup membesar ikuti jejak umurmu.
Suatu ketika pula kau mengadu tentang nama guru yang membatasi pilihan kata hanya pada: bagai, terkilan, lihat, paham dan sepuh, karennya kau enggan kembali sekolah. Untuk mengobati itu seperti biasa dua lembar karcis komidi putar kita pesan di sebuah pasar malam.
"Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga karcis, tapi masa kecilku telah terperangkap di masa depan.
Kau pernah berkata tentang suatu hal yang mampu membuat bumi berhenti berputar, berubah jadi semangka yang jatuh terburai di lantai putih, bercak merah merata tempat, "Ayah, Kata bu guru, orang yang korupsi, tak layak hidup lagi," dan kau mengemut kembali setangkai lolipop rasa susu stroberi.
"Ayah, kenapa hampir di tiap absensi namaku sering sekali dipanggil terakhir kali?"
Rudi.rendra, Tanjungpinang
0 komentar:
Posting Komentar