Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Jumat, 17 Februari 2017

TULISLAH NAMAKU DALAM NOVEL MASA DEPANMU

Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah keterlambatan. Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok makhluk kerdil, hitam , dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
***
Waktu itu, aku menunggunya di bawah langit yang gelisah, bintang-bintang yang sengaja tak dipasang, seolah menambah lengkap suasana yang akan menunjang sepotong episode hidupku yang seolah juga bagai film, drama, atau sinetron, mirip sekali dengan adegan-adegan dramatis yang membuat penonton berdebar, jelas ceritaku ini tak ada yang menonton kecuali jangkrik, deru sibuk kendaraan lalu lalang, lampu jalanan bagai ucapan selamat tinggal dan katak Bendung tepi drainase  yang  berdoa dengan tergesa-gesa agar hujan luruh segera: ketika aku mengenang semua itu aku tersenyum sendiri.

Dari balik gelap kian mendekat, tubuh itu sangat akrab kukenali, berpakaian sederhana, khas gadis desa yang tak terkontaminasi debu-debu kota, pergaulan tak mengenal batas syariat juga hedonisme. Sesuai rencana di malam itu kami bersepakat untuk menyampaikan beberapa hal yang penting, kabar yang menentukan arah hidup kami selanjutnya. Aku melihat di atas kami ada menjulang pohon ketapang, daunnya juga tak pernah menebak, kemana angin akan membawanya kelak.
“Mu mau pesan apa Re, kali ini biar aku yang traktir”
“Wah, gak usah Ra, simpan saja uangmu untuk keperluan kuliah, tentu kau lebih membutuhkannya,”
“Tak apa Re, aku baru dapat rezeki ini, KTI-ku menang tingkat Universitas, lumayan honornya seharga dua kali bayar SPP,”
“Alhamdulillah, aku juga sudah baca pengumuman lombanya, aku juga ngirim lho, eh gak menang, belum rezeki,”
“Hehehe, kamu gak cocok nulis ilmiah, kamu cocoknya nulis novel, oh iya gimana novelmu sudah rampung belum, aku tak sabar ingin membacanya, awas kalau tak kamu tunaikan permintaanku,”
Langit makin gelap, suara tilawah tenggelam timbul dari corong masjid, bertanda sebentar lagi azan Isya akan berkumandang.
Dua mangkuk Bakso telah terhidang di meja kami, angin malam yang dingin berhembus melewati celah-celah dinding kedai, pas sekali dengan kondisi perut yang belum terisi. Di sela-sela kepedasan, aku penasaran,
“Kabar yang maumu sampaikan ini ya, traktir bakso?”
“Iya, salah satunya saja itu, sekalian pamer menang lomba nulis, hihi gak lah becanda, ini maksudnya mau balas kebaikanmu yang sering nraktir aku kalau tulisan sastramu terbit di Koran,” Sahara melanjutkan sendokan makanannya.
“Trus apa lagi?”
“Nanti ya, setelah selesai makan,”
“Oke”
Orang-orang asing di kota ini lalu lalang, keluar masuk kedai bakso Cak Turmi, waktu seolah terpusat dan melambat pada kami, selebihnya berlalu dengan cepat dan kelebatan cahaya, aku meraba-raba gerangan apa yang aku rasa, kemudian kusimpul pada sebuah kata yang tentunya dapat kau tebak di dalam fikiranmu, tentang apa yang sedang kurasakan.
Semangkuk Bakso telah habis, menyusul kemudian Ara—begitu kupanggil dia--- menyelesaikan semangkuk baksonya, segelas jeruk peras dingin menjadi semacam penutup hidangan yang bersahabat, sejuk mengaliri tenggorokan kami yang sebentar lagi akan menyampaikan berita yang dapat merubah jalan hidup kami,
“Siapa dulu yang harus bicara,”
“Ladies first”
“Tidak bisa begitu, lelaki harus duluan”
“Wah tidak bisa begitu, perempuan duluan atas nama kesopanan”
“Wah sejak kapan begitu aturannya,”
“Ya sudah gini saja kita suit,”
“Ok, sepakat, suit tiga kali ya, yang kalah dia duluan,”
Kedai beserta bala tentaranya: mangkuk kosong, meja rapuh, kursi keropos, juga atapnya menjadi saksi atas kemenanganmu,
“Nah kan kamu duluan, kamu kalah,”
“Hehe baiklah, gini lho Re, aduh gimana ya caranya harus kusampaikan, jadi serba salah,”
“Yaelah, biasanya saja ceplas-ceplos”
Mulutnya terkunci, bibirnya yang indah tak menemukan kata-kata yang mungkin indah yang mampu mewakili perasaanya yang sedang berbunga-bunga saat itu. kulihat tangan kanannya mengeluarkan sebuah kertas tebal dari balik tas tangannya,
“Hemmm, ini, aku ga bisa ngomong, hehe”
“Wah, tinggal bilang saja kok repot”
Tanganku segera mengambil kertas itu. sepertinya aku berhasil menyembunyiakan ekspresi keterkejutan. Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah keterlambatan. Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok makhluk kerdil, hitam ,dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
Seketika angina berhenti berhembus, gerimis turun menitik atap kedai satu, dua, tiga, empat, sepuluh, seratus, lalu lebat tak terhingga. Menyamarkan teriakan hatiku, hujan kian deras digigilkan dingin cemburu.
“Kalau kamu Re, kabar apa?”
Dengan segera pula kuurungkan sebentuk alasan yang sejak sebulan yang lalu telah kupersiapan, dengan sebuah kabar yang ragu kureka-reka,
“Oh, anu gini Ra, minggu depan aku siding skripsi, terus mau ikut tes beasiswa LPDP mau ambil S2 ke Jogja”
Hujan semakin deras menyamarkan jeritan hatiku. Hujan kian deras mengigilkan cemburu.

***
Waktu itu kami baru lulus SMA. Aku tak pernah menyangka bakalan lulus di Universitas yang sama dengannya. Sahara, wanita yang wajahnya senantiasa disirami cahaya purnama, aku sering memperhatikan dirinya, apalagi aku dan dia sering mengerjakan tugas bersama, kami memang tampak seperti sepasang kekasih, tapi orang-orang satu sekolah jelas menyangsikan, si lelaki desa mana mungkin berpasangan dengan titisan dewi purnama.
“Eh lihat apa hayo!, lihat body-ku ya! dasar mesum,” dia menyadari diam-diam aku memperhatikannya begitu lekat.
“Jangan salah paham dulu Ra, aku melihat wajahmu, kamu cantik sekali, alami, cahaya rembulan selalu di wajahmu,”
“Haha, lumayan juga seleramu, jangan berani-beraninya menggodaku, awas kalau berani macam-macam!” dia melirikku dengan lirikan campuran antara manja, menggoda dan mengancam. Aku menahan geli dalam hati.

***
“Apa cita-citamu Re?”
“Aku ingin jadi novelis,”
“Kalau sudah jadi novelis, jangan lupa sama aku ya, dan jangan lupa masukkan namaku dalam novelmu sebagai tokoh,”
Di dalam kapal menuju kampung untuk menghadiri undanganmu, aku duduk di dinding kapal yang tabah walau sering di serang panas dan dingin masin air laut, dari balik jendela kapal aku melihat masa lalu sesosok pemuda begitu lugu untuk mengakui perasaannya, dan dari balik jendela kapal yang meninggalkan buih di buritannya pula, aku masih lekat mengingat permintaan, permintaan yang tak pernah kuhapus dalam naskah novelku yang telah dipinang sebuah penerbitan mayar nasional. Dalam pertengahan tahun ini akan launching bersama beberapa penulis muda lainnya.
Andai halal untuk berandai-andai, maka ingin kuandaikan, kau menang suit dan aku duluan yang menyampaikan kabar hatiku, apakah keputusanmu akan berubah?
***
Di hadapan cermin besar, terpantul sesosok wanita anggun, pandangannya setengah kosong, terpekur menguatkan keputusannya. Perias di belakangnya menambah cantik wajah yang pernah disebut oleh seorang lelaki – yang mungkin lelaki terakhir yang menangis di bumi – bagai dititipi indah cemerlang purnama. Sekelabat kehendak hinggap di tangkai hatinya yang rapuh: cermin ini hendak ambruk dan mengacaukan semua riasan di tubuhnya, tapi ia bayangkan pula seorang lelaki yang diharapkannya dengan sigap menggenggam cermin itu, menahannya dari hancur berkeping-keping: tapi itu seolah maha mustahil.
Perias tersenyum menatap wanita itu lalu menyamarkan garis kesepian yang tampak di bawah matanya, seketika hilang berganti dengan imitasi kebahagiaan.








TENTANG PENULIS
 Harfan Min Kitabillah, lahir di Parit Seratus Sungai Sebesi, Tanjung Batu Kundur Kepulauan Riau pada 30 maret 1991. Bergiat di sanggar teater Segagas Rumpun dan Forum Lingkar Pena. Kumpulan puisinya telah terbit dalam buku: Teduh Bulan Maret (2016)

0 komentar:

Posting Komentar