TULISLAH NAMAKU DALAM NOVEL MASA DEPANMU
Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah keterlambatan.
Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok makhluk kerdil,
hitam , dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
***
Waktu itu, aku menunggunya di bawah langit yang gelisah,
bintang-bintang yang sengaja tak dipasang, seolah menambah lengkap suasana yang
akan menunjang sepotong episode hidupku yang seolah juga bagai film, drama,
atau sinetron, mirip sekali dengan adegan-adegan dramatis yang membuat penonton
berdebar, jelas ceritaku ini tak ada yang menonton kecuali jangkrik, deru sibuk
kendaraan lalu lalang, lampu jalanan bagai ucapan selamat tinggal dan katak
Bendung tepi drainase yang berdoa dengan tergesa-gesa agar hujan luruh
segera: ketika aku mengenang semua itu aku tersenyum sendiri.
Dari balik gelap kian mendekat, tubuh itu sangat akrab kukenali,
berpakaian sederhana, khas gadis desa yang tak terkontaminasi debu-debu kota,
pergaulan tak mengenal batas syariat juga hedonisme. Sesuai rencana di malam
itu kami bersepakat untuk menyampaikan beberapa hal yang penting, kabar yang
menentukan arah hidup kami selanjutnya. Aku melihat di atas kami ada menjulang
pohon ketapang, daunnya juga tak pernah menebak, kemana angin akan membawanya kelak.
“Mu mau pesan apa Re, kali ini biar aku yang traktir”
“Wah, gak usah Ra, simpan saja uangmu untuk keperluan kuliah, tentu
kau lebih membutuhkannya,”
“Tak apa Re, aku baru dapat rezeki ini, KTI-ku menang tingkat
Universitas, lumayan honornya seharga dua kali bayar SPP,”
“Alhamdulillah, aku juga sudah baca pengumuman lombanya, aku juga
ngirim lho, eh gak menang, belum rezeki,”
“Hehehe, kamu gak cocok nulis ilmiah, kamu cocoknya nulis novel, oh
iya gimana novelmu sudah rampung belum, aku tak sabar ingin membacanya, awas
kalau tak kamu tunaikan permintaanku,”
Langit makin gelap, suara tilawah tenggelam timbul dari corong
masjid, bertanda sebentar lagi azan Isya akan berkumandang.
Dua mangkuk Bakso telah terhidang di meja kami, angin malam yang dingin
berhembus melewati celah-celah dinding kedai, pas sekali dengan kondisi perut
yang belum terisi. Di sela-sela kepedasan, aku penasaran,
“Kabar yang maumu sampaikan ini ya, traktir bakso?”
“Iya, salah satunya saja itu, sekalian pamer menang lomba nulis,
hihi gak lah becanda, ini maksudnya mau balas kebaikanmu yang sering nraktir
aku kalau tulisan sastramu terbit di Koran,” Sahara melanjutkan sendokan
makanannya.
“Trus apa lagi?”
“Nanti ya, setelah selesai makan,”
“Oke”
Orang-orang asing di kota ini lalu lalang, keluar masuk kedai bakso
Cak Turmi, waktu seolah terpusat dan melambat pada kami, selebihnya berlalu
dengan cepat dan kelebatan cahaya, aku meraba-raba gerangan apa yang aku rasa,
kemudian kusimpul pada sebuah kata yang tentunya dapat kau tebak di dalam fikiranmu,
tentang apa yang sedang kurasakan.
Semangkuk Bakso telah habis, menyusul kemudian Ara—begitu kupanggil
dia--- menyelesaikan semangkuk baksonya, segelas jeruk peras dingin menjadi
semacam penutup hidangan yang bersahabat, sejuk mengaliri tenggorokan kami yang
sebentar lagi akan menyampaikan berita yang dapat merubah jalan hidup kami,
“Siapa dulu yang harus bicara,”
“Ladies first”
“Tidak bisa begitu, lelaki harus duluan”
“Wah tidak bisa begitu, perempuan duluan atas nama kesopanan”
“Wah sejak kapan begitu aturannya,”
“Ya sudah gini saja kita suit,”
“Ok, sepakat, suit tiga kali ya, yang kalah dia duluan,”
Kedai beserta bala tentaranya: mangkuk kosong, meja rapuh, kursi
keropos, juga atapnya menjadi saksi atas kemenanganmu,
“Nah kan kamu duluan, kamu kalah,”
“Hehe baiklah, gini lho Re, aduh gimana ya caranya harus
kusampaikan, jadi serba salah,”
“Yaelah, biasanya saja ceplas-ceplos”
Mulutnya terkunci, bibirnya yang indah tak menemukan kata-kata yang
mungkin indah yang mampu mewakili perasaanya yang sedang berbunga-bunga saat
itu. kulihat tangan kanannya mengeluarkan sebuah kertas tebal dari balik tas
tangannya,
“Hemmm, ini, aku ga bisa ngomong, hehe”
“Wah, tinggal bilang saja kok repot”
Tanganku segera mengambil kertas itu. sepertinya aku berhasil menyembunyiakan
ekspresi keterkejutan. Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah
keterlambatan. Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok
makhluk kerdil, hitam ,dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
Seketika angina berhenti berhembus, gerimis turun menitik atap
kedai satu, dua, tiga, empat, sepuluh, seratus, lalu lebat tak terhingga.
Menyamarkan teriakan hatiku, hujan kian deras digigilkan dingin cemburu.
“Kalau kamu Re, kabar apa?”
Dengan segera pula kuurungkan sebentuk alasan yang sejak sebulan
yang lalu telah kupersiapan, dengan sebuah kabar yang ragu kureka-reka,
“Oh, anu gini Ra, minggu depan aku siding skripsi, terus mau ikut
tes beasiswa LPDP mau ambil S2 ke Jogja”
Hujan semakin deras menyamarkan jeritan hatiku. Hujan kian deras
mengigilkan cemburu.
***
Waktu itu kami baru lulus SMA. Aku tak pernah menyangka bakalan
lulus di Universitas yang sama dengannya. Sahara, wanita yang wajahnya
senantiasa disirami cahaya purnama, aku sering memperhatikan dirinya, apalagi
aku dan dia sering mengerjakan tugas bersama, kami memang tampak seperti
sepasang kekasih, tapi orang-orang satu sekolah jelas menyangsikan, si lelaki
desa mana mungkin berpasangan dengan titisan dewi purnama.
“Eh lihat apa hayo!, lihat body-ku ya! dasar mesum,” dia menyadari
diam-diam aku memperhatikannya begitu lekat.
“Jangan salah paham dulu Ra, aku melihat wajahmu, kamu cantik
sekali, alami, cahaya rembulan selalu di wajahmu,”
“Haha, lumayan juga seleramu, jangan berani-beraninya menggodaku,
awas kalau berani macam-macam!” dia melirikku dengan lirikan campuran antara
manja, menggoda dan mengancam. Aku menahan geli dalam hati.
***
“Apa cita-citamu Re?”
“Aku ingin jadi novelis,”
“Kalau sudah jadi novelis, jangan lupa sama aku ya, dan jangan lupa
masukkan namaku dalam novelmu sebagai tokoh,”
Di dalam kapal menuju kampung untuk menghadiri undanganmu, aku
duduk di dinding kapal yang tabah walau sering di serang panas dan dingin masin
air laut, dari balik jendela kapal aku melihat masa lalu sesosok pemuda begitu
lugu untuk mengakui perasaannya, dan dari balik jendela kapal yang meninggalkan
buih di buritannya pula, aku masih lekat mengingat permintaan, permintaan yang
tak pernah kuhapus dalam naskah novelku yang telah dipinang sebuah penerbitan
mayar nasional. Dalam pertengahan tahun ini akan launching bersama beberapa
penulis muda lainnya.
Andai halal untuk berandai-andai, maka ingin kuandaikan, kau menang
suit dan aku duluan yang menyampaikan kabar hatiku, apakah keputusanmu akan
berubah?
***
Di hadapan cermin besar, terpantul sesosok wanita anggun,
pandangannya setengah kosong, terpekur menguatkan keputusannya. Perias di
belakangnya menambah cantik wajah yang pernah disebut oleh seorang lelaki –
yang mungkin lelaki terakhir yang menangis di bumi – bagai dititipi indah
cemerlang purnama. Sekelabat kehendak hinggap di tangkai hatinya yang rapuh:
cermin ini hendak ambruk dan mengacaukan semua riasan di tubuhnya, tapi ia
bayangkan pula seorang lelaki yang diharapkannya dengan sigap menggenggam
cermin itu, menahannya dari hancur berkeping-keping: tapi itu seolah maha
mustahil.
Perias tersenyum menatap wanita itu lalu menyamarkan garis kesepian
yang tampak di bawah matanya, seketika hilang berganti dengan imitasi
kebahagiaan.
TENTANG PENULIS
Harfan Min Kitabillah, lahir di Parit Seratus Sungai Sebesi, Tanjung Batu Kundur
Kepulauan Riau pada 30 maret 1991. Bergiat di sanggar teater Segagas Rumpun dan
Forum Lingkar Pena. Kumpulan puisinya telah terbit dalam buku: Teduh Bulan
Maret (2016)
0 komentar:
Posting Komentar