DISETIAP TEMPAT YANG PERNAH ADA KITA
Di masa lalu, kita pernah berbicara tentang masa depan, lalu pembicaraan itu kita hapus dari jejaring sosial dengan ibu jari yang tak pernah tahu rasa melahirkan.
Aku tidak yakin benar bahwa pembicaraan itu benar-benar telah musnah terhapus, aku dengar negara menyimpan setiap pembicaraan, menyadap setiap interaksi, mereka mencurigai rakyat yang telah memberinya minum dan makan, aku bayangkan cumbu rayu, kata-kata privasi telah menjelma jadi bom waktu, yang sewaktu-waktu menunggu pemicunya terinjak oleh lidah sendiri, lalu negara melucuti setiap topeng yang mereka kenakan.
Bank pencurian data pembicaraan itu membuat kita menyepakati sebuah bahasa diam yang berarti penantian. Kata-kata sandi telah kita rumuskan untuk menutupi maksud agar tak direnggut telinga mata negara.
Aku selalu punya alasan lebih dahulu untuk menghubungimu, semua rahasia kalimatku kau anggap mungkin, setiap alasan pula berarti bagai, aku mendengar tanggapanmu yang bermakna kapan, semua kata akhirnya membingungkan kita, menjebak kita pada kota sandi yang berujung pada kesimpulan tak terpecahkan oleh dua belah pihak yang pernah bersepakat.
Di bangku seminar pernikahan, dimana kau dan aku pernah dipertemukan ketaksengajaan, gedung itu kini telah dirobohkan pemerintah daerah, diganti dengan sebuah gedung yang lebih indah, masa itu telah terkubur menjadi pondasi mengukuhkan keringkihan tembok yang mudah sekali runtuh.
Dua pasang kaki silang sepak, enggan mengakui masa akan yang pernah kita setabahi, di tanah yang pernah ada jejak kita, masih terlihat bekas itu, dua tapak kaki saling berhadapan, menyerahkan ketidaksanggupan diri saling menyentuh.
Maka kuizinkan matahari membelah diri jadi dua, terbit dari timur dan barat bersama-sama, lalu condong ke arah angka sebelah dan dua, membentak jasad kita untuk berdekapan, tapi tak seinci pun kita mampu menghangatkan, selain membentuk dua bayangan tubuh yang berpelukan tak bisa menghasilkan apa-apa selain tajam kedinginan.
Semua tempat yang pernah ada kita, sejatinya tak pernah bisa terhapuskan, maka mereka menjadi bisa, membuat hati merasakan sensasi debar bermain judi di meja takdir, kita pula adalah menu yang tak pernah disentuh untuk mengenyangkan kerinduan sendiri, serupa reduksi peribahasa tentang pelangi yang tak berpeluang ada di atas kepala sendiri.
Di setiap tempat yang pernah ada kita. Tak semata cukup dicakup dengan istilah kenangan, mereka hidup tetap hidup tersimpan dalam mega server penyimpanan memuat semua kerut keningan, bila kau rindu berkunjunglah ke taman yang penuh kunang-kunang, kenanglah aku sebagai kelap-kelip yang merawat penglihatanmu dengan air mata. Dan Izinkan aku tidur lelap di matamu.
Rudi Rendra. Tanjungpinang 12/2/2017
0 komentar:
Posting Komentar