Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Jumat, 17 Februari 2017

HAL TERTIPIS DI DUNIA


Salah dan benar: dan yang berdiri di tengah-tengah adalah pembatas, hal tertipis di dunia, siratal mustaqim. Bisa tegak menyentuh langit, atau berbaring seperti pantai, tak terhingga diancam ombak. Mau kau renangi, atau kau titi, semuanya berakhir di gerbang surga, cukup satu syaratnya, hati-hati di jalan ya, mau ke kiri atau ke kanan, atau kiri ke kanan-kananan semuanya masuk surga, asal penuh syaratnya, lurus hati ya.

TULISLAH NAMAKU DALAM NOVEL MASA DEPANMU

Aku tidak kecewa dan juga tidak menyesali sebuah keterlambatan. Tapi rasa-rasanya ada yang mengambang di dalam benak, sesosok makhluk kerdil, hitam , dan gelisah merenangi kerontang jiwaku.
***
Waktu itu, aku menunggunya di bawah langit yang gelisah, bintang-bintang yang sengaja tak dipasang, seolah menambah lengkap suasana yang akan menunjang sepotong episode hidupku yang seolah juga bagai film, drama, atau sinetron, mirip sekali dengan adegan-adegan dramatis yang membuat penonton berdebar, jelas ceritaku ini tak ada yang menonton kecuali jangkrik, deru sibuk kendaraan lalu lalang, lampu jalanan bagai ucapan selamat tinggal dan katak Bendung tepi drainase  yang  berdoa dengan tergesa-gesa agar hujan luruh segera: ketika aku mengenang semua itu aku tersenyum sendiri.

Rabu, 15 Februari 2017

KHUTBAH PERPISAHAN

Sabdamu cahaya matahari menembus celah-celah belukar kala pagi. Cahaya paling sejuk; batangan cemerlang dari awan ke gunung dan bukit berembun. Aku mengendap-endap sembunyi dan menghilangkan diri-- bayang demi bayang, tapi kau selalu mampu menangkap menemukanku dan memulangkanku ke tuju penciptaan. Sentuhanmu sutera rajutan Jibril, mengubahku jadi senjata dan perisai yang tak rela rambutmu luruh walau sehelai.

Hingga wahyu berujung pada telah. Memberi aba-aba. Kau selalu mengingatku lebih dari siapa. Kudengar tiga kali risau itu bergetar; ummati, ummati, ummati.

Pedang yang paling tajam di kota ini terhunus menantang benderang  matahari, mendadak terhempas menerbangkan debu-debu padang pasir, tatkala sebilah firman bagai baru menghujam dan mengupas keras hati.

Kau telah pergi, tanganku masih menggenggam jemarimu, lepas satu-persatu. Semua saksi menjelma sungai, banjir, menguap, kering dan mudah gersang, begitu siklus ini berulang hingga jatuh timbangan raksasa menimpa setiap kepala waspada juga pada rapuh leka.

Luka ini, perih parah. Tiap malam aku membeku. _Wa Allah!_ --- setiap menuju pagi   kau terbit mencairkan aku penyubur gersang di dada harapan.

Aku sesenggukan, memandang pundak-pundak bergetaran, menahun rindu siang ke malam, melangkaui sulbi pada yang terpancar, melebihi akar padi jati saripati.

Tak ada yang datang lagi, setelahmu palsu, cukup seorang pembelah rembulan, juga firman yang belum pernah lebih awal menyentuh hati dan lidah siapapun, hanya kau yang mampu dan Tuhan restu, hanya kau, selebihnya kitab-kitab rawan racun remuk cendawan.

Aku mencintaimu, tapi rindu yang ragu; perasan perasaan kalah, pada tangis sebatang tamar yang merintih kau tinggalkan walau selangkah, walau sebentar menuju mimbar masa depan

ZAKIYAH NURMALA

Gigimu sewarna fajar, renggang juga tanggal satu dua, sering manis dunia kau emut sesukanya, namun tatkala kau tersenyum segala ketaksempurnaan gigi itu melengkapi semesta giga penuhi telaga jiwaku yang kerontang begitu tunggu.

Jilbabmu berkibar-kibar, menahan kobar godaan, "Kata Ustadzah rambut ini mahkota yang harus dijaga, kalau tidak nanti jadi jerat, menyeret ayah masuk neraka," begitu mulut kecilmu cerdas menjelaskan. Mata airku tumpah, sebuah kecupan dan peluk hangat berupaya membeli kenikmatan yang takkan pernah terlunasi.
Jilbabmu riang berkibar-kibar, saat kau berlari menuju pintu kelas, dan melambaikan tanganku padaku.

Lalu pada jam pulang sekolah, ayah menantimu seperti biasa dari balik pagar, sambil bertanya-tanya, di masa dewasa kelak apakah kau benar-benar milik tualang? Jika benar maka ayah akan bersiap menjelma ilalang, yang akan menyentuh lentik jejarimu yang gemetar menenangkan rindu: entah pada siapa.

Tembok-tembok  rumah pula penuh coretan crayon, gambAr itu bergerak di dalam benak, mereka hidup membesar ikuti jejak umurmu.

Suatu ketika pula kau mengadu tentang nama guru yang membatasi pilihan kata hanya pada: bagai, terkilan, lihat, paham dan sepuh, karennya kau enggan kembali sekolah. Untuk mengobati itu seperti biasa dua lembar karcis komidi putar kita pesan di sebuah pasar malam.
"Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga karcis, tapi masa kecilku telah terperangkap di masa depan.

Kau pernah berkata tentang suatu hal yang mampu membuat bumi berhenti berputar, berubah jadi semangka yang jatuh terburai di lantai putih, bercak merah merata tempat, "Ayah, Kata bu guru, orang yang korupsi, tak layak hidup lagi," dan kau mengemut kembali setangkai lolipop rasa susu stroberi.

"Ayah, kenapa hampir di tiap  absensi  namaku sering sekali dipanggil terakhir kali?"

Rudi.rendra, Tanjungpinang

DISETIAP TEMPAT YANG PERNAH ADA KITA

Di masa lalu, kita pernah berbicara tentang masa depan, lalu pembicaraan itu kita hapus dari jejaring sosial dengan ibu jari yang tak pernah tahu rasa melahirkan.

Aku tidak yakin benar bahwa pembicaraan itu benar-benar telah musnah terhapus, aku dengar negara menyimpan setiap pembicaraan, menyadap setiap interaksi, mereka mencurigai rakyat yang telah memberinya minum dan makan, aku bayangkan cumbu rayu, kata-kata privasi telah menjelma jadi bom waktu, yang sewaktu-waktu menunggu pemicunya terinjak oleh lidah sendiri, lalu negara melucuti setiap topeng yang mereka kenakan.

Bank pencurian data pembicaraan itu membuat kita menyepakati sebuah bahasa diam yang berarti penantian. Kata-kata sandi telah kita rumuskan untuk menutupi maksud agar tak direnggut telinga mata negara.

Aku selalu punya alasan lebih dahulu untuk menghubungimu, semua rahasia kalimatku kau anggap mungkin, setiap alasan pula berarti bagai, aku mendengar tanggapanmu yang bermakna kapan, semua kata akhirnya membingungkan kita, menjebak kita pada kota sandi yang berujung pada kesimpulan tak terpecahkan oleh dua belah pihak yang pernah bersepakat.

Di bangku seminar pernikahan, dimana kau dan aku pernah dipertemukan ketaksengajaan, gedung itu kini telah dirobohkan pemerintah daerah, diganti dengan sebuah gedung yang lebih indah, masa itu telah terkubur menjadi pondasi mengukuhkan keringkihan tembok yang mudah sekali runtuh.

Dua pasang kaki silang sepak, enggan mengakui masa akan yang pernah kita setabahi, di tanah yang pernah ada jejak kita, masih terlihat bekas itu, dua tapak kaki saling berhadapan, menyerahkan ketidaksanggupan diri saling menyentuh.

Maka kuizinkan matahari membelah diri jadi dua, terbit dari timur dan barat bersama-sama, lalu condong ke arah angka sebelah dan dua, membentak jasad kita untuk berdekapan, tapi tak seinci pun kita  mampu menghangatkan, selain membentuk dua  bayangan tubuh  yang berpelukan tak bisa menghasilkan apa-apa selain tajam kedinginan.

Semua tempat yang pernah ada kita, sejatinya tak pernah bisa terhapuskan, maka mereka menjadi bisa, membuat hati merasakan sensasi debar bermain judi di meja takdir, kita pula adalah menu yang tak pernah disentuh untuk mengenyangkan kerinduan sendiri, serupa reduksi peribahasa tentang pelangi yang tak berpeluang ada di atas kepala sendiri.

Di setiap tempat yang pernah ada kita. Tak semata cukup dicakup dengan istilah kenangan, mereka hidup tetap hidup tersimpan dalam mega server penyimpanan memuat semua kerut keningan, bila kau rindu berkunjunglah ke taman yang penuh kunang-kunang, kenanglah aku sebagai kelap-kelip yang merawat penglihatanmu dengan air mata. Dan Izinkan aku tidur lelap di matamu.

Rudi Rendra. Tanjungpinang 12/2/2017

SETELAH DIKOREKSI

Kemarin ceritanya setoran puisi di Liksitera dan nemu puisi yang keren, dan dapat kami pun semua banyak yang mengamini, coba di baca dulu ya, setelah saya baca puisi ini saya terinspirasi juga untuk buat puisi cerita sejarah, dan lihat juga nanti dua penulis senior dari liksitera mengupas pas puisi yang masih mentah itu, He He selamat membaca,

*Tiga Belas*
_oleh Ika Y suryadi_

Tiada perjamuan malam ini. Juga seniman yang sedia menggores kanvas tentang sunyi perjumpaan. nafas-nafas engah. debu-debu remah. tapi, tanah bebatu ini tetaplah meja panjang, langit berkelip ini adalah atap lapang. meski kami mesti mengendap-endap di tanah Makkah. mendaki terjal 'Aqabah.

Musim ziarah ini. Kami duduk bertiga belas (meski aku yakin kami tak benarbenar tigabelas) : malam kian kelam. rindu makin dendam. Jadi inikah lelaki itu? belasan musim simpang siur di kota kami. kini ia berada akrab bagai air perigi gurun. meski darah di tubuhnya belum lagi kering, tapi wajahnya indah bersuluh purnama. atau memang aku salah memberi nama, benda langit di atas sana.

Jantungku berdesirdesir. tentang apa yang membuatnya terusir dan tersingkir. Ia memandang kami begitu jauh. ke kemah musuh melenguh. ke tempat tiada kami tahui. juga ke sebuah masa yang mesti kami hadapi. Tolong seka resah di matanya. Barangkali ia terkenang petuah Waraqah. sehingga kuharap kelepak angin menerbangkan lelahnya, meski tidak risalah di pundaknya. _usah kau berduka. Ini kami sedia mendengar segala_

Tapi ia kian berbinar. Kudengar ia malah berkata, "Kemarilah." dan aku gegas berdiri. semakin rapat hingga tiada celah bagi angin mencuri dengar. Ketika aku menggapai telapaknya. gelenyar hangat menguar dari dadaku. menyebar sampai ke ujung-ujung kuku. Sungguh aku khawatir ini terlalu membakar dan melukainya. meski di balik cerlang wajahnya, ia malah membagi teduh. katanya, _kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit.._

Kemudian ia memandang kami lekat dan lekat lagi. wahai, ini musim semi tak terperi. angin gurun gemuruh tak bertepi. sungguh badai telah reda hari ini. Tapi, apakah rinduku yang paling nasib. atau kau jua penyapih kasih paling sejati.

Tiada perjamuan malam ini. Juga pengkhianat yang bersembunyi. hanya pemeluk janji yang terberkati. pemilik mimpi hidup bersamanya. di suatu esok, esoknya lagi.

Jambi. Februari 2017

[15/2 11.48] harfan min kitabillah: AKU DAN NYALI KASHVA

Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah

Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius

Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi

diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta

dari pada di sembah mereka
aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian
rindu yang bercahaya
menuju kota cahaya

walau aku padam
membara jua di hatinya
bercahaya di tikai badai ahzab:
parit pemisah antara benar dan salah.
[15/2 17.37] ‪+62 812-1341-6419‬: AKU DAN NYALI KASHVA

_Ada debar yang memaksa Kashva mengeluarkan sekeping rapuh inti hati: menanggalkan Persia dari jubahnya yang  berwarna tanah_
Ini aku artikan sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia

_Niatnya pancang ratusan alif menopang berat kuil Gunung Sitan, akibat dari ucapan yang hampir memadamkan seribu tahun nyali api Darius_
= Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan

_Tapi aku nyala api yang gentar gemetar membakar Tuhan. Bawa aku pada nubuat kenabian, pisahkan aku dari bayang-bayang majusi_
Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api

_diantara semua mata yang hadir di Naeruza. Hanya aku dan kau yang mampu melihat jauh ke masa depan Astavat-ereta_
= bait ini cukup jelas

_dari pada di sembah mereka_
_aku memilih menemanimu menerangi terjal pelarian_
_rindu yang bercahaya_
_menuju kota cahaya_
= aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah

_walau aku padam_
_membara jua di hatinya_
_bercahaya di tikai badai ahzab:_
_parit pemisah antara benar dan salah._

=meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva)

Jadi yang aku tangkap kurang lebih aku menemani kashva yang punya niat yang kuat menuju kebaikan (cahaya)
Meurutku secara umum bangunan gaya bahasanya belum padu. Antara bait dengan bait lain masih terasa patah-patah. Cerita barangkali memang sepenggal2 tapi bangunan suasana harusnya mengalir lancar. Yang aku tangkap di puisi ini masih berupa cerita yang dialihmediakan. Maksudku masih terkesan cerita diubah deskripsinya sehingga pembaca harus membaca lebih teliti untuk bisa mngerti. Padahal puisi harus lebih dalam dari itu. Mungkin bisa lihat intisari dari masing2 paragraf ini
1. sebagai keresahan hati kashva meninggalkan persia
2. Kashva memiliki niat yang kuat, barangkali karena janji yang telanjur diucapkan
3. Tapi aku adalah hamba Allah yang tidak menyembah api
4. Aku dan kau (kasva) memiliki ‘visi’
5. Aku lebih memilihmu menuju cahaya meski susah
6. meskipun akhirnya aku mati/kalah/lemah, aku akan tetap berarti bagimu (kashva?)
Cerita tersebut bagiku masih baru sekelebatan, belum menukik ke dalam dalam mengeksplor konflik batin. Dari judulnya sendiri aku dan nyali kashva hanya terdapat di dua bait awal, selebihnya lebih ke aku. Saranku barangkali jalan cerita bisa dibangun lebih unik dan dalam lagi, mengalir, dan dibangun di atas hubungan emosional antara aku dan kashva. Atau bisa saja malah fokus pada bagimana aku memandang kasva. Seperti yang dilakukan ika di puisi 13. Bangunan perasaannya akan lebih ajeg.
Selain itu diksinya barangkali lebih dioptimalkan lagi. Contoh pada kota cahaya, di situ cahaya sudah jadi metafor, jadi agak lebih ketika harus digunakan untuk menjelaskan rindu juga (yang bercahaya), dan digunakan lagi pada /bercahaya di tikai/. Aku nyala api (bait 3), walau aku padam (bait 6) membara jua (bait 6). Aku gak terlalu sreg dengan membara di sini.

Selanjutnya dapat koreksian juga dari mbak Ika yang Puisinya keren,

[15/2 12.56] Ika Y. Suryadi: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masyaallah. Saya baca baik-baik dulu ya .
[15/2 16.52] Ika Y. Suryadi: Menurut saya.. (Tapi sebelumnya saya mau ngasih tau, saya gak oke banget kok bikin puisinya. 😶 Saya klo nulis pake rasa baru setelah itu teori. Puisi tiga belas kemarin, saya pikirin di kepala sekitar 3-5hari, trus sehari sebelum kumpul, saya tunjukkan naskah kotor saya ke Kak Didin dan Kak yurna, mereka bilang puisi saya = "terlalu banyak yg ingin di ceritakan". Lalu saya pun menghilang dari mereka. Dan saya renungkan puisi saya, revisi sendirian malam2. terus2an.. Sebenernya sampe berdoa minta izin sama Allah.)

Puisimu juga masih terlalu banyak yang ingin diceritakan/dijabarkan, (mungkin belum lama di perem) sehingga yg tertangkap baru detail fisik, detail perasaan batin nya belum terasa, suasana tegang dan kecintaan pada Kashva. Belum ada greget, tapi InsyaAllah akan ada kalo di gali lagi..perasaan si aku lirik, _kan kondisinya kamu jadi dia di puisi itu_.

Abaikan dulu mengapa dan kenapa. Tp Fokus ke apa (yg mau di ajak untuk direnungkan), Siapa yg mau di tonjolkan, perasaan Kashva atau aku. Ohya.. 'Aku' di sini pengikut Kashva atau bagian tubuh dari Kashva?

Puisi sejarah sama aja dg puisi2 yg kamu sering buat, meskipun dia punya alur, tp dia ttp punya perasaan kuat yg ingin ditonjolkan. Terus kalau bisa awal kalimat di puisi langsung menghentak. Sama kayak pas kita buat cerpen. Kemudian, closing-nya kurang bikin termangu. _Parit pemisah antara benar dan salah_ itu terasa terang sekali. Saya secara pribadi suka puisi yg endingnya bikin termangu karena diksinya.

Contohnya Puisi "Belaka" karya Nirwan Dewanto, di kalimat terakhir:
_maka kuwariskan padamu puisi yang lelah oleh hujan ini. Terimalah. Musnahkanlah. Agar puisimu belaka tak sia-sia._

Atau beliau juga pernah buat puisi tentang "The Last Supper" (puisi sejarah_naratif) closing nya malah ucapan Judas, si pengkhianat. Yg bikin pembaca (saya sih) tercenung.

Mungkin itu saja, selamat menyelami perasaan si Aku. Maaf kalau ada salah. Saya baru bisa jadi penyair belum bisa jadi kritikus yg baik 🙏 tapi terimakasih...saya juga belajar banyak dari puisi antum di liksitera.

Sekedar info.., guru saya lebih mahir; Kak Didin.