1. RINDU
Rindu adalah deburan ombak pantai
untuk berlabuhnya bahtera yang damai
rindu adalah kemerlip bintang angkasa
untuk sebinar syukur mata yang jelita
rindu adalah sekuntum mawar di taman
untuk semerbak mekar yang menawan
rindu adalah tentramnya senja
untuk seterang fajar yang manja
rindu adalah lelantun firman
untuk syafaat al-qur'an yang dijanjikan
rindu adalah setianya menahan
untuk penuhi jamuan Ar-Royan
rindu adalah sekejapnya sedekap
untuk selamanya ganjaran yang diharap
rindu adalah setulusnya berzakat
untuk sebentuk hati yang melepas karat
rindu adalah mabrurnya berhaji
untuk semegah istana surgawi
rindu adalah tak jemunya menanti
untuk sebuah kapan yang pasti.
Tanjungpinang, 14 Ramadhan 1437 H
2. SEGALA DARI-MU
Derita
apakah yang Kau cipta?
izinkan
kumiliki salah satunya
agar mampu
kupahami, segores luka dari-Mu
tetap harus
larut dalam lambungku
lambang
keabadian-Mu.
air mata
siapakah yang Kau alirkan?
izinkan aku
membasuh dosa di situ
agar mampu
kurenangi, ruang raung buta
sunyi hatiku
melihat-Mu, Kau mata matiku.
berselindung
hamba di alam gelap
begitu
terang bagi-mu setiap harap
begitu mudah
pula katup tingkap tersingkap.
segalanya
jika itu
dari-Mu
tak mau
lelah aku menolaknya.
Tanjungpinang, 2015
3. KEMOCENG
Pada bait puisi ini
kau memilih jadi kemoceng
bagi diriku yang debu
dalam cinta kita
kau putuskan menjadi kubur
bagi diriku yang bangkai
agar serbukku tak bercampur deru
agar busukku tidak mengganggu
agar kita sempurna menyatu.
Tanjungpinang, 2015
4. DEBU
Aku debu
kau sepatu
takdir adalah tukang semir
yang memisahkan aku dan kau
sungguh aku cuma debu
harus menepi
dari engkau yang kuimpikan
Tanjungpinang, 2015
5. DI BALIK PINTU DARURAT
PESAWAT TERBANG
Duduk di seat 17B di balik pintu darurat pesawat terbang
kutaburkan semua impianku di atas awan
berkecambahlah menuju singgasana Tuhan
Tanjungpinang, 10 Oktober 2016
6. IZINAZAN
Angin mengetuk tingkap-tingkap
terbukalah hati yang terkatup
kelilip mata diserbu serdadu debu
menyumpal pandang para babu
rantai membelenggu punuk
di lutut duniawi mereka takluk
izinkan Tuhan bicara:
jalan masuk satu-satunya
adalah buka pintu dan keluarlah menuju tempat terendah rahim basah
Tanjungpinang, 14 Oktober 2016
7. SEPOTONG PAGI DI JAKARTA
Kerdip
matamu tersembul malu-malu.
Lama-lama
aku semakin rindu.
Kau datang
menawarkan terang lantas lekas berlalu.
Gemelebat
pekat malam teramat jarak.
Seribu jeruk
serbu kecapku tak jua sentak.
Pagiku
tersekat dengan selembar kaca bening.
Benang yang tak cukup menambal sangkak nan
beranak-pinak.
Pagiku di
sebuah hotel mewah dengan seporsi sarapan.
Harapan tak
pasti bagi kesembuhan stroke: jejal roda jalanan.
Jakarta, 12
Oktober 2016
8. MEGA MENDUNG
matahari
tidak tampak pagi ini
kontak
lampu-lampu kantor dinyalakan
aku berdiri
di ruang pertemuan
memandang
bayangan tubuhku berceceran
aku tak
menyalahkan lampu-lampu
walau
seharusnya bukan dia yang layak mencipta bayanganKU.
Tanjungpinang,
6 Oktober 2016
9. MEMBACA PETA
59:21
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud
gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
duhai hatiku, mengapa kau lebih agung dari gunung?
di dalam hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu. Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.
*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai
10. DUDUK MENGHADAP PENYENGAT SAAT
SENJA
Senja itu aku duduk menghadap pulau Penyengat.
Aku melihat matahari menabur hamburkan pecahan kaca di atas permukaan laut.
Terguncang dimainkan anak-anak ombak yang riang digoda lapar
lambung-lambung kapal.
Telah kuizinkan benang-benang senja menyulam magrib menjadi
gulita.
Menyelimuti sebatang butuh tubuhku.
Aku selalu menantang lautan untuk mengetahui mampukah kedalamnya
menampung rahasia lebih banyak dari yang Engkau rahasiakan?
Aku juga selalu menantang lautan
untuk membuktikan tentang siapa diantara kami
yang palung betah memahat ketenangan.
Allahuakbar... Allahuakbar...
sahut-menyahut panggilan Tuhan
semua orang ingin jawaban
segenggam pasir yang jawab seruan.
Tanjungpinang, 6 oktober 2016
11. TUANGKAN SECANGKIR KOPI LAGI
" God
Sees The Truth, But Waits." -Leo Tolstoy
00:04. Malam makin tegak di ubun-ubun. Kembang
matahari di sebalik rimbun daun. Kawan aku mengenangmu malam ini, menyebut
namamu, menceritakan pada sunyi tentang perjuangan mimpi kita, adakah kau
tersedak malam ini? Akulah yang membuatmu berkata, "Siapalah yang
menyebut-nyebut namaku?,"
usah kau marah, aku ingin mendengar ceritamu, aku
janji tak akan menyela ceritamu sebelum usai, cerita saja sepuas-puasmu,
mungkin tentang pertengkaran kita, hal konyol yang mengundang tawa, sakit yang
kau rasa, setelah usai itu semua, aku akan bertanya satu hal, "Sepertinya
kita butuh satu cangkir kopi lagi, untuk menuntaskan reuni malam ini," di
kafe itu tembang Resah : Payung Teduh mencemaskan ketentraman kita.
Tanjungpinang, 2016
12. TIDAK SEMUA PERTANYAAN BUTUH
JAWABAN
kau merahasiakan keinginanmu menemuiku sekali lagi, baiklah
aku telah belajar sangat baik berpura-pura menjadi tuli
sembunyi di membran timphaniku sendiri
berbenturan dengan tak terhingga
suara ingar-bingar berisik kota
kau selalu merasa lebih baik sembunyi di balik bulan dari pada di balik
daunan
baiklah aku telah belajar sangat tekun untuk menenggelamkan lautan
ke dalam mataku memantulkan cahaya rembulan dan wajahmu
hingga lelah bersandar di sampan nelayan
mataku merah menahan menahun
asin air mata lautan yang
tumpah tak tertahan
berikan aku alasan untuk tetap berada di titik pertemuan.
tapi kau masih saja menyatakan hal yang sama
tidak semua kenapa menyatu dengan karena
Tanjungpinang, 20 Oktober 2016
13. UBAN-UBAN DI DEPAN TOKO BUKU
Jalanan kian ramai. Lampu-lampu kota berbaris nyala bagai mata serdadu.
Kuning magrib warna cahaya kendaraan masuk ke kornea mataku. Silau. Roda-roda
berlomba untuk kembali ke bagasinya.
Lampu lalu lintas silih bergantian menyala, kadang merah mereka berhenti,
kadang kuning mereka menekan klakson, setelah hijau mereka menderu laju. Mataku
yang miopi membuat lemparan cahaya yang masuk tak tepat jatuh pada titik
retina, itu membuat bayangan cahaya yang masuk bagai taburan kunang-kunang,
persis bayangan masa kecil yang kembali terkenang-kenang.
Waktu itu sekitar jam 10 malam, waktu yang tepat untuk penjaga toko buku
menutup pintu. Seperti yang sudah-sudah ini kali ketiga aku melihat seorang kakek-kakek
menenteng sebuah gitar, sebatang rokok terselip di bibirnya yang merah hitam,
entah lagu apa yang ia senandungkan, aku selalu memperhatikannya, entah untuk
siapa lagu itu ia nyanyikan.
Seorang pemuda membawa sebuah bungkusan hitam berjalan di hadapannya, dan
menyodorkan bungkusan itu, kubaca gerak bibir kakek itu tak lain adalah ucapan
terimakasih. Secara tak langsung pemuda itu memberiku bingkisan tentang
sejuknya belaskasih. Tak kusangka tukang parkir di samping motorku menjatuhkan
beberapa butir air mata. 1000 rupiah uang parkir yang kuberi, ia berikan
pula pada kakek itu. Lagi-lagi kubaca bibir tua itu berucap terimakasih.
Gilagila aku bisa apa?
Kunyalakan motor lagendaku yang tak lengkap surat-suratnya itu, dan kuraba
dada yang tak bernyali ini.
Kukatup jaket lusuh yang terbuka nganga di tubuhku ini, dan kudengar angin
sejuk mengutip firman Tuhan, "Kelak dari ubun-ubunmu akan Kucabut nyawa,
mau dengan kasar apa lembut. Itu terserah Siapa."
Sepanjang jalan pulang aku mengingat-ingat. Masihkah kusimpan timbangan
berat badan hasil menang undian jalan sehat minggu pagi kemarin? Kalau masih
akan kuhadiahkan untuk kakek itu, barangkali berguna untuk menimbang bobot
berat kesombongan yang lalu lalang di hadapannya.
Bintan Center, Batu 9 Tanjungpinang, 14 Oktober 2016
14. PANTUN KEHIDUPAN
dalam dada hampa bernaung
duduk melamun di tepi tingkap
jaket dan gigil selalu merenung
mengapa pagi datang sekejap
jambu matang cuma pelengkap
buah kates dibagi belah
embun datang cuma sekejap
setelah menetes tak lagi indah
cermai beserak gugur ditangkap
buat manisan raya menjelma
ada tirai di balik tingkap
halangi jeling intai purnama
jangan kira tak ada buaya
danau tenang tidak berkocak
perahu dan kiau selalu bertanya
makna apa deburan ombak
nelayan pulang membawa kurau
hendak di jual ke kedai depan
dunia tempat bersenda gurau
terlampau hanyut tersesat badan
ke balai membawa pelam
pelam di makan bawah beringin
alamat bahtera akan karam
bila nahkoda tak paham angin
15. JEMBATAN
Setiap keserasiaan adalah jembatan
antara tebing dan jurang.
Mari titi setiap tatih
agar tiba kita
di puncak pedih.
Tanjungpinang, 21 September 2016
16. MASA KECIL KEDEWASAAN
Penjaga karcis itu mengizinkan seorang murid yang
masih berseragam merah putih memasuki waterboom, setelah merekam nama
guru yang membuatnya dirinya lembab walau setakat berdiri di depan kelas,
"Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga itu mempersilahkannya.
Tapi sayang masa kecilnya telah terperangkap di masa depan.
Tanjungpinang, 2015.
17. KEBAHAGIAAN
Langit sering bertukar baju
baju biru baru saja kusetrika
dan dia memakainya
aku tak mengenakan apa-apa
selain selembar mendung.
Sore ini langit ingin ke pesta
meminjam celana robek
yang kusampirkan di ranting
tragedi dan fitnah duniawi.
Langit mengurung diri di atas sana
tak jadi menuju pesta. Dia membuka tirai
memperhatikan orang-orang yang
menyebut dirinya kebahagiaan
Bahagia menurut mereka adalah
jalan keluar dengan masuk ke rumah
menutup diri dari pertemuan dan
mengurangi pertemanan. Sesekali
membuka jendela untuk menyapa
tetangga atau penjual sayur agar
tak tergiur dengan perbagai macam
Tagihan dan tuntutan.
Berbagai perihal antah dari luar
mudah sekali menerobos masuk
mencampur warna-warni dinding
hati. Mengubah posisi atas ke bawah
merubah porselen indah jadi jatuh
cengeng dan mudah pecah.
Poster berisi ancaman. Spanduk
bertuliskan janji: tipuan. Sajadah
tersadai, menipis di belai badai.
Tanjungpinang, 2015
18. APALAH DAYAKU
Tiap kali aku menujumu
kau menjelma api
aku kayu mati tiada daya
luluh terburai menjadi abu.
Tiap kali aku menujumu
kau menjelma hujan
apalah dayaku segumpal awan
terusir dari mewahnya langit.
Setidaknya kita pernah unggun
walau hanya sekejap gulita
setidaknya kita pernah bara
saat mereka bertepuk “Api kita sudah menyala.”
Karenamu aku mengerti cinta
adalah api yang menyalakan seluruh raga
lalu lenyap diterkam badai.
Tanjungpinang, 2016
19. TEMBANG PETANG
Petang melambai di pucuk ilalang
gelap perlahan menelan padang
lampu-lampu kendaraan berlalu lalang
mereka semua ingin aku dengarkan
tapi aku hanya ingin mendegarkanmu
kota ini memagari luar dan dalam
kota ini membatasi kemarin dan esok
kota ini memisahkan dekat dan jauh
kota ini tembok aku dan kau
padahal ini kota atap kita
diantara kata tak terucap
keganjilan kita tak kunjung genap
mengganjal diseparuh tak lengkap
Tanjungpinang, 2016
19. KAU MENOLAK AKU MENERIMA
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di setiap sempat dan tempat. Dalam
terali hujan kau memasung langkah. Dalam tumpukan buku kau memasang sajak. Di
deretan bangku segala raung tunggu.
Di sepanjang jalan sepi. Di dalam mangkuk kecil para pengemis menadah
koin-koin sisa belanja swalayan. Menyaru juga di getar gitar para pengamen.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di atas kolam kota juga di gemerlap
papan reklame. Aku menerima bayanganmu tercetak di permukaan kopiku menyatu
dengan kafein tebaik. Kantuk adalah kontak untuk memimpikanmu menghamburkan
aroma kopi mahal di alir darahku.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu tercetak di cermin retak menempel
di kacamataku. Huruf-huruf di buku tak ingin dibaca malah bersengaja membentuk
wajahmu. Semua gambar di dinding kamar berubah jadi wajahmu. Setiap lagu yang
kuputar mengapa jadi zikir namamu. Setiap baju yang kupakai mengapa selaras
dengan warna yang kau suka.
Kau tetap kukuh menolak. Aku tatap menerima gigil gerimis waktu di depan
rumahmu membungkusnya jadi bingkisan kado pernikahan kenangan kita.
Tanjungpinang, 20 Oktober 2016
20. MASA DEPAN PAGI
Jika pada potongan langit kau menemukan pagi di tempat pembaringan,
bangunkan ia katakan padanya tentang ayam yang akan mematuk kepingan rezekinya.
Pagi cerah dan punya keinginan untuk membawa kau ke kelopak terik, menuju gurau
senja. Malam bertandang untuk mengecupkan cinta dan mengucapkan selamat
tinggal. Besok pagi tak lagi sama. Ia naik ke langit untuk menghadap maha
pengadilan. Ia bersaksi atas namamu. Kau harus lunasi segala perbuatan pada
pagi dan beribu kembarannya yang telah kau kenakan di raga kesempatan. Baju
yang nyaman dan tidak kesempitan.
Pada suatu sudut kota, kau membujuk pagi yang merajuk apapun ia tak mau tak
ubahnya ia bagai seorang anak kecil yang meraung-raung meminta dibelikan
mobil-mobilan. Pagi teramat dingin ia ingin kau hangatkan dengan pekerjaan yang
membuatnya berkeringat. Sehat dan ceria.
Besok di sudut langit, kau bangkit dan menemukan pagi di meja makanmu.
Hapus segala tanggal merah yang kau marahi sendiri di lembur ramah kalender.
Jadilah wewangian taman. Izinkan pagi membuka seluruh panca indramu bekerja.
Gandeng pagi melewati seribu pembaringanmu. Juga jam-jam muram yang senantiasa
bergerak konstan. Pagi menghilang saat kau sudah kembali. Pagi berganti selalu
menyisakan penyesalan.
Ia tak akan merobek catatan langit bila tak kau yang menitahkan
Kaulah penguasa kepingan pagi. Kau yang mampu mengajaknya ke masa depan.
Tanjungpinang, 2016
21. RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik terakhir
rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang, sesekali
gelombang gelembung mulut ikan sesak syukur rebutan
angin berbisik berisik di daun jendela gugurkan selembar hijau anganan
Tanjungbatu, 18 Oktober 2016
22. SETANGKAI TAKDIR
Takdir siapa
itu yang berenang jauh ke tengah samudra!
Terombang-ambing
dipecudangi rahasia, KEDALAMAN LANGIT.
Tanjungpinang,
8 Oktober 2016
23. TINTA CINTA
KAU senantiasa basah
dalam kenangan
menjelma kering
cacat catatan
menjadi lembab di lentik sembab bulu matamu
Kasih engkaulah tinta
tak pernah kerontang
suburkan bunga tidurku.
24. BETAPA
: Hayati
Betapa kata aku, mengataimu.
Betapa lata aku, melataimu.
Betapa bintang aku, membinatangimu.
Betapa sakit aku, menyakitimu
Betapa pedih aku, melukaimu
Betapa duka aku, membahagiakanmu
Betapa pilu aku, meluluhkanmu
Betapa rugi aku, mencurangimu.
Betapa yakin aku, meragukanmu.
Betapa rindu aku, meranduimu.
Betapa getir aku, meracunimu.
Betapa barah aku, memarahimu.
walau betapa, tak bertepi tapiku
tetapi tak pernah kulihat
sesuatu yang luruh dari bola matamu
selain pancaran cahaya.
Sedang di mataku jatuh bebutir bening,
betapa zalim aku, menzalimimu.
25. NYALAKAN NYALIKU
aku sempat ragu harus berpapasan denganmu disebuah jalan menuju pulang,
tapi apa boleh buat itu satu-satunya jalan yang boleh kulewat.
nyalakan kobaran cemburu di dadaku, biar kuburu gali kuburan lelaki
di balik tengkuk indahmu itu.
nyalakan nyaliku dengan berkali luka lecutan panjang dari kepalamu
kenakanlah bekas kecupannya di pipimu, agar nyala nyaliku
kenakanlah ombak lelaki yang menenggelamkan nafsumu itu, biar nyala nyaliku
jejak jijik kekal, juga tanggal tak betah tinggal di kalender
nyalakanlah nyaliku dengan seluruh kabel cemburu lampu kamar tidur yang
selalu redup
nyalaku menikam gelap meraba ruang batas tak kuasa diretas
aku buta di depan cermin, untuk melihatmu bergaun pengantin
Tanjungpinang, 18 Oktober 2016
26. RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik terakhir rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang
sesekali gelombang gelembung
mulut ikan sesak bersyukur
angin berbisik berisik
di daun jendela
gugurkan
selembar
hijau anganan
Tanjungbatu, 18 Oktober 2016
27. LANGKAHKU MENUJUMU
aku menujumu dengan langkah ceroboh
tak kupandang ada lubang di jalan raya
aku musafir yang leka dan bekal tak sedia
aku menujumu tanpa waspada
saat pertamakalinya mendapatimu
akalku menjadi pendek penggaris patah murid sekolah dasar
aku bahagia mesti terjerembab berkali-kali di lubang yang sama
aku menujumu untuk menenggak dahaga berteduh dari terik takdir kealfaan
insan
menujumu sekejap saja walau jejak dihapus angin terekam ia di pita batin
Tanjungpinang, 18 Okrober 2016
Tentang Penulis
Harfan Min Kitabillah
Lahir di Kundur, Kepulauan Riau. Bekerja sebagai Guru di SDIT As-Sakinah
Tanjungpinang, dan bergiat di Sanggar Teater Serumpun Gagas. Aktif
sebagai anggota di Forum Lingkar Pena Pekanbaru. Selain menulis sajak, ia juga
menulis esai dan prosa. Bukunya yang sudah terbit adalah: Teduh Bulan
Maret (2016), Adat Kasih Menunggang Rindu (terbit 2017).
tulisannya sudah terbit dibeberapa koran lokal, dan tergabung di buku antologi
puisi Matahari Cinta Samudra Kata.