Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Kamis, 17 November 2016

PENYEMBAH UANG PENYEMBUH UTANG





Inilah sajakku, sajak yang marah sajak kapal pecah!

Aku terpaksa berdiri di depan televisi. Terpasung menikmati berita
yang sengaja dipasang berhari-hari. Untuk menutupi tanda tangan
perpanjangan kontrak penjualan negeri. Paket kebijakan ekonomi
adalah bahasa yang mengelabui kami dari perihnya mati.  Di dalam
berita milik swsata yang sebenarnya titipan asing untuk mencuci
otak rakyat jelata itu menyumpalkan kemulut nurani rakyat yang 
harus menganga dihimpit keadaan simalakama. Menelan anak
diperkosa tak menelan istri pula yang diperkosa.

Di televisi milik swasta tapi sebenarnya milik asing itu diperlihatkanlah
Tumbal-tumbal korupsi. Mereka ditangkap dan di adili untuk menambal
Keserakahan para penguasa. Di televisi swasta tapi sebenarnya milik
asing itu aku melihat dialog yang monolog, diskusi mereka setting untuk
menggiring pemahaman rakyat bahwa penguasa sudah menjalankan
amanah rakyat.

Semua bahasa bising ini adalah bukti bahwa banyak hal yang ditutupi
Penguasa. Rekayasa tangisan mengelabui mata batin menyamarkan
seringai culas agar lepas dari meja pengadilan.  Para penguasa kami
adalah sumber masalah, mereka tanpa sengaja memahat asal-asalan
tanpa perhitungan prasasti sejarah. Hingga sampailah pada sebuah
kesimpulan : bahwa Kami diilhami untuk pandai kencing berdiri.


Harapan kami melapuk bersama meja kursi kekuasaan yang digrogoti
rayap-rayap rakus. Kebingungan kami terjepit di pintu jalan masuk,
mana jalan keluar yang dulu kau kobarkan, kenapa kau paksa kami
memilih mati dengan lompat lewat nganga jendela.

Membaca Indonesia seperti membaca wajah kota Pompeii, kota Sodom.  
Rakyat di perintahkan menyembah uang, bersembahyang karena uang
bila ini terus berlanjut maka tiada lagi yang tersisa, kecuali hilangnya
Indonesia dari peta dunia tersapu azab.

Penguasa beramai-ramai berdiri di atas bendera, meneriakkan
merdeka! Merdeka! Merdeka! Sedang rakyat tak mampu lagi berdoa
lebih puisi selain kata neraka! Neraka! Neraka! Duhai penguasa
di perut buncitmu ada api menyala!

*
Dihadapan televisi, akulah penguasa remot, istriku sedang hamil,
anakku harus masuk sekolah. Digenggamanku dua gepok uang
warna merah pemberian caleg yang spanduknya terpampang besar
di sudut rumah, sekiranya uang ini cukup lebih malah menyelesaikan
sementara masalah.

Tanjungpinang, 18/11/16



0 komentar:

Posting Komentar