TUBUH BUTUH TABAH
Belilah banyak penghapus! Bersihkan coretan perasaan-perasaan
suka yang berjalan tanpa tujuan, tak kunjung sampai ke singgahsana pernikahan. Setiap
tubuh butuh pelukan, mungkinkah kau memeluk dirimu sendiri. Betapa perihnya
tubuh yang memeluk kesendirian, didekap kesunyian, meriang terlalu sering
diserang angin malam. Relakah kau
merasakan perihnya diperas perasaan sedemikian kejam? Ada baiknya kita
mengambil ibroh dari seorang pemuda bernama Nasr Bin Hajjaj. Siapakah dia? Mari
kita selami pengalamannya tanpa harus pula mengalaminya.
Tersebutlah kisah bahwa Nasr Bin Hajjaj adalah
pemuda rupawan, menjadi gambar yang terekam dipita hati gadis-gadis Madinah. Angin
malam begitu syahdu menerbangkan deretan sajak kerinduan, rindu yang tersurat
diutus oleh seorang wanita yang menuliskan namanya di dinding dingin malam,
alamat rindu itu pun sampai jua ke timpani Umar bin Khattab. Hingga Umar mencari
dan menemukan rasa terpananya tercuri oleh ketampanan Nasr Bin Hajjaj. Dengan sangat
terpaksa Umar pun menyembunyikan ketampanannya ke kota Basra. Sebagai upaya
melerai benang kusut fitnah wajahnya.
Di Basra ia menumpang teduh di sebuah atap rumah
yang penuh kedamaian. Siapa yang menyangka, inilah awal durjana, Nasr melesatkan
panah asmara dan tepat menembus jantung pendamping tuan rumah yang
ditumpanginya. Wanita yang telah berstatus istri itu tak mampu mengelak. Pasrah.
Bagai rusa hutan terkapar tak berdaya dihantam anak panah.
Sambil menatap awan-awan senja yang manja. Duduklah mereka bertiga di atas pasir. Suasana
terasa begitu canggung di hati sang suami. Tampak olehnya Nasr menggoreskan
semacam tulisan di atas pasir, ia pun secara hati-hati memperhatikan istrinya
yang tertunduk lalu menuliskan sesuatu pula di atas pasir, petapa rasa
penasaran memenuhi ruang hati sang suami, meraung-raung menggedor kesadarannya,
membentuk kecamuk tanya di keningnya.
“Wahai sabahatku, kemarilah!” Seru sang Suami
kepada seorang lelaki yang kebetulan berada tak jauh dari mereka bertiga.
“Ia, ada apa sahabat?”
“Betapa menyesalnya aku, dulu tak mau belajar
membaca, bisakah kau bacakan apa yang ditulis kedua manusia ini?
Tak kalah terkejut, sahabatnya ini pun mendelik
keheranan, seakan sesuatu yang tabu telah tampak di depan matanya.
“Mereka menuliskan, ‘Kau boleh menyangsikan
matahari tak terbit besok pagi, tapi usah kaua ragu cintaku selalu terbit
mendahului’ begitu juga balasan sang Istri ‘Sungguh aku tak menyangsikannya.”
Terang sungguh terang perasaan mereka
di mata sahabat suaminya. Betapa malunya Nasr. Ia membawa pergi dirinya dari
keluarga itu. cintanya tak kunjung padam. Tersebab itu nelangsa batinnya. Turut
jua badannya lara, kerontang raganya. Betapa luhur perasaan suami wanita yang
dicintainya itu.
“Obati sakitnya, kaulah yang ingin dilihatnya.”
Ujar sang suami dengan perasaan berkecamuk.
Bagai cerita Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wich, wanita itu
mengobati Nasr. Tampaklah garis kebahagiaan di
wajah Nasr. Entahlah dosa kah apa yang telah mereka rasakan itu. tak lama
berselang dari pertemuan itu ajal bertandang di pintu raga Nasr, dan Nasr abadi
dalam kisah ini, diceritakan kembali kepada kita untuk mengambil makna tentang
cinta.
Coba kau
ukur berapa panjang nelangsa yang Nasr rasa?, cintanya mekar di taman yang salah, bagai
tanaman mengganggu, kehadirannya tak di harapkan pemilik taman, dibuang ia dari
penglihatan. Sekarat ia menanggung derita rindu hingga nafasnya satu-satu. Cinta
itu membutuhkan pelukan. Semakin hangat sebuah pelukan, semakin sehat ruh itu
melambung ke langit, menyentuh Arasy. Menyeruaklah keharuman surgawi memenuhi
rongga dada mereka. Namun bila sebaliknya, hanya angina yang mereka peluk, maka
rasa yang agung itu justru menjadi tuba bagi sebelanga raga.
Sungguh cinta yang tak menapak
singgah sana pernikahan adalah tragedi besar kemanusiaan. Untuk mengusir penderitaan
itu, maka Islam hadir dengan penuh kesederhanaan, kebersahajaan. Rasa gengsi, tradisi, dan alasan lainnya, membuat
semua ini menjadi runyam, kusut tak bertemu jalan pulang.
Kepada sang Adam, tegakkan marwahmu, lafadzkan
dalam dadamu,
“Duhai Hawa, jika kau tak mau padaku, tiada
mengapa! Masih banyak bunga di taman yang setia menjalankan titah Tuhannya. Barangkali
ada satu disana yang rela pindah ke jambanganku saja.”
0 komentar:
Posting Komentar