Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Senin, 14 November 2016

TUBUH BUTUH TABAH

Belilah banyak penghapus! Bersihkan coretan perasaan-perasaan suka yang berjalan tanpa tujuan, tak kunjung sampai ke singgahsana pernikahan. Setiap tubuh butuh pelukan, mungkinkah kau memeluk dirimu sendiri. Betapa perihnya tubuh yang memeluk kesendirian, didekap kesunyian, meriang terlalu sering diserang angin malam.  Relakah kau merasakan perihnya diperas perasaan sedemikian kejam? Ada baiknya kita mengambil ibroh dari seorang pemuda bernama Nasr Bin Hajjaj. Siapakah dia? Mari kita selami pengalamannya tanpa harus pula mengalaminya.
Tersebutlah kisah bahwa Nasr Bin Hajjaj adalah pemuda rupawan, menjadi gambar yang terekam dipita hati gadis-gadis Madinah. Angin malam begitu syahdu menerbangkan deretan sajak kerinduan, rindu yang tersurat diutus oleh seorang wanita yang menuliskan namanya di dinding dingin malam, alamat rindu itu pun sampai jua ke timpani Umar bin Khattab. Hingga Umar mencari dan menemukan rasa terpananya tercuri oleh ketampanan Nasr Bin Hajjaj. Dengan sangat terpaksa Umar pun menyembunyikan ketampanannya ke kota Basra. Sebagai upaya melerai benang kusut fitnah wajahnya.
Di Basra ia menumpang teduh di sebuah atap rumah yang penuh kedamaian. Siapa yang menyangka, inilah awal durjana, Nasr melesatkan panah asmara dan tepat menembus jantung pendamping tuan rumah yang ditumpanginya. Wanita yang telah berstatus istri itu tak mampu mengelak. Pasrah. Bagai rusa hutan terkapar tak berdaya dihantam anak panah.
Sambil menatap awan-awan senja yang manja.  Duduklah mereka bertiga di atas pasir. Suasana terasa begitu canggung di hati sang suami. Tampak olehnya Nasr menggoreskan semacam tulisan di atas pasir, ia pun secara hati-hati memperhatikan istrinya yang tertunduk lalu menuliskan sesuatu pula di atas pasir, petapa rasa penasaran memenuhi ruang hati sang suami, meraung-raung menggedor kesadarannya, membentuk kecamuk tanya di keningnya.
“Wahai sabahatku, kemarilah!” Seru sang Suami kepada seorang lelaki yang kebetulan berada tak jauh dari mereka bertiga.
“Ia, ada apa sahabat?”
“Betapa menyesalnya aku, dulu tak mau belajar membaca, bisakah kau bacakan apa yang ditulis kedua manusia ini?
Tak kalah terkejut, sahabatnya ini pun mendelik keheranan, seakan sesuatu yang tabu telah tampak di depan matanya.
“Mereka menuliskan, ‘Kau boleh menyangsikan matahari tak terbit besok pagi, tapi usah kaua ragu cintaku selalu terbit mendahului’ begitu juga balasan sang Istri ‘Sungguh aku tak menyangsikannya.”
            Terang sungguh terang perasaan mereka di mata sahabat suaminya. Betapa malunya Nasr. Ia membawa pergi dirinya dari keluarga itu. cintanya tak kunjung padam. Tersebab itu nelangsa batinnya. Turut jua badannya lara, kerontang raganya. Betapa luhur perasaan suami wanita yang dicintainya itu.
“Obati sakitnya, kaulah yang ingin dilihatnya.” Ujar sang suami dengan perasaan berkecamuk.
Bagai cerita Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wich, wanita itu
mengobati Nasr. Tampaklah garis kebahagiaan di wajah Nasr. Entahlah dosa kah apa yang telah mereka rasakan itu. tak lama berselang dari pertemuan itu ajal bertandang di pintu raga Nasr, dan Nasr abadi dalam kisah ini, diceritakan kembali kepada kita untuk mengambil makna tentang cinta.
Coba  kau ukur berapa panjang nelangsa yang Nasr rasa?,  cintanya mekar di taman yang salah, bagai tanaman mengganggu, kehadirannya tak di harapkan pemilik taman, dibuang ia dari penglihatan. Sekarat ia menanggung derita rindu hingga nafasnya satu-satu. Cinta itu membutuhkan pelukan. Semakin hangat sebuah pelukan, semakin sehat ruh itu melambung ke langit, menyentuh Arasy. Menyeruaklah keharuman surgawi memenuhi rongga dada mereka. Namun bila sebaliknya, hanya angina yang mereka peluk, maka rasa yang agung itu justru menjadi tuba bagi sebelanga raga.
            Sungguh cinta yang tak menapak singgah sana pernikahan adalah tragedi besar kemanusiaan. Untuk mengusir penderitaan itu, maka Islam hadir dengan penuh kesederhanaan, kebersahajaan. Rasa  gengsi, tradisi, dan alasan lainnya, membuat semua ini menjadi runyam, kusut tak bertemu jalan pulang.
Kepada sang Adam, tegakkan marwahmu, lafadzkan dalam dadamu,
“Duhai Hawa, jika kau tak mau padaku, tiada mengapa! Masih banyak bunga di taman yang setia menjalankan titah Tuhannya. Barangkali ada satu disana yang rela pindah ke jambanganku saja.”

0 komentar:

Posting Komentar