Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Rabu, 29 Maret 2017

RUHILAH

Bermula terbit di jantung Maroko, luh keinginanmu mengunjungi-Mu, langkah demi langkah gemetar meragu, terbayang di dasar desir paling palung dadamu, tungkai kaki melepuh atas ribuan mil jarak mimpi, mampukah tertempuh;

semak ilalang tajam sendayan, padang mencekam kerontang gersang, lautan kelam tanpa bintang, liar terkam ancaman binatang, juga alamat-alamat nun nan gelap adalah perawan berdarah biru yang peluh jibaku kau nikahi dengan lapisan tebal ruh pengetahuan.

Bermula setapak jejak alkhiza, membekas di atas tanah Tangier,  kesedihanmu tumpah ruah menitik sepanjang pangkal tualang, dihembus angin diarsir debu, samar sosokmu menuju titik pandangan sayu.

Ribuan mil dilintas lalu, lalu lintaslah bergantian hingga rabak sepatu demi sepatu, menemanimu dalam genap 29 tahun keganjilan, terbangun kau pada mimpi ke-30, mencatat keasingan demi keterasingan.

Hingga malam pasang kelam teramat dalam. Mata-mata makar mampu melihat tempat kau bersembunyi. Mereka berupaya membinasakan huruf-huruf namamu tapi kau begitu yakin tetap menyandang namamu, kau enggan mengganti laqob. Sepanjang nafas kau tak ingin menjelma siapa-siapa pun untuk selamat dari kilatan mata pedang hukuman.

Hadirlah. Kau hadir lagi. Kembali hadir mengukir sunyi. Memulangkan niat ke dalam rumah-Mu. Waktu seolah kusut, dan jarak terlipat. Namamu tetap semerbak harum di kawah rembulan, dan kami terus berusaha mengejamu dengan nama bintang yang serupa. Riuh gemerlap kota menyadarkan kami dari debu konspirasi.

Walau dunia semakin hutan, dan jarak terlampau asing dari bekas langkahmu dulu, kami kelak yang jadi kini, telah menulis atsar-atsar rindumu, yang tak kenal jam terlelap. Terus menuju diam; tempat kenangan tiada bermusim.

Di kendaraan laut, darat, bahkan udara namamu layaknya mural bebas indah radikal, seperti sebuah kursi yang berabad telah mati, tumbuh tunas dan hidup lagi, atau semacam peta benua yang mampu bercerita, sebenarnya kemana saja putra berber melanglang buana?

Tanjungpinang, 28/03/2017

Sabtu, 25 Maret 2017

SEPOTONG SENJA DALAM PELUK INGATAN

Senja menyapa kita dalam hening ma'tsur doa.
Cahaya jingga kuning magrib
merasuk dalam bola mata

Bayangan kita memanjang
menyentuh pancang-pancang pelabuhan kota Batam. Tak ada gelap yang mampu melenyapkan,

selama nyala nyali kita dalam dekap kawanan. Berlima kita (barangkali lebih) di atas kapal barang, dari balik jendelanya, kau memandang gelombang berombak tenang,

mungkin kau bayangkan masing-masing kita serupa buih dibelah baling-baling kapal, rapuh saat lepas sendirian, maka kita menyatu; tenang menunang

lambung sampan juga kapal layar, andai ada yang sesumbar mencabar, alamat karam kita hantarkan, atau kita serupa gelembung, air asin menyublim

menuju awan-gemawan, kelak akan jatuh titik air, lalu deras menguyur bumi, tumbuhkan tunas-tunas, lengkung daun pakisan, begitulah kita bila kekal dalam janji, tatap tegar digegar uji.

Lampu-lampu sekoci, kelap-kelip cahaya dermaga menyambut kita; orang asing yang menapak jalanan petang peraduan, banyak upaya debu menghapus nama kita

sekian jarak tertempuh, telah berpuluh titik peluh menetes pun tak jua kita temukan, alat pengukur panjang senja yang menyepuh setiap muka,

namun kita yakin, bawa ingatan kita punya jari untuk mengenggam muasal janji, juga lengan yang selalu memanjang memeluk sepotong senja, lentur iringi umur menuju sunyi.

Tanjungpinang, 25/03/2017
RR.

Kamis, 23 Maret 2017

Terkenang Obat Panu Cap Kaki Tiga

Rasa gatal mengganggu punggung saya, bagian tubuh yang sulit dilihat, benda apa gerangan yang menempel, dengan leher diputar kuranglebih 100 derajat, saya arahkan cermin bekas spion yang semalam copot dari motor (mungkin karena produk KW) ke bagian yang gatal itu, sudah saya duga jamur kulit itu meng-invasi  membentuk putih peta disitu, sungguh sekali sadar sudah ada tiga peta besar yang sedang mereka garap,

berbekal rasa khawatir pagi itu saya berniat untuk benar-benar mandi dengan penuh khidmat dan menjalankan prosedurnya penuh tertib, saya ambil sabun cair yang baru digunakan dua kali pencet, kemudian spons-nya berbusa begitu semarak, tanpa menunggu lama tentunya dengan tekat membara, saya sental saja punggung dan bagian yang terjajah jamur itu berkali-kali, namun tentunya tak mengesampingkan kesan sayang-sayang manja pada kulit sendiri, ya supaya dia tidak mengalami trauma kulit yang lebih zerius. Ok fine #garing

Selesai mandi, saya lihat jam di smartphone, pukul 08.17 Wib, selesai sudah mandi sedemikian khidmat, tetap saja rasanya tubuh ini belum bersih benar. Agar mereka tak merebak merata-rata segera saya bergegas menuju apotik untuk membeli penawarnya, lalu satu potong kenangan melintas dalam fikiran, waktu kecil dulu, selain sering demam, ternyata wajah dan punggung mudah sekali kena penyakit yang aduhai susah nak diceritakan ini,

Waktu itu emak keluar dari kamarnya setelah mendapatkan suatu botol dari laci  yang tampaknya banyak lisptik dan perlengkapan cosmetic lainnya,
"Sini, mamak obatin dulu, baru ke Sekolah,"
"Obat apa tu mak,"
"Obat panu-lah,"

Kubaca merek dagangnya, diberi nama yang lumayan horor gaes, 'OBAT KURAP CAP KAKI TIGA," jeng jeeeeeng!!! Karena masih kecil waktu itu jadi merasa tidak penting menjaga kesehatan kulit, belum selesai emak mengolesi jamur itu saya langsung pergi--- mengenang itu saya merasa bersalah pada emak, walau emak mungkin telah melupakan potongan masa lalu yang lusuh seperti itu,

Sesampainya di apotik dengan berbekal kenangan itu, maka saya mencari obat panau yang judulnya sama, ternyata sudah tak ada lagi, mungkin tak diproduksi lagi, usai sudah benda yang dapat membangkitkan memori indah itu tak lagi saya dapatkan. Dengan sedikit kecewa saya pesan saja kalpanik, tapi penderitaan saya belum usai sampai disitu, timbul lagi sebuah perzoalan, siapa yang bersedia mengolesi obat ini?

Buka WA, hubungi junior.
"An, bantu abang?,"
"Ok, bantu apa bang?,"
"Nanti abang jelasin, kita jumpa di sekre ya,"
"Ok,"

Sebelum sampai di sekre, rasanya saya harus sarapan dulu, eh ketemu Andrean di kedai sarapan padang, 'Berkah Bundo'

"Nak, minta bantu apa bang?,"
"Adalah, nanti abang jelaskan ya, di sini kurang sopan,"
"Ok,"
"Aan, nak ke sekre? Suruh Hatta ke sini ya, bilang bang Ren suruh sarapan,"

Setelah Aan pulang, saya pun meneruskan sarapan, sampai selesai Hatta tak kunjung datang, saya putuskan untuk ke sekre,
Wah ternyata Hatta masih tidur, hemm, jauh rezeki.

Singkat cerita Hatta terbangun, karena Aan lagi nyuci rendaman pakaian yang belonggok di kamar mandi, ya terpaksa Hatta yang jadi sasaran, mula-mula dia jijik tapi karena asas simbiosis mutualisme yang masih ok, jadilah Hatta yang mengolesi, Kalpanik ke bagian punggung yang panuan. cukup demikian cerita babang kali ini, hikmahnya adalah jagalah kebersihan badanmu, belilah brus mandi, kalau tak terbeli, kamu boleh pakai jaring nelayan yang sudah tak dipakai lagi, dan satu lagi panu dapat membuat kita merasa betapa berharganya orang yang telah pernah mengobati panu kita, dan saat dia tidak ada di sisi, kelak kita akan merindukannya bila kita mengulang sejarah itu---artinya panunya kumat lagi---, tapi tentunya mengenang budi baik orang janganlah hanya ketika kita sulit, tapi dalam apapun keadaan kita harus senantiasa bersyukur karena ada orang yang peduli dan kita juga harus peduli, dengan sedemikian kenangan menjadilah layaknya energi, selalu terbaharui, seperti kata sakti ini, 'hukum kekekalan senyuman', sebuah senyuman tulus yang kita sampaikan pada orang lain maka senyum itu akan terus tumbuh ke bibir orang lain, terimakasih emak, terimakasih Hatta. *

*Bagi yang panuan jangan sungkan untuk mengaku, sebelum merebak kemana-mana, sebab panu bisa mengancam nyawa, dengar boleh, caye jangan.

*tulisan ini mengandung sedikit kejorokan, suatu hari nanti jadi bahan orang untuk membuat obituari masa depan sekaligus masa lalu penulis, tengoklah kelak.

Yang Bermakam di Museum

Kau berlari dalam sesak tanjak
menabuh sunyi bunyi inferior

Kau terekam dalam Mozart
guyon-guyon adiluhung

Kau terjebak dalam hapak
Lapuk adat kain sampin

Kau bermalam di Museum
Berteman kelok taming sari

Kau bungkam memahat sepi
Dalam timang dan dodoi kami

Kau saksikan cucucucumu
dilarang keras baca gurindam 12

Dalam gelap yang abadi
Kau bisikkan rayu tajalli

Dalam karat keris pusaka
kau garamkan rindu dan dendam

Pameran pemeran lama
kehidupan baru tumbuh seribu

Terbaling bilang
Terbilang baling

Sejarah memamah jejak takdir
tak kenyang pula tembolok budaya

Dalam sebuah figura aku berkaca pada kau: hadir tak bertanggal lahir, datang tak bertanggal mati.

Tanjungpinang, 12/03/2017