Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 20 November 2016

DI BALIK PAPAN KUBUR





ada sandi azali di balik papan kubur
bacalah pecahkan ia jadi kabar
kelak tapak tak lagi mampu kabur

di mana muasal papan itu tumbuh
menadahkan dahan selalu tambah
akar menghujam dengan tabah

pecahkan segera rahasia terka
buka gembok-gembok Ridwan
supaya Ridwan membuka pintu rumah-Nya

hari berbangkit bertandang segera
setelah tujuh langkah penziarah
malaikat membuka tanya demi tanya

kenapa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana
dengan siapa, berapa, ini kau lakukan?
apakah ini yang malaikat tanyakan?

mudah saja menjawabnya di dunia
tapi katanya di sana mulut terkunci
segala anggota tubuh yang terlibat

tumbuh mata, telinga, dan wicara
mereka bersaksi tentang tahun
yang tahan menuju Tuhan

atau usia usai sia-sia.


Tanjungpinang, 20/11/2016

Kamis, 17 November 2016

PENYEMBAH UANG PENYEMBUH UTANG





Inilah sajakku, sajak yang marah sajak kapal pecah!

Aku terpaksa berdiri di depan televisi. Terpasung menikmati berita
yang sengaja dipasang berhari-hari. Untuk menutupi tanda tangan
perpanjangan kontrak penjualan negeri. Paket kebijakan ekonomi
adalah bahasa yang mengelabui kami dari perihnya mati.  Di dalam
berita milik swsata yang sebenarnya titipan asing untuk mencuci
otak rakyat jelata itu menyumpalkan kemulut nurani rakyat yang 
harus menganga dihimpit keadaan simalakama. Menelan anak
diperkosa tak menelan istri pula yang diperkosa.

Di televisi milik swasta tapi sebenarnya milik asing itu diperlihatkanlah
Tumbal-tumbal korupsi. Mereka ditangkap dan di adili untuk menambal
Keserakahan para penguasa. Di televisi swasta tapi sebenarnya milik
asing itu aku melihat dialog yang monolog, diskusi mereka setting untuk
menggiring pemahaman rakyat bahwa penguasa sudah menjalankan
amanah rakyat.

Semua bahasa bising ini adalah bukti bahwa banyak hal yang ditutupi
Penguasa. Rekayasa tangisan mengelabui mata batin menyamarkan
seringai culas agar lepas dari meja pengadilan.  Para penguasa kami
adalah sumber masalah, mereka tanpa sengaja memahat asal-asalan
tanpa perhitungan prasasti sejarah. Hingga sampailah pada sebuah
kesimpulan : bahwa Kami diilhami untuk pandai kencing berdiri.


Harapan kami melapuk bersama meja kursi kekuasaan yang digrogoti
rayap-rayap rakus. Kebingungan kami terjepit di pintu jalan masuk,
mana jalan keluar yang dulu kau kobarkan, kenapa kau paksa kami
memilih mati dengan lompat lewat nganga jendela.

Membaca Indonesia seperti membaca wajah kota Pompeii, kota Sodom.  
Rakyat di perintahkan menyembah uang, bersembahyang karena uang
bila ini terus berlanjut maka tiada lagi yang tersisa, kecuali hilangnya
Indonesia dari peta dunia tersapu azab.

Penguasa beramai-ramai berdiri di atas bendera, meneriakkan
merdeka! Merdeka! Merdeka! Sedang rakyat tak mampu lagi berdoa
lebih puisi selain kata neraka! Neraka! Neraka! Duhai penguasa
di perut buncitmu ada api menyala!

*
Dihadapan televisi, akulah penguasa remot, istriku sedang hamil,
anakku harus masuk sekolah. Digenggamanku dua gepok uang
warna merah pemberian caleg yang spanduknya terpampang besar
di sudut rumah, sekiranya uang ini cukup lebih malah menyelesaikan
sementara masalah.

Tanjungpinang, 18/11/16

ORANG-ORANG YANG TAK ADA DI DALAM SEJARAH



Siapa mereka orang-orang yang tak ada di dalam sejarah?
Mereka adalah orang yang bekerja, setiap hari bekerja, sampai lupa kiri dan kanannya sedang terjadi apa, dia selalu melewati jalan yang sama setiap hari, memandang ke bawah bila berpapasan dengan tetangga, tersenyum pun tidak, dia berlalu saja menuju kantornya, menjalani rutinitas yang itu-itu saja, tak ubahnya lembu, yang hidungnya dicucuk dengan besi panas, untuk menuruti kemauan tuannya membajak sawah, dia makan gemuk, bila tiba saatnya mungkin dia akan dipotong, lalu tinggallah tulang belulang tanpa makna. Akhir bulan ia mendapat uang dan begembira, membeli makanan, manis-manisan, menonton hiburan, hingga televisi yang menontonnya tertidur, mereka jarang olahraga hingga akhirnya terkena penyakit darah tinggi glukosa. mereka tak tercatat dalam lembar penting sejarah.

Senin, 14 November 2016

BETAPA


    
:Hayati

Betapa kata aku, mengataimu.
Betapa lata aku, melataimu.

Betapa bintang aku, membinatangimu.

Betapa sakit aku, menyakitimu

Betapa pedih aku, melukaimu
Betapa duka aku, membahagiakanmu

Betapa pilu aku, meluluhkanmu
Betapa rugi aku, mencurangimu.

Betapa yakin aku, meragukanmu.
Betapa rindu aku, meranduimu.

Betapa getir aku, meracunimu.
Betapa barah aku, memarahimu.

walau betapa, tak bertepi tapiku
tetapi tak pernah kulihat

sesuatu yang luruh dari bola matamu
selain pancaran cahaya.

Sedang di mataku jatuh bebutir bening,
betapa zalim aku, menzalimimu.

BULAN SEDANG TELANJANG BULAT



BULAN SEDANG TELANJANG BULAT

Bulan sedang telanjang bulat
Untuk mengalahkan keindahanmu
dilepasnya selendang awan
hanya untuk kulihat
BEKAS LUKA  yang pernah silam
sajak ini sama belaka
Tak indah dan tergesa-gesa
Untuk menambah angkus suasana
Kuputar sebuah lagu Frank Sinatra:
fly me to the moon
dengan kata lain
Serius kau tak mau ikut denganku  merenangi  bulan?
Dengan kata lain
Kalau begitu selamat merenungi penyesalanmu

Tanjungpinang, 15 November 2016

HANYA DI HUJAN BULAN NOVEMBER KITA BENAR-BENAR BASAH



HANYA DI HUJAN BULAN NOVEMBER KITA BENAR-BENAR BASAH
:Widya K Husna

1.
Tidak ada yang basah di luar hujan bulan November
Hanya di hujan bulan November kita benar-benar basah
Selain itu kita hanya mendapati mata tergenangi resah
(Siapakah yang benar-benar basah di genang kenangan kita. Coba kau tuliskan, sanggah tiada yang mengering kecuali cacat catatan)

2.
Aku mengumpulkan beberapa tembang manis di bulan November
tapi tak kudapati timphaniku mengenal engkau tersurat dalam lagu-lagu
selain lembaran tersirat dalam lipat-lipatan ragu.

benarkah ini hari yang kau tunggu?
yakin cuma bertambah satu tahun?
Bahagiakah kamu?

TUBUH BUTUH TABAH

Belilah banyak penghapus! Bersihkan coretan perasaan-perasaan suka yang berjalan tanpa tujuan, tak kunjung sampai ke singgahsana pernikahan. Setiap tubuh butuh pelukan, mungkinkah kau memeluk dirimu sendiri. Betapa perihnya tubuh yang memeluk kesendirian, didekap kesunyian, meriang terlalu sering diserang angin malam.  Relakah kau merasakan perihnya diperas perasaan sedemikian kejam? Ada baiknya kita mengambil ibroh dari seorang pemuda bernama Nasr Bin Hajjaj. Siapakah dia? Mari kita selami pengalamannya tanpa harus pula mengalaminya.

DERETAN SAJAK YANG GAGAL TERBIT DI KORAN



1. RINDU
Rindu adalah deburan ombak pantai
untuk berlabuhnya bahtera yang damai
rindu adalah kemerlip bintang angkasa
untuk sebinar syukur mata yang jelita
rindu adalah sekuntum mawar di taman
untuk semerbak mekar yang menawan
rindu adalah tentramnya senja
untuk seterang fajar yang manja
rindu adalah lelantun firman
untuk syafaat al-qur'an yang dijanjikan
rindu adalah setianya menahan
untuk penuhi jamuan Ar-Royan
rindu adalah sekejapnya sedekap
untuk selamanya ganjaran yang diharap
rindu adalah setulusnya berzakat
untuk sebentuk hati yang melepas karat
rindu adalah mabrurnya berhaji
untuk semegah istana surgawi
rindu adalah tak jemunya menanti
untuk sebuah kapan yang pasti.
Tanjungpinang, 14 Ramadhan 1437 H






 2. SEGALA DARI-MU


Derita apakah yang Kau cipta?
izinkan kumiliki salah satunya
agar mampu kupahami, segores luka dari-Mu
tetap harus larut dalam lambungku
lambang keabadian-Mu.

air mata siapakah yang Kau alirkan?
izinkan aku membasuh dosa di situ
agar mampu kurenangi, ruang raung buta
sunyi hatiku melihat-Mu, Kau mata matiku.

berselindung hamba di alam gelap
begitu terang bagi-mu setiap harap
begitu mudah pula katup tingkap tersingkap.

segalanya
jika itu dari-Mu
tak mau lelah aku menolaknya.

Tanjungpinang, 2015


 3. KEMOCENG

Pada bait puisi ini
kau memilih jadi kemoceng
bagi diriku yang debu

dalam cinta kita
kau putuskan menjadi kubur
bagi diriku yang bangkai

agar serbukku tak bercampur deru
agar busukku tidak mengganggu
agar kita sempurna menyatu.

Tanjungpinang, 2015



 4. DEBU

Aku debu
kau sepatu
takdir adalah tukang semir
yang memisahkan aku dan  kau

sungguh aku cuma debu
harus menepi
dari engkau yang kuimpikan

Tanjungpinang, 2015


 5. DI BALIK PINTU DARURAT PESAWAT TERBANG

Duduk di seat 17B di balik pintu darurat pesawat terbang
kutaburkan semua impianku di atas awan
berkecambahlah menuju singgasana Tuhan

Tanjungpinang, 10 Oktober 2016

 
6. IZINAZAN

Angin mengetuk tingkap-tingkap
terbukalah hati yang terkatup
kelilip mata diserbu serdadu debu
menyumpal pandang para babu
rantai membelenggu punuk
di lutut duniawi mereka takluk
izinkan Tuhan bicara:
jalan masuk satu-satunya
adalah buka pintu dan keluarlah menuju tempat terendah rahim basah

Tanjungpinang, 14 Oktober 2016



7. SEPOTONG PAGI DI JAKARTA

Kerdip matamu tersembul malu-malu.
Lama-lama aku semakin rindu.
Kau datang menawarkan terang lantas lekas berlalu.
Gemelebat pekat malam teramat jarak.
Seribu jeruk serbu kecapku tak jua sentak.
Pagiku tersekat dengan selembar kaca bening.
 Benang yang tak cukup menambal sangkak nan beranak-pinak.
Pagiku di sebuah hotel mewah dengan seporsi sarapan.
Harapan tak pasti bagi kesembuhan stroke: jejal roda jalanan.


Jakarta, 12 Oktober 2016


8. MEGA MENDUNG

matahari tidak tampak pagi ini
kontak lampu-lampu kantor dinyalakan
aku berdiri di ruang pertemuan
memandang bayangan tubuhku berceceran
aku tak menyalahkan lampu-lampu
walau seharusnya bukan dia yang layak mencipta bayanganKU.


Tanjungpinang, 6 Oktober 2016



9. MEMBACA PETA
59:21 
Sunyi ini, kertas berdebu menuangkan
petuah-petuah kasih. Awan bermata biru
dan sendu gegas kembali bentangkan sujud
gunung terpecah walau hanya dibelah sebilah firman.
duhai hatiku, mengapa kau  lebih agung dari gunung?

di dalam hatiku, para pekerja proyek sibuk
menuangkan semen, membangun tembok beton
menyusun pagar. Mereka memang sengaja lupa memasang
jendela dan pintu.  Betapa mereka senang memasung
gelap, tak ada katup apatah lagi tutup
 tidakkah kau tahu segala yang terbuka memungkinkan
diterangi cahaya walau bayangan tak terelak adanya.

*
Batu di antara gemuruh air sungai
memelihara rasa takut gentar terburai
tatkala sehelai firman langit diurai
pada dunia segumpaldarahku terbuai


10. DUDUK MENGHADAP PENYENGAT SAAT SENJA

Senja itu aku duduk menghadap pulau Penyengat.
Aku melihat matahari menabur hamburkan pecahan kaca di atas permukaan laut.
Terguncang dimainkan anak-anak ombak yang riang digoda lapar lambung-lambung kapal.
Telah kuizinkan benang-benang senja menyulam magrib menjadi gulita.                                           
Menyelimuti sebatang butuh tubuhku.
Aku selalu menantang lautan untuk mengetahui mampukah kedalamnya
menampung rahasia lebih banyak dari yang Engkau rahasiakan?
Aku juga selalu menantang lautan 
 untuk membuktikan tentang siapa diantara kami  
yang palung betah memahat ketenangan.
Allahuakbar... Allahuakbar...
sahut-menyahut panggilan Tuhan
semua orang ingin jawaban
segenggam pasir yang jawab seruan.

Tanjungpinang, 6 oktober 2016




11. TUANGKAN SECANGKIR KOPI LAGI

" God Sees The Truth, But Waits." -Leo Tolstoy
00:04. Malam makin tegak di ubun-ubun. Kembang matahari di sebalik rimbun daun. Kawan aku mengenangmu malam ini, menyebut namamu, menceritakan pada sunyi tentang perjuangan mimpi kita, adakah kau tersedak malam ini? Akulah yang membuatmu berkata, "Siapalah yang menyebut-nyebut namaku?,"
usah kau marah, aku ingin mendengar ceritamu, aku janji tak akan menyela ceritamu sebelum usai, cerita saja sepuas-puasmu, mungkin tentang pertengkaran kita, hal konyol yang mengundang tawa, sakit yang kau rasa, setelah usai itu semua, aku akan bertanya satu hal, "Sepertinya kita butuh satu cangkir kopi lagi, untuk menuntaskan reuni malam ini," di kafe itu tembang Resah : Payung Teduh mencemaskan ketentraman kita.

Tanjungpinang, 2016





12. TIDAK SEMUA PERTANYAAN BUTUH JAWABAN

kau merahasiakan keinginanmu menemuiku sekali lagi, baiklah
aku telah belajar sangat baik berpura-pura menjadi tuli
sembunyi di membran timphaniku sendiri
berbenturan dengan tak terhingga
suara ingar-bingar berisik kota
kau selalu merasa lebih baik sembunyi di balik bulan dari pada di balik daunan
baiklah aku telah belajar sangat tekun untuk menenggelamkan lautan
ke dalam mataku memantulkan cahaya rembulan dan wajahmu
hingga lelah bersandar di sampan nelayan
mataku merah menahan menahun
asin air mata lautan yang
tumpah tak tertahan
berikan aku alasan untuk tetap berada di titik pertemuan.
tapi kau masih saja menyatakan hal yang sama
tidak semua kenapa menyatu dengan karena

Tanjungpinang, 20 Oktober 2016



13. UBAN-UBAN DI DEPAN TOKO BUKU

Jalanan kian ramai. Lampu-lampu kota berbaris nyala bagai mata serdadu. Kuning magrib warna cahaya kendaraan masuk ke kornea mataku. Silau. Roda-roda berlomba untuk kembali ke bagasinya.
Lampu lalu lintas silih bergantian menyala, kadang merah mereka berhenti, kadang kuning mereka menekan klakson, setelah hijau mereka menderu laju. Mataku yang miopi membuat lemparan cahaya yang masuk tak tepat jatuh pada titik retina, itu membuat bayangan cahaya yang masuk bagai taburan kunang-kunang, persis bayangan masa kecil yang kembali terkenang-kenang.
Waktu itu sekitar jam 10 malam, waktu yang tepat untuk penjaga toko buku menutup pintu. Seperti yang sudah-sudah ini kali ketiga aku melihat seorang kakek-kakek menenteng sebuah gitar, sebatang rokok terselip di bibirnya yang merah hitam, entah lagu apa yang ia senandungkan, aku selalu memperhatikannya, entah untuk siapa lagu itu ia nyanyikan.
Seorang pemuda membawa sebuah bungkusan hitam berjalan di hadapannya, dan menyodorkan bungkusan itu, kubaca gerak bibir kakek itu tak lain adalah ucapan terimakasih. Secara tak langsung pemuda itu memberiku bingkisan tentang sejuknya belaskasih. Tak kusangka tukang parkir di samping motorku menjatuhkan beberapa butir air mata. 1000 rupiah uang  parkir yang kuberi, ia berikan pula pada kakek itu. Lagi-lagi kubaca bibir tua itu berucap terimakasih.
Gilagila aku bisa apa?
Kunyalakan motor lagendaku yang tak lengkap surat-suratnya itu, dan kuraba dada yang tak bernyali ini.
Kukatup jaket lusuh yang terbuka nganga di tubuhku ini, dan kudengar angin sejuk mengutip firman Tuhan, "Kelak dari ubun-ubunmu akan Kucabut nyawa, mau dengan kasar apa lembut. Itu terserah Siapa."
Sepanjang jalan pulang aku mengingat-ingat. Masihkah kusimpan timbangan berat badan hasil menang undian jalan sehat minggu pagi kemarin? Kalau masih akan kuhadiahkan untuk kakek itu, barangkali berguna untuk menimbang bobot berat kesombongan yang lalu lalang di hadapannya.

Bintan Center, Batu 9 Tanjungpinang, 14 Oktober 2016


 
14. PANTUN KEHIDUPAN

dalam dada hampa bernaung
duduk melamun di tepi tingkap
jaket dan gigil selalu merenung
mengapa pagi datang sekejap

jambu matang cuma pelengkap
buah kates dibagi belah
embun datang cuma sekejap 
setelah menetes tak lagi indah

cermai beserak gugur ditangkap
buat manisan raya menjelma
ada tirai di balik tingkap
halangi jeling intai purnama

jangan kira tak ada buaya
danau tenang tidak berkocak
perahu dan kiau selalu bertanya
makna apa deburan ombak

nelayan pulang membawa kurau
hendak di jual ke kedai depan
dunia tempat bersenda gurau
terlampau hanyut tersesat badan

ke balai membawa pelam
pelam di makan bawah beringin
alamat bahtera akan karam
bila nahkoda tak paham angin



15. JEMBATAN
Setiap keserasiaan adalah jembatan
antara tebing dan jurang.
 Mari titi setiap tatih
agar tiba kita
di puncak pedih.

Tanjungpinang, 21 September 2016



16. MASA KECIL KEDEWASAAN

Penjaga karcis itu mengizinkan seorang murid yang masih berseragam merah putih memasuki waterboom, setelah merekam nama guru yang membuatnya dirinya lembab walau setakat berdiri di depan kelas, "Selamat menikmati masa kecil," ucap penjaga itu mempersilahkannya. Tapi sayang masa kecilnya telah terperangkap di masa depan.
Tanjungpinang, 2015.


17. KEBAHAGIAAN

Langit sering bertukar baju
baju biru baru saja kusetrika
dan dia memakainya
aku tak mengenakan apa-apa
selain selembar mendung.

Sore ini langit ingin ke pesta
meminjam celana robek
yang kusampirkan di ranting
tragedi dan fitnah duniawi.

Langit mengurung diri di atas sana
tak jadi menuju pesta. Dia membuka tirai
memperhatikan orang-orang yang
menyebut dirinya kebahagiaan

Bahagia menurut mereka adalah
jalan keluar dengan masuk ke rumah
menutup diri dari pertemuan dan
mengurangi pertemanan. Sesekali
membuka jendela untuk menyapa
tetangga atau penjual sayur agar
tak tergiur dengan perbagai macam
Tagihan dan tuntutan.

Berbagai perihal antah dari luar
mudah sekali menerobos masuk
mencampur warna-warni dinding
hati. Mengubah posisi atas ke bawah
merubah porselen indah jadi jatuh
cengeng dan mudah pecah.

Poster berisi ancaman. Spanduk
bertuliskan janji: tipuan. Sajadah
tersadai, menipis di belai badai.

Tanjungpinang, 2015



  
18. APALAH DAYAKU

Tiap kali aku menujumu
kau menjelma api
aku kayu mati tiada daya
luluh terburai menjadi abu.

Tiap kali aku menujumu
kau menjelma hujan
apalah dayaku segumpal awan
terusir dari mewahnya langit.

Setidaknya kita pernah unggun
walau hanya sekejap gulita
setidaknya kita pernah bara
saat mereka bertepuk “Api kita sudah menyala.”

Karenamu aku mengerti cinta
adalah api yang menyalakan seluruh raga
lalu lenyap diterkam badai.

Tanjungpinang, 2016


19. TEMBANG PETANG
Petang melambai di pucuk ilalang
gelap perlahan menelan padang
lampu-lampu kendaraan berlalu lalang
mereka semua ingin aku dengarkan
tapi aku hanya ingin mendegarkanmu
kota ini memagari luar dan dalam
kota ini membatasi kemarin dan esok
kota ini memisahkan dekat dan jauh
kota ini tembok aku dan kau
padahal ini kota atap kita
diantara kata tak terucap
keganjilan kita tak kunjung genap
mengganjal diseparuh  tak lengkap
 Tanjungpinang, 2016



19. KAU MENOLAK AKU MENERIMA

Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di setiap sempat dan tempat. Dalam terali hujan kau memasung langkah. Dalam tumpukan buku kau memasang sajak. Di deretan bangku segala raung tunggu. 
Di sepanjang jalan sepi. Di dalam mangkuk kecil para pengemis menadah koin-koin sisa belanja swalayan. Menyaru juga di getar gitar para pengamen.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu di atas kolam kota juga di gemerlap papan reklame. Aku menerima bayanganmu tercetak di permukaan kopiku menyatu dengan kafein tebaik. Kantuk adalah kontak untuk memimpikanmu menghamburkan aroma kopi mahal di alir darahku.
Kau menolak dan aku menerima bayanganmu tercetak di cermin retak menempel di kacamataku. Huruf-huruf di buku tak ingin dibaca malah bersengaja membentuk wajahmu. Semua gambar di dinding kamar berubah jadi wajahmu. Setiap lagu yang kuputar mengapa jadi zikir namamu. Setiap baju yang kupakai mengapa selaras dengan warna yang kau suka.
Kau tetap kukuh menolak. Aku tatap menerima gigil gerimis waktu di depan rumahmu membungkusnya jadi bingkisan kado pernikahan kenangan kita.

Tanjungpinang, 20 Oktober 2016



20. MASA DEPAN PAGI

Jika pada potongan langit kau menemukan pagi di tempat pembaringan, bangunkan ia katakan padanya tentang ayam yang akan mematuk kepingan rezekinya. Pagi cerah dan punya keinginan untuk membawa kau ke kelopak terik, menuju gurau senja. Malam bertandang untuk mengecupkan cinta dan mengucapkan selamat tinggal. Besok pagi tak lagi sama. Ia naik ke langit untuk menghadap maha pengadilan. Ia bersaksi atas namamu. Kau harus lunasi segala perbuatan pada pagi dan beribu kembarannya yang telah kau kenakan di raga kesempatan. Baju yang nyaman dan tidak kesempitan.
Pada suatu sudut kota, kau membujuk pagi yang merajuk apapun ia tak mau tak ubahnya ia bagai seorang anak kecil yang meraung-raung meminta dibelikan mobil-mobilan. Pagi teramat dingin ia ingin kau hangatkan dengan pekerjaan yang membuatnya berkeringat. Sehat dan ceria.
Besok di sudut langit, kau bangkit dan menemukan pagi di meja makanmu. Hapus segala tanggal merah yang kau marahi sendiri di lembur ramah kalender. Jadilah wewangian taman. Izinkan pagi membuka seluruh panca indramu bekerja. Gandeng pagi melewati seribu pembaringanmu. Juga jam-jam muram yang senantiasa bergerak konstan. Pagi menghilang saat kau sudah kembali. Pagi berganti selalu menyisakan penyesalan.
Ia tak akan merobek catatan langit bila tak kau yang menitahkan
Kaulah penguasa kepingan pagi. Kau yang mampu mengajaknya ke masa depan.
Tanjungpinang, 2016


21. RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS
Rintik terakhir
rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang, sesekali
gelombang gelembung mulut ikan sesak syukur rebutan
angin berbisik berisik di daun jendela gugurkan selembar hijau anganan

Tanjungbatu, 18 Oktober 2016



                                                      22. SETANGKAI TAKDIR


Takdir siapa itu yang berenang jauh ke tengah samudra!
Terombang-ambing dipecudangi rahasia, KEDALAMAN LANGIT.

Tanjungpinang, 8 Oktober 2016



23. TINTA CINTA

KAU senantiasa basah
dalam kenangan

menjelma kering
cacat catatan

menjadi lembab di lentik sembab bulu matamu

Kasih engkaulah tinta
 tak pernah kerontang

suburkan bunga tidurku.




24. BETAPA
                        : Hayati

Betapa kata aku, mengataimu.
Betapa  lata aku, melataimu.
Betapa bintang aku, membinatangimu.

Betapa sakit aku, menyakitimu
Betapa pedih aku, melukaimu
Betapa duka aku, membahagiakanmu

Betapa pilu aku, meluluhkanmu
Betapa rugi aku, mencurangimu.
Betapa yakin aku, meragukanmu.

Betapa rindu aku, meranduimu.
Betapa getir aku, meracunimu.
Betapa barah aku, memarahimu.

walau betapa, tak bertepi tapiku
tetapi tak pernah kulihat
sesuatu yang luruh dari bola matamu

selain pancaran cahaya.
Sedang di mataku jatuh bebutir bening,
betapa zalim aku, menzalimimu.



25. NYALAKAN NYALIKU

aku sempat ragu harus berpapasan denganmu disebuah jalan menuju pulang,
tapi apa boleh buat itu satu-satunya jalan yang boleh kulewat.
nyalakan kobaran cemburu di dadaku, biar kuburu gali kuburan lelaki
di balik tengkuk indahmu itu.

nyalakan nyaliku dengan berkali luka lecutan panjang dari kepalamu
kenakanlah bekas kecupannya di pipimu, agar nyala nyaliku
kenakanlah ombak lelaki yang menenggelamkan nafsumu itu, biar nyala nyaliku
jejak jijik kekal, juga tanggal tak betah tinggal di kalender

nyalakanlah nyaliku dengan seluruh kabel cemburu lampu kamar tidur yang selalu redup
nyalaku menikam gelap meraba ruang batas tak kuasa diretas
aku buta di depan cermin, untuk melihatmu bergaun pengantin

Tanjungpinang, 18 Oktober 2016



26. RINTIK TERAKHIR RINAI GERIMIS

Rintik terakhir rinai gerimis memecah kaca kolam
di atasnya ada kemambang kiambang
sesekali gelombang gelembung
 mulut ikan sesak bersyukur
angin berbisik berisik
di daun jendela
gugurkan
selembar
hijau anganan

Tanjungbatu, 18 Oktober 2016

  

27. LANGKAHKU MENUJUMU

aku menujumu dengan langkah ceroboh
tak kupandang ada lubang di jalan raya
aku musafir yang leka dan bekal tak sedia
aku menujumu tanpa waspada

saat pertamakalinya mendapatimu
akalku menjadi pendek penggaris patah murid sekolah dasar
aku bahagia mesti terjerembab berkali-kali di lubang yang sama
aku menujumu untuk menenggak dahaga berteduh dari terik takdir kealfaan insan
menujumu sekejap saja walau jejak dihapus angin terekam ia di pita batin

Tanjungpinang, 18 Okrober 2016





Tentang Penulis
Harfan Min Kitabillah
Lahir di Kundur, Kepulauan Riau. Bekerja sebagai Guru di SDIT As-Sakinah Tanjungpinang, dan bergiat di Sanggar Teater Serumpun Gagas. Aktif  sebagai anggota di Forum Lingkar Pena Pekanbaru. Selain menulis sajak, ia juga menulis esai dan prosa. Bukunya yang sudah terbit adalah: Teduh Bulan Maret (2016), Adat Kasih Menunggang Rindu (terbit 2017). tulisannya sudah terbit dibeberapa koran lokal, dan tergabung di buku antologi puisi Matahari Cinta Samudra Kata.