Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 22 Januari 2017

SIKAP HIDUP

Pengalaman atau peristiwa sehari-hari bisa juga digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa begitu saja, tanpa ada niat untuk memberikan simpati atas yang diceritakan atau nasihat untuk pembaca. Penyair menggambarkan apa yang terjadi pada dirinya, atau juga pada hal disekitarnya, tanpa berkomentar kecuali hanya untuk menyiratkan perasaan atau fikirannya. Saya kutipkan sebuah sajak klasik China, oleh penyair Li Bai berikut ini, tentang orang yang mabuk di bawah bulan.

Kupegang botol arak di sela-sela bunga-bunga minum sendirian saja, 
disekitarku seorang pun tiada, kuangkat botolku tinggi-tinggi dan 
kuajak bulan minum bersama; Kami bertiga: aku, bulan, dan bayang-bayangku. 
Tapi bulan twk tahu nikmatnya arak, dan bayang-bayangku hanya bisa mengikut saja. 
Kuanggap saja mereka berdua temanku. Saat serupa ini harus dinikmati sepuas-puasnya. 
Bulan sempoyongan ketika kunyanyikan beberapa lagu. Bayang-bayangku tampak 
kebingungan ketika aku menari-nari,
Kami minum bersama ketika aku masih sadar.
Kalau aku sudah mabok kami berpisah. 
Sdjak kini kami bertiga selalu berpesta,
 semoga kami juga bertemu di Bima Sakti sana


Ada 3 tokoh dalam sajak itu: aku, bayang-bayang, dan bulan. Ketiganya disatukan oleh sebotol arak yang menyebabkan si aku mabuk. Semua yang ada dalam sajak itu dipandang dari sudut si aku yang berada sendirian saja di antara bunga-bunga -mungkin di sebuah taman- pada suatu malam. Ia mabuk, itu sebabnya 'kuangkat botolku dan kuqjqk bulan minum bersama'. Ini biasa dilakukan orang mabuk, menganggap semuanyah hidup seperti dirinya. Suasana akhirnya menjadi menggelikan: ia menari-nari di bawah bulan dan sebab itu bulan tampak sempoyongan sedangkan bayang-bayangnya tampak kebingungan. Si aku membayangkan ia minum arak bersama dengan bulan dan bayangan tubuhnya selagi ia masih sadar. Ia benar-benar menikmati kemabukannya sebab merasa mempunyai teman yang sama sekali tidak mengganggunya dan tidak campur tangan dalam urusan kemabukannya. Ia malah berharap semoga yang terjadi itu nanti juga terjadi di langit sana, di antara gugusan bintang Bima Sakti. Kalau kita percaya akan adanya surga, bisa saja kita maknai pertemuan di Bima Sakti itu adalah pertemuan di akhirat.
Sudah disinggung sebelumnya, sajak itu berkisah tentang peristiwa sehari-hari tetapi sama sekali berlainan dengan sajak-sajak yang sudah kita bicarakan sebelumnya. Sajak itu mengungkapkan betapa nikmatnya mabuk-mabukan, disampaikan dengan cara yang menggelikan. Si aku menjadi seperti badut yang memainkan peran sebagai pemabuk, yang melakukan hal-hal yang kita saksikan sebagai sejenis lelucon. Namun, ada sesuatu yang tersirat: itulah kehidupan nyata, yang tentu saja tidak harus ditiru tetapi sampai hari iji masih terus terjadi di sekeliling kita. Sajak itu ditulis ratusan tahun yang lalu, tetapi perihalnya masih bisa kita hayati samoai sekarang karena menyampaikan inti kehidupan tentang kebahagiaan yang bisa dicapai dengan cara yang berbagai-bagai. Kaalu kita tidak mau menafsirkan sejauh itu, bisa juga sajak itu ditafsirkan sebagai gambaran luci tentang seorang pemabuk: tafsir sedemikian itu pun sudah bisa memberikan kesenangan kepada kita. Seperti sudah disampaikan sebelumnya, puisi tidak harus hanya memberi nasihat, bisa saja memberikan berbagai jenis gambar atau peristiwa mulai dari yang menyedihkan sampai ke yang menggelikan.
Sajak lain karya Li Bai tentang mabuk-mabukan akan saya kutip berikut juga mengandung unsur menggelikan, meskipun yang membedakan dari dajak sebelumnya adalah adanya sikap hidup yang jelas.

Hidup kita di dunia ini hanya impian belaka. Untuk apa aku mesti kerja keras? 
Biar saja aku mabok seharian, biar saja aku tergeletak dekat pintu pagar. 
Waktu sadar kukejapkan mata ke pepohonan: Seekor burung kesepian 
bernyanyi di sela bunga-hunga. Kutanyakan padanya ini musim apa: Jawabnya, 
"Angin musim semi menyebabkan burung bernyanyi di pohon mangga." 
terharu mendengar nyanyiannya aku pun menarik nafas panjang
Lalu aku menuangkan arak ke mulutku lagi. Aku pun bernyanyi sepuas-puasnya 
sampai bulan bersinar terang. Waktu laguku selesai, semua inderaku terasa kaku

Karena hidup ini hanya mimpi katanya, maka lebih baik mabuk seharian. Apa ini pandangan orang putus asa? Tentu saja bukan. Ini semacam ironi, ejekan terhadap diri sendiri yang ditulis ketika penyair sepenuhnya sadar akan hidupnya. 

Puisi hanya bisa ditulis oleh orang yang sepenuhnya sadar sebab ia harus mampu menyusun kata sedemikian tupa sehingga 'masuk akal'. Orang mabuk, atau berada dalam situasi trance tidak akan mampu menulis karya sastra yang baik - tulisannya tentu akan sembarangan dan tanpa makna. Nah, orang yang sepenuhnya sadar merenungkan apa yang terjadi pada dirinya sendiri berdasarkan pada pandangan umum yang menyatakan bahwa hidup ini hanya impian belaka alias tidak nyata. Orang jawa suka bilang bahwa hidup ini hanya mampir ngombe 'mampir minum'. Jadi, untuk apa kerja keras? Namun sajak itu tidak mengajak kita untuk tidak melakukan apa pun kecuali mabuk-mabukan, tetapi untuk menyadari hal itu dengan cara yang juga menggelikan. Di sinilah prinsip ironi bisa diterapkan, bilang begini maksudnya begitu. 'Bernyanyi sepuas-puasnya ... sampai inderaku terasa kaku' tentulah sebuah ironi, ejekan terhadap sikap hidupnya sendiri.


ditulis ulang oleh Rudi Rendra dari buku Bilang Begini Maksudnya Begitu: Sapardi Djoko Damono

0 komentar:

Posting Komentar