Bersamamu Ingin Kulakukan Apapun Yang Tuhan Mau

Minggu, 22 Januari 2017

PROSES YANG HARUS DILALUI SEORANG PENYAIR

Suatu hari sebuah e-mail masuk ke alaamt e-mail Riau Pos. Seorang penyair muda----dia mengatakan dirinya baru belajar menulis sajak --- mengirim beberapa sajak ke tuuh e-mail, tidak melalui file lampiran. Ada 4 sajak dan temanya seragam, tentang cinta yang kandas. Yang membedakan hanya kata dan bahasanya. Terjadi diskusi antara penyair kaaan kita ini dengan redaktur. Dia bilang, sajak-sajak yang ditulisnya itu adalah ungkapan perasaannya yang sedang karam karena jalinan kisah cintanya kandas. Keika ditanya mengapa mengirimkannya tidak pakai *file* lampiran dan sepertinya dia menulia keempat sajak itu hampir dalam waktu bersamaab, dia bilang, ketika membuka internet, pikirannya sudah penuh dengan sajak dan harus dituangkan dalam tulisan, untuk itu dia langsung menulis dan setelah selesai langsung mengirimkannya.

Beberapa hari kemudian, dia bertanya, apakah empat sajak yang dibuat dan dikirimnya layak untuk dimuat. Ketika dijawab belum layak, dia bertanya mengapa? Kemudian dijelaskan bahwa pilihan-pilihan katanya masih amat verbal, khas orang sedang patah hati. Dijelaskan lagi bahwa dia juga harus banyak belajar bagaimana menggunakan bahasa tulis yang benar. Kemudian sia mengatakan, bukankah sajak tak terbatas oleh aturan apapun? Dia bicara tentang licencia poetica. Dia menjelaskna bahwa dia sudah membaca banyak buku teori tentang menulis sajak. Membaca karya Sutardji Calozoum Bachri hingga Octavio Paz, dari Joko Pinurbo hingga Emily Dickinson, dan sebagainya.

"Mengapa Sutardji boleh menulis kata-kata apa saja dengan tata bahasa yang kadang kavau ngawur tanpa makna, mengapa saya tidak boleh? Bukankah bahasa sajak yang dibuat oleh Joko Pinurbo, Octavio Paz atau Emily Dikcinson amatlah sederhana dan mudah dipahami? Mengapa itu disebut sajak, dan punya saya tidak?" kata penyair muda kawan kita ini panjang-lebar.

Ketika dijelaskan bahwa penyair yang dia sebutkan itu sudah melalui proses panjang dalam melahirkan sajaknya, dan tak serta-merta menulis sajak degan bahasa "ngawur" --istilah penyair muda kawan kita itu-- itu, penyair muda ini tetap tak terima. Katanya, dunia sastra tak adil bagi para pemula. Kalau para maestro dengan gampang menulis karya dan dapat tempat untuk publikasi, sementara yang masih muda masih disuruh belajar, padahal bobot karyanya tak jauh berbeda.

Dijelaskan, bahwa seorang pelukis aliran surealis yang sdah tereknal pun harus melalui tahapan melukis realia di awal karirnya, tak serta merta atau atau sekonyong-konyong langsung dia melemparkan cat warna-warni ke kanvas, kemudian bergulung-gulung di sana ---sekedar contoh--- dan kemudia lahir karya avan-garde seperti Affandi dan yang lainnya. Di sekolah seni lukis, diajarkan dasar melukis: mulai dari sketsa wajah, ditail wajah hingga lahir karya lukis potrer misalnya. Selanjutnya, adalah pilihan dia untuk tetap menjadi pelukis surealis tak bisa melukia potret ditail, misalnya.

Pelan tapi pasti, penyair muda kita ini berusaha memahami. Sebulan kemudian, dia mengirimkan satu sajaknya. Dia mengatakan, "Saya sudah berusaha menulis dengan baik:menulis apa yang ada dalam fikiran saya, membaca ulang, sekian hari saya baca lagi, dan benar kata anda, saya menemukan hal-hal baru baik dari sisi kata atau maknanya..."

Dan setahun kemudian penyair muda ini berhasil mempublikasikan sajak-sajaknya bukan hanya dimedia tempat dia bermastautin, tetapi juga di media yang terbit di provinai tetangga, bahkan di beberapa media nasional. Dari waktu ke waktu ada pemahaman yang makin baik pada sajak-sajaknya--- pemahaman ini amat sangat relatif dan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam e-mail terakhirnya, dia tak mengirimkan sajak. Dia hanya menulis beberapa kalimat: "Sajak telah menyadarkan saya, bahwa kata-kata tak bisa dibeli dengan publikasi apapun dan dengan honor berapapun. Kata-kata selalu mencari makna, dan mencari makna itu yang sesungguhnya paling penting.."

***
Sajak adalah bahasa metafor yang lahir dari pencarian yang tak bisa dihitung batasan waktunya. Seorang penyair biaa membuat sebuah sajak dalam hitungan menit atau jam, tetapi ada yang memerlukan eaktu berbulan hingga bertahun untuk melahirkan sebuah sajak. Ada sajak yang ditulis, sekian hari, sekian bulan, atau sekian tahun kemudian baru dibaca lagi oleh sang penyair, dan setelah itu baru dipublikasikan. Alhasil, ada seorang penyair yang dalam sebulan bisa menulis 100 sajak, tetapi ditempat lain ada yang hanya satu sajak dalam sebulan.

Pengalaman "religius"dalam bersajak yang dialami kawan kita penyair muda itu adalah gambaran bahwa dunia sajak (puisi/syair dll) bukanlah dunia yang asal jadi: bahwa asal menulis baris-baris kata "indah", kemudian menjadi sebuah sajak. Proses hingga menjadi sebuah sajak, mestinya dipahami oleh para penyair sebagai sebuah tahapan paling penting, sehingga karya yang lahir itu bukan karya gampangan dan sembarangan.


*** dari pengantar penerbit buku *Riwayat Tanah* Kumpulan sajak Riau Pos 2011 Editor Hary B Kori'un ditulis ulang oleh Rudi Rendra.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts